BERBEKAL bulu Mariaban, sebotol anggur, dan hantu komunis, tiga pemuda di Banua mencoba peruntungan menanjak jalan sastra yang terjal. Di tangga awal mereka sudah memeras semua sumber daya: cetak sendiri, terbit sendiri, jual sendiri.
—
Kurang lebih sepekan lalu, rekan muda Musa Bastara mengirim pesan singkat: Bung, wajib beli, sekering-keringnya dompet Anda, masak tidak ada 80 ribu?!
Setelah itu dia mengirim gambar sampul buku. Desainnya tidak jelas, seperti potongan rambut Musa.
Bah, melayang lagi seratus ribu untuk benda tidak berguna?!
Tapi ini buku penulis? Saya suka menulis. Jadi? Terpaksa. Jaga-jaga, kalau nanti saya ada buku, Musa yang pertama saya kejar.
Berhubung buku lama baru datang, saya mendesak naskah mentahnya. Sudah korban duit, mesti menunggu pula?
Jadilah satu jam lebih hari itu saya habiskan membaca kumpulan cerpen mereka, di hape. Sesi pertama empat cerpen Abdul Karim, lalu empat punya Musa. Dan empat juga punya Rafii Syihab.
Rampung, saya terdiam. Seperti biasa, ketika memikirkan sesuatu, kepala saya seperti penuh dengan orang. Mereka bertengkar: kenapa begini begitu, seandainya dibeginikan dibegitukan, dan seterusnya.
Sebagai informasi dahulu. Saya tipe pembaca yang menyukai tema cerita, gaya saya letakkan di nomor sekian. Itu kenapa Andrea Hirata saya posisikan di atas Eka Kurniawan.
Jalinan kisah dalam novel Andrea penuh makna, memupuk sisi kemanusiaan pembaca. Sementara Eka, kekuatannya ada pada gaya bahasa yang cadas dan bernas. Andrea seperti tari piring, indah, membuai tidur kita untuk tersenyum penuh semangat esok hari. Eka seperti tari kontemporer, penuh teknik dan persiapan panggung dirancang penuh perhitungan, bikin tercengang, tapi tentu tidak bisa jadi alas pengantar buaian kita.

Begitulah, beberapa cerpen mereka terlihat memaksimalkan gaya bahasa dan teknik bercerita. Bahkan cenderung memaksa, sehingga mengingatkan kita kepada para penulis tertentu. Ini tentu sangat menganggu pembaca.
Saya beberapa kali berdebat dengan Musa di loteng penulis nasional yang tinggal di Banjarbaru, Sandi Firly. Kami mempertengkarkan mana lebih penting: gagasan atau gaya bahasa. Musa ngotot, gaya berceritalah yang bisa membuat kebaharuan. Saya memekik: untuk apa kebaharuan kalau informasi di dalam ceritanya tidak mampu merangsang hormon-hormon kesadaran pembaca seperti yang dilakukan Hamka dan Andera.
Puncaknya, entah karena jengkel atau malah menikmati lotengnya jadi ajang tarung urat leher, bising cempreng seperti room karaoke pinggir jalan Trikora, Sandi membuatkan sketsa wajah kami sedang berduel.
Menyesalkan saya dengan Rp80 ribu? Di sini menariknya. Ternyata tidak. Catat: saya tidak menyesal. Senang, gak, kau Mus? Mus Mulyadi.
Kok bisa? Tentu saja karena bulu Mariaban dan beberapa kawannya.
Cerpen Berburu Bulu Mariaban yang sepertinya terinspirasi dari judul cerpen Sandi di Kompas Musim Berburu Telah Dimulai memiliki ide cerita yang kuat. Cerpen satir yang lucu ini menyindir para penjudi online yang terjerat pinjol. Lokalitas kuat, ditulis dengan gaya yang cocok dengan keseharian Musa Bastara: selengean.
Gagasan yang kuat juga saya temukan di cerpen Rafii Syihab: Perpustakaan Uma. Berbeda dengan cerpen dia berjudul Bukan Hantu Komunis yang mengingatkan kita dengan novel Eka Cantik itu Luka, Perpustakaan Uma membawa kegetiran komunal sebuah kampung di Kabupaten Banjar yang kehilangan masa depan akibat aktivitas tambang batubara.
Ide cerita Perpustakaan Uma soal klise pendidikan. Tapi, rangkaian peristiwanya menari dengan indah bersama karakter para tokoh di dalam cerita. Andai cerpen itu sebelum diterbitkan dipangkas dulu beberapa bagian yang boros, it’s excellent.
Lalu ada Abdul Karim hadir menawarkan kisah-kisah bertema makna kehidupan. Terlihat dalam cerpen Sebotol Anggur. Lalu kekuatan wawasannya yang menghibur pembaca dengan beragam informasi menarik hadir di cerpen Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara.
Secara umum beberapa cerpen mereka layak kita beli. Dan seluruhnya patut diapresiasi. Di tengah kebuntuan komunikasi dan aktivitas publik karena rendahnya kualitas pendidikan kita, satu pemuda yang menerbitkan buku adalah sinyal kemenangan. Apalagi tiga pemuda.
Bayangkan, mereka harus muka tembok menawarkan ke sana ke mari kumcer mereka. Harus muka tembok, karena biaya penerbitan mereka tanggung sendiri dengan mengorbankan kepastian makan enak besok hari. Musa, kerja di kantor pemberitaan media online lokal di Banjarbaru, Rafii guru honor nyambi nyadap karet, Karim menghidupi dapurnya agak beda: jadi tukang di Tumbang Masao Kalteng.
Jadi, tanpa didahului status kepenulisan di dunia sastra keputusan menerbitkan kumcer adalah keputusan nekat. Berbeda dengan Sandi, yang sudah diakui statusnya sebagai sastrawan nasional. Jika tiga penulis muda ini gagal memikat publik di buku pertama mereka, edisi selanjutnya harus kerja jauh lebih keras lagi.
Namun seperti telah saya katakan, saya tidak menyesal membeli kumcer mereka. Potensi mereka besar. Tinggal harapan saya, tema lokal dengan gagasan kuat, dan pesan yang jos jadi poin utama. Supaya, karya mereka bukan sekadar hiburan, tapi jadi obat bagi para pembaca khususnya di Banua, yang dihadapi beberapa masalah kolektif karena sistem yang belum berpihak pada keadilan.
Bagi saya pribadi: sastra adalah senjata ampun untuk membangun SDM kita secara kolektif. Untuk itu, saya angkat secangkir kopi masing-masing satu buat tiga penulis muda ini: Kiat-Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara, Berburu Hantu Mariaban dan Perpustakaan Uma.@