AWAL April 2021 buku puisi ALANGKAH GANJILNYA SEBUAH KOTA TANPA KAMU DI DALAMNYA atau singkatnya AGASEKOTAKADIDA saya menyebut, –mendadak santer di media sosial dengan sampul memikat–jelita. Kurniawan Junaedhie (KJ) menggenapi satu dasawarsa kelahiran buku puisi tunggalnya setelah 2011.

Apa yang mendamiknya hingga melahirkan buku setelah sepuluh tahun jarak mengurai di antara ripuh dan intensnya yang giat?

MERAWIKAN INGATAN

Karya-karya KJ pernah lintas di media massa antara tahun 1974-1999. AGASEKOTAKADIDA ini adalah buku puisi ahadnya yang kelima setelah Waktu Naik Kereta Api (1975) Selamat Pagi Nyonya Kurniawan (1978), Perempuan dalam Secangkir Kopi (2009), dan Sepasang Bibir di Dalam Cangkir (2011).

Kekhasan KJ dalam puisinya yang menjadi pembeda dengan karya-karya penyair lain adalah modelnya menuliskan bahana, melabuhkan ke dalam surealis. Ada 76 puisi di dalam AGASEKOTAKADIDA yang inklusif merawikan perjalanan privat KJ sebagai belantara terbuka untuk siapa saja mengkhidmati narasi setiap baris sajak-sajaknya. Satu puisi pilihan berkesan saya kutip menyeluruh, di bawah ini (hal. 52):

SATU SKETSA DI WARUNG KOH LIEM, SEMARANG

Dengan mata rindu, kuseret tubuhku yang resah ke
hatimu yang gelisah.
Kita duduk di Warung Asem-Asem Koh Liem sore itu.
Aku duduk di bangku kayu, dan kamu duduk di
Ingatanku. Wajahmu beku seperti es batu

Di depan meja makan, kita menyimpan diam seperti
tengah mendengar riuh suara sunyi. Angin dingin
yang lembab mendesir. Lampu jalanan menyala. Jalan
Kalianyar pun mendadak berdenyar.

Lalu kulihat, pesanan terhidang. Lontong Cap Go
Meh, Kikil Lombok Ijo, dan… “Ini perjamuan
malam bersama hatimu,” bisikku. “Ini hatiku yang
kuhidangkan bagimu.”

Di tengah tiris malam, kulihat kamu mengangguk,
dan memeluk. Persis, seperti dinubuatkan
dalam puisi-puisiku berabad sebelumnya.

Puisi yang berenergi impresi ini menenteng sebuah masa yang sesiapa bisa mahfum dengan realita kedai Koh Liem dengan segala penganan yang dijual, khas Tionghoa. Lalu KJ merasukkan dialektika rasa yang dibalurinya dengan romantik. Suspensi puisi ini terletak pada percakapan yang ditulis sedemikian apik, terkesan menantang dibebat.

MERAMU PERJALANAN

AGASEKOTAKADIDA dibuka dengan kredo “Jangan biarkan lukaku abadi…” seolah KJ ingin menjejal keberadaan “yin yang” dari luka yaitu pulih, karena tak ada yang abadi. Bahkan luka sekali pun. Olehnya perjalanan diramu untuk mengimbangi amuk rasa dengan segala kesadaran akan limit yang mengantarkan.

Ada beberapa puisi di sini yang musykil bagi saya untuk abai, apalagi puisi berlatar banua Kalimantan Selatan, yaitu: SAAT SEBENTAR SINGGAH DI BANJARBARU (hal. 49-50), SUNGAI AMANDIT (hal. 51), BERSAMA ARSYAD, SUATU HARI DI LOKSADO (hal. 93-95).


Saat tiba di Pasar Mingguraya, barulah aku melihat
bayangan piyan)* yang duduk terpekur di bangku kayu
lapuk. Buku terkulai di tangan piyan yang lunglai
tertekuk. Huruf dan kata seakan dibiarkan melompat-
lompat di atas meja-meja berdebu.

(SAAT SEBENTAR SINGGAH DI BANJARBARU)

Kala kata melesat dari benak sang kreator dan dirapikan oleh indera lain, lalu dikooperasi dengan pengalaman yang berpengetahuan jadilah ramuan “necis” berimbang. Pembaca disuguhi menu bergizi, tidak sekadar kata-kata umpama dengan makna dan konteks yang bias.

Puisi lain yang sempat mendamik saya, –karena bait sajaknya telah mengingatkan saya dengan sebuah impresi di kelaluan waktu, persis sama. … Rumah itu selalu mengingatkan padamu, namamu, dan wajahmu yang suram ditimpa lampu malam. Tapi aku tak yakin benar, apakah kamu juga mengingat namaku//… (RUMAH INGATAN, hal. 11).

Puisi model prosa liris adalah ekspresi KJ yang telah menembus bahana–fakta dan disurealiskan dengan setiap peristiwa. AGASEKOTAKADIDA setidaknya menjadi penanda yang istiqomah bagi penyairnya untuk mengibarkan bendera.

PUISI MODEL KJ

Pencapaian seperti apa yang ingin direngkuh KJ?

Di sini saya kira, tak sekadar karya yang memuaskan sang kreator secara dahaga. Ada benang asumsi yang ditawarkan KJ kepada pembaca untuk diziarahi. Tak sekadar cerita singgah, tak sekadar petitih, ada bilik renung berkelindan di antara imajinasi yang membayang bagi baris sajak-sajaknya yang liris. Buku ini sekaligus pelipur privat saya setelah sepuluh tahun berjeda.

Saya teringat lagi, mitologi dewa dapur yang menghentak rasa di buku keempat KJ. Di malam pertama, ketika saya mendapat kiriman pada April 2012 puisi Dewa Dapur langsung menyihir–menghasut air mata untuk beranjak menuruni kantung mata.

Di beberapa sajaknya yang liris, KJ acap merepetisi kata-kata (frasa) yang sama di awal paragraph berikutnya dalam satu tubuh puisi. Apakah ini penguatan untuk menalikan diksi-diksi lanjut untuk lebih berdaya? Atau sekadar permainan yang juga kerap dipakai oleh sesama penyair lain?

Akhirnya dengan suka cita saya harus membentangkan kedua tangan, melapangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dirapal pada kumpulan puisi AGASEKOTAKADIDA. Tahniah Om KJ! @

 

Facebook Comments