“Kalau kamu gitu terus cepat kamu mati! Kamu kira mati itu enak!” Naq Nurnep tengah memasukkan beberapa pelepah kelapa kering ke dalam lubang tungku. Ia seperti berbicara dengan tungku penuh jelaga di depannya. Abu terbangun dan merayap naik. “Adoh!” teriaknya. Ia mengangkat dan mendekatkan ibu jari ke depan matanya. Jari itu tertusuk. “Gini-gini ndak bisa dilihat sama mata ini!” kata-kata meluncur dari mulutnya sampai api membesar dan menjilat-jilat batu tungku.
Nurnep mendengar suaranya, tetapi ia tetap seperti tidak mendengar apa-apa. Sudah berhari-hari ini dia tidak bicara. Dia selalu duduk di berugak, menatap kosong ke arah utara. Satu dua lalat terbang begitu dekat dengan wajahnya. Menjauh, mendekat ke lasah, hinggap sebentar, dan kembali ke wajahnya. Mereka tampak seperti tengah berusaha menenangkannya.
“Kalau kamu ndak dengar saya kamu ndak akan sampai besok, lihat saja!” Naq Nurnep terdengar marah.
Di atas tungku ia letakkan kocor hitam legam. Pegangannya hilang, diganti dengan dua utas kawat. Air membasahi sekelilingnya. Api menjilat-jilat, ujungnya berwarna biru terang.
Naq Nurnep duduk di sepotong kayu, memandang kejauhan. Lalu melihat berugak dan tampak anaknya tidak menghalau lalat-lalat yang berusaha mendekatinya. Kain yang ia kenakan menutupi pinggang sampai lutut. Bajunya robek sedikit di bagian pinggang sebelah kiri. Tampak sedikit kulitnya, seperti selembar daun kering.
“Jahit baju kamu itu biar ada kerjaan!” Naq Nurnep mendorong sepotong kayu bakar meskipun nyala api tidak merembes keluar.
“Itu juga daun-daun dadap itu sapu. Dari kemarin, lama-lama tenggelam rumah ini sama sampah!”
Naq Nurnep melihat sekeliling dan menemukan lebih banyak lagi masalah. Satu bakul tertelungkup dekat dinding rumahnya. Terjatuh dari sepotong kayu di dinding tempatnya digantung. Tidak jauh darinya, seekor anak ayam mati. Telentang. Semut-semut merah dengan ganas berusaha merobek tubuhnya. Parang yang telah patah dan hilang setengah bagiannya tergeletak dekat berugak.
Naq Nurnep mendengus. Mendengus lagi. Ia seperti baru selesai melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bulir-bulir keringat menyembul keluar dari sela-sela rambutnya. Api dari tungku terasa sangat panas. Ia memandang tungku dan api sebagian besar telah merembes keluar. Kayu-kayu ia dorong dengan lebih kuat; bukannya membesar, api justru padam. Memunculkan lebih banyak asap. Angin berhembus dan asap melayang tepat mengenai wajahnya, membuat kedua matanya perih dan berair.
“Aroooo!” teriaknya. “Dari kecil sampai sekarang masih kerja. Punya anak menantu biar bisa hidup tenang malah makin susah!”
Seekor lalat terbang mendekat, berputar-putar di depan wajahnya. Hinggap di hidung, merayap ke sekitar mulut, terbang lagi mendekati lutut. Hinggap persis di atas luka yang telah dipenuhi nanah kuning tua. Kaki-kaki mungilnya membangkitkan rasa nyeri. Naq Nurnep mengusirnya dengan mengibaskan tangan beberapa kali tetapi lalat itu tidak kunjung pergi.
“Lihat saja nanti, mati kamu saya buat!”
Satu tepukan keras, lalat mengelit. Ia terbang tinggi, berputar-putar dekat atap dan turun lagi. “Lihat saja nanti. Jangankan kamu yang kecil gitu, manusia mati saya buat,” teriaknya.
Dari arah jalan yang membentang di tengah-tengah kebun, dekat rumah mereka, terdengar teriakan-teriakan. Sepertinya teriakan beberapa orang yang pergi ke hutan. Seekor anjing terdengar menyalak. Mereka mengancam membunuh anjing itu dan terdengar seperti ada sesuatu dilempar menimpa gunungan semak-semak.
“Bunuh dia! Bunuh!” teriak Naq Nurnep dari tempatnya duduk. “Kalian yang kasih dia makan bunuh dah bunuh!”
Suara mendesis keluar dari celah-celah penutup dan paruh kocor. Ia mengangkat wajah, memandang berugak. Nurnep masih mematung menghadap ke utara.
“Buat kopi sekali, air sudah mendidih ini!”
“Lama-lama saya yang mati kalau gini!” Naq Nurnep pelan-pelan bangkit, tangan kanannya menekan lututnya yang tidak luka. Tulang punggungnya berderak. Ia merasakan sakit seperti tulangnya tengah ditarik-tarik dan dipindahkan dari tempatnya semula. Sedikit pincang, ia berjalan masuk, mendorong pintu dengan tangan keriputnya.
“Gula tinggal sesendok ini, besok kering kerontang kita,” terdengar suara dari balik dinding rumah.
“Yang pergi beli gula ndak ada. Semua-semua saya sendiri.”
Suara sesuatu dibanting terdengar keras. Nurnep terkejut. Kedua bola matanya bergerak. Mulutnya sedikit membuka.
“Kalau dekat tempat beli enak, ini harus lewat dua sungai. Pulang-pulang mati saya.”
Seekor anjing membalas dengan menyalak-nyalak kecil. Ia baru pulang dari kebun. Bulu-bulunya di bagian perut ditempeli dedaunan kering dan biji lengket semak-belukar. Lidahnya terjulur-julur dan ekornya bergoyang-goyang. Ia tampak seperti sedang senang. Kotoran berwarna kuning melekat di sudut-sudut mulutnya. Kotoran manusia. Rumah dipenuhi bau itu. Bahkan sampai di hidung pemiliknya.
Naq Nurnep cepat-cepat keluar. Api mendesis-desis di tungku. Air telah terlempar keluar dari paruh kocor. Anjing itu mondar-mandir di halaman dan baru saja mulai mengganggu bangkai ayam dengan kaki depannya, seolah berusaha membangunkannya dari tidur panjang, sepotong bambu yang biasa dipakai meniup api mengenai perutnya. Ia terkaing-kaing dan pergi. Dua tiga biji semak belukar lepas ke tanah.
Semut-semut merah berhamburan. Kemudian dengan cepat berkumpul kembali.
“Mati kamu mati!” Naq Nurnep teriak.
Sehelai kain yang telah kotor ia pakai mengangkat kocor. Tali kawat itu berderak kecil ketika diangkat, seperti akan putus. Gelas berisi kopi dan sedikit gula diletakkan di tanah, persis di depannya. Air mendidih itu meluncur turun. Buih-buih kecil muncul dan menempel di tepian gelas.
Ia bangkit dengan pelan, menenteng kocor ke dalam rumah, dan sebentar kemudian terdengar suara air dituangkan ke dalam termos tua miliknya. Suara gerutuannya terdengar sayup-sayup. Api di dalam dadanya seperti mengecil. Barangkali Tidak ada tangan yang mendorong masuk kayu bakarnya.
Sebentar kemudian ia keluar, tangan kanannya menenteng sendok. Hanya sebentar setelah ia duduk, buih-buih itu lenyap. Naq Nurnep terus mengaduk-aduk. Ia memandang anaknya dan tampak Nurnep begitu lesu seolah sebentar lagi akan jatuh ke tanah.
“Kamu makan, masih nasi itu, kalau kamu ndak makan, angin sedikit saja sudah terbang badanmu,” katanya.
Suaranya lebih tenang. Sendok ia sandarkan di bagian bawah dinding rumah. Kopi di dalam gelas berputar melingkar semakin pelan. Ampas menyatu menjadi bundaran kecil persis di tengah-tengah. Titik yang dengan segera hancur ketika tangan keriput itu memegang leher gelas, mendekatkan ke mulut, dan suara hirupan terdengar.
“Kamu ndak akan bisa hidupin dia lagi,” katanya. Suaranya tenang. Api di dalam sana sepertinya benar-benar padam.
Dinding yang ia sandari melesak. Punggungnya melengkung mirip sabit. Ia sekali dua menggapaikan tangan ke belakang, menggaruk. Dengan tangan kanan ia meraih gelas, menghirup pelan, gelas dipegang di depannya, menghirup lagi, baru kemudian gelas kopi diletakkan di tanah, di depan jari-jari kakinya.
Gerakannya semakin pelan dan pelan saja. Kedua matanya yang tadi menyorot terang pelan-pelan redup. Sebagaimana anaknya, ia juga memandang jauh, seolah amarah di dalam dirinya telah tertumpah habis. Ia melihat semak-belukar di utara kampung tempat biasa anjing-anjing beranak pinak dan bubut-bubut melepas telur mereka. Lebih jauh, satu pohon mati menjulang tinggi. Ujung-ujungnya seperti jari-jari runcing yang berusaha mencakar-cakar langit. Dekat pohon kelapa, lebih dekat dari jebak, terlihat gundukan tanah yang masih basah. Dua bilah bambu tertancap di kedua ujungnya.
“Dia sudah tenang,” katanya. Bibirnya bergetar. “Kasihan juga dia kalau masih hidup. Dia lelah kerja. Dia tenang sekarang,” lanjutnya.
Ia layangkan pandang ke gundukan tanah itu lagi seolah bisa menembus ke dalamnya. Sepotong batang pisang tertanam di dalam sana. Sebagai ganti tubuh suami Nurnep, menantunya yang meninggal di Malaysia dan tidak bisa dibawa pulang. Warga Lelenggo datang, memperlakukan batang pisang itu persis seperti tubuh manusia. Mereka menangis ketika pelan-pelan batang pisang dibenamkan ke dalam tanah.
“Untung saja kita hidup!” Naq Nurnep berkata lagi. Kali ini suaranya lebih lembut, pelan. Tungku masih menguarkan panas. Bara api masih menyala terang di dalam sana. Tapi tungku di dalam dirinya seperti lebih cepat menjadi dingin. Ia ingat menantunya, saat-saat ketika jeratan utang memaksanya pergi.
“Dia pergi mati!” katanya, sangat pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, ia memandang ke arah bangkai ayam di depannya. Semut-semut lebih banyak mengerumuninya, seperti berusaha menyeretnya pergi. Bakul yang tertelungkup kini tampak seperti kuburan di matanya. Parang yang tergeletak di dekat anaknya juga terlihat seperti tubuh manusia. “Mudahan ndak ada penyakit apa-apa datang lagi, cukup susah cari makan kita rasakan!” lanjutnya. Ia membayangkan tubuh menantunya terbaring mati, tak seorang pun berani menyentuhnya. Bayangan itu membuat kerut-kerut di wajahnya tampak semakin dalam, seperti ada tangan tak terlihat tengah memahatnya dengan penuh ketekunan.
Anjing yang tadi terusir mengendap-endap masuk dari sela-sela barisan pohon jarak. Ia berhenti sebentar lalu ketika tidak ada yang mengumpatnya ia melanjutkan langkah. Di kolong berugak ia meringkuk. Kepalanya juga memandang ke utara. Mereka sama-sama diam. Segelas kopi tersisa setengah. Seekor lalat hinggap dan menyusuri tepiannya. Asap tipis melayang naik dari ujung kayu bakar di bibir tungku dan menghilang dari tepian atap penuh jelaga.@
14 Mei 2020
Catatan Kaki:
Jebak : Gerbang atau jalan masuk ke halaman rumah.
Bubut : Sejenis burung puyuh.