“Ini negara punya siapa? Punya genderuwo katanya ini. Punya genderuwo.” 
Prabowo Subianto*

 

Hauntologi adalah istilah yang diciptakan oleh Jacques Derrida, filsuf Perancis. Istilah ini muncul kala ia menulis tentang Hantu-hantu Marx (Spectres of Marx) (1993). Derrida menyitir hauntologi manakala menyinggung tentang Marxisme yang menghantui masyarakat Barat dari balik kuburnya.  Singgungan Derrida Ini mengingatkan pada proklamasi Karl Marx lebih seabad lalu yang termaktub di dalam Manifesto Komunis: “Ada hantu berkeliaran di Eropa. Hantu komunisme.” Hauntologi berbicara tentang penampakan sesuatu yang tidak hadir namun sekaligus tidak gaib, tidak hidup tapi juga tidak mati. Ia membicarakan tentang hantu simbolik.

Dalam perdebatan publik demi pencapresan 2019 lalu istilah genderuwo banyak dipakai. Baik Jokowi sebagai petahana maupun Prabowo sebagai penantangnya kala itu sama-sama menggunakan istilah genderuwo. Hanya saja tampaknya narasi yang dipakai keduanya agak berbeda. Bila pihak Jokowi menggunakan istilah genderuwo untuk menyebut politik yang menakut-nakuti, maka pihak Prabowo memakai istilah genderuwo sebagai pihak yang menghalang-halangi aktivitas-aktivitas mereka. Saat pasca-pemilu dan Prabowo ternyata bergabung dalam kabinet Jokowi, istilah genderuwo tak lagi trendy.

Sebagai sebuah “spesies” dalam dunia perhantuan, genderuwo tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Genderuwo adalah sebuah lokalitas yang “menasional”. Ia sejatinya adalah nama salah satu jenis hantu yang ada di Jawa. Hantu ini kadang bisa disinonimkan dengan setan.

  1. A. van Hien adalah seorang Belanda yang pertama kali mengumpulkan kisah setan-setan di tanah Jawa. De Javaansche Geestenwereld karyanya terbit pada 1896. Dalam buku ini, genderuwo digambarkan sebagai setan yang tidak jahat. Pada siang hari, genderuwo bisa mengambil wujud sebagai ular besar, macan, atau buaya. Bisa juga mengambil wujud sebagai burung alap-alap atau pun binatang buas lainnya. Pada malam hari, ia bisa bersulih wujud menjadi lelaki tampan yang suka mengganggu perempuan yang lewat di jalan sepi. Bukan hanya itu, genderuwo bahkan bisa kawin dengan manusia. Genderuwo laki bisa kawin dengan wanita manusia, demikian pula sebaliknya, genderuwo wanita kawin dengan laki yang manusia.

Selain van Hien yang berkebangsaan Belanda, adalah Clifford Geertz yang berkebangsaan Amerika yang memaparkan tentang makhluk-makhluk halus tanah Jawa. Tulisan Geertz tentang setan atau hantu ini muncul di bukunya Religion of Java (1960). Buku ini diterjemahkan menjadi Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa oleh Pustaka Jaya dan diterbitkan pada 1980. Karya ini lahir dari penelitian Geertz pada 1950-an di Pare, Jawa Timur, yang disamarkannya sebagai Mojokuto.

Bagi Geertz, genderuwo adalah memedi yang artinya tukang menakut-nakuti.

Memedi punya hubungan kata dengan wedi yakni takut dalam bahasa Jawa. Memedi lazimnya diarahkan sebagai sebutan pada genderuwo laki. Sedangkan genderuwo wanita disebut wewe. Genderuwo secara umum lebih senang bermain-main dan mengerjai tinimbang menyakiti. Entah memindahkan pakaian seseorang dari rumah dan melemparkannya ke kali, melempari atap rumah orang dengan batu, melompat dari belakang pohon di pekuburan dengan penampakan besar dan hitam, bahkan bisa menepuk pantat wanita (terutama saat sedang sembahyang).

Namun betapa pun genderuwo menyukai lelucon, ia bisa berbahaya juga. Ia bisa muncul dalam wujud kerabat entah orang tua, paman, saudara kandung, anak, atau pun kakek dan mengajak seseorang untuk mengikutinya. Bila orang tersebut menuruti ajakannya, maka yang bersangkutan bakalan menghilang ke alam tak kasat mata. Keluarga yang kehilangan lantas akan memukul-mukul panci, arit, pacul, wajan dan lain sebagainya. Suara gaduh ini bikin genderuwo menawarkan makanan pada orang yang diajaknya mengikuti dia. Bila si korban memakan makanan yang diberikan genderuwo, maka tetaplah orang tersebut di alam si genderuwo. Sedangkan bila korban menolaknya, maka dia akan kelihatan dan ditemukan oleh keluarganya. Menurut Geertz, genderuwo bisa bertindak lebih jauh dengan menyamar sebagai suami seseorang. Ini pernah terjadi di Mojokuto. Genderuwo meniduri istri orang sampai melahirkan anak. Anak itu berwujud besar, hitam dan bentuknya aneh. Ia hidup sampai usia 16 tahun kemudian meninggal.

Hampir sewindu lalu, kisah ala Geertz ini muncul dalam satu program yang berjudul “Bukan Empat Mata” yang ditayangkan oleh Trans 7. Acara yang dipandu oleh presenter Tukul Arwana ini menampilkan pedangdut Ageng Kiwi, Eyang Ratih, dan Wagini, sang anak genderuwo. Acara ini tayang pada 10 Mei 2013 silam. Ageng Kiwi sang pedangdut meyakini bahwa Wagini yang saat itu sudah berusia 27 tahun adalah anak genderuwo. Eyang Ratih adalah yang merawat Wagini sejak usia 12 tahun setelah ayahnya, Gimo, meninggal dan ibu kandungnya, Wakijem, melarikan diri. Wakijem, ibu Wagini tak sanggup lagi menerima kenyataan anaknya. Kisah  Wagini ini bukan berlokasi di Mojokuto atau Pare, melainkan di Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur.

Pada 2019 lalu juga publik sempat dihebohkan oleh razia buku kiri. Pihak yang berwenang sempat melakukan razia buku yang disinyalir beraroma PKI atawa komunis. Sejarawan Asvi Warman Adam menengarai aktivitas razia ini ada kaitannya dengan upaya menghalau isu miring yang menimpa Jokowi. Fenomena razia buku ini mengingatkan pada salah satu peringatan paling menyolok di masa Orde Baru: “Awas Bahaya Laten Komunisme”. Di masa-masa Orde Baru silam, poster-poster bertuliskan peringatan di atas mudah ditemukan di merata tempat. Sesuatu yang laten adalah sesuatu yang tersembunyi. Inilah genderuwo, hantu. Hantu komunisme.

Hauntologi (hauntology) di dalam bahasa Perancisnya dekat sekali dengan terma ontologi. Ontologi dalam dunia filsafat memang berbicara tentang wujud, adaan, prinsip. Dalam konteks ini, hauntologi secara spesifik berbicara tentang sesuatu yang memiliki dua wajah sekaligus. Antara ada dan tiada, antara hidup dan mati, masa lalu yang hadir bersama dengan masa kini. Hauntologi berbicara tentang ketakutan pada hantu, arwah, monster, setan, atau makhluk halus, yang sangat dekat namun juga sekaligus kegagalan untuk menyebutnya, sehingga justru tak ternyatakan.

Genderuwo saat disebutkan oleh Jokowi dan Prabowo lalu tentu terkait erat dengan kondisi politik semasa. Ia tidak berkaitan dengan makhluk halus, melainkan ranah politik. Dari perspektif hauntologi politik, genderuwo bisa dibilang monster politik yang hadir sekaligus gaib. Ia adalah istilah yang dipakai untuk aktifitas menakut-nakuti, namun bisa juga menjadi bahaya yang mengintip, tersembunyi, laten, pun menghalang-halangi. Genderuwo adalah sebuah penghantuan, mengawasi, membayang-bayangi, membuntuti. Tak kasat mata, namun terasa menebar aroma ketakutan.@

* Tutur Prabowo ini bisa ditilik di detik.com, 8/02/2019 

 

Artikel sebelumnyaTANAH PERANG
Artikel berikutnyaMERAWAT IMPRESI MODEL KURNIAWAN JUNAEDHIE
Riza Bahtiar
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.