KETIKA masih kanak-kanak, ibu membikinkanku sebuah bola sebesar kepalan tangan yang dibuat dengan karet yang ia sadap sendiri. Itu tahun-tahun yang begitu jauh, dan aku tak yakin bisa mengingat semua peristiwa itu dengan cara yang benar selain hanya sekelebat bayangan yang samar-samar: bahwa ibu membuatnya dengan daun nanas, menggumpalnya, dan menyerahkannya padaku untuk kujadikan mainan.

Bentuk bola itu tidak bulat sempurna, tetapi aku ingat kesenangan dari mainan baru itu begitu sempurna hingga membuatku jatuh cinta dengan sepakbola sungguhan kelak ketika sekolah dasar saat menyaksikan turnamen sepakbola amatir antar kampung.

Turnamen tersebut diadakan di lapangan bola yang berada tepat di belakang sekolah kami. Aku saat itu berusia sepuluh tahunan, kurasa.

Dan itu adalah pengalaman pertamaku melihat bagaimana si kulit bundar begitu digilai oleh banyak orang, bahkan bapakku, yang sama sekali tak pernah menonton bola di televisi. Saban sore, sehabis pulang madrasah, kami (aku dan beberapa orang teman) pergi berjalan kaki ke sana, ke lapangan tanpa stadion itu, bergabung dengan banyak orang untuk menonton drama yang bakal terjadi di tengah lapangan hijau. Kau tahulah, sepakbola amatir, hal-hal berbau mistis macam mengencingi gawang sebelum pertandingan, memasuki gawang lawan yang sulit dibobol, atau perkara-perkara semacam itu sudah pasti jadi hal yang paling sering dibicarakan, bahkan lebih dari permainan di lapangan itu sendiri.

Ada banyak hal yang bisa diingat dari kenangan masa kecil itu, dan sungguh, yang paling berkesan buatku adalah saat jeda istirahat di antara dua babak di mana kami masuk ke lapangan dengan membawa bola dari segumpal kantong kresek bekas. Kami berlarian. Berebut bola kresek untuk lantas membawanya masuk ke dalam gawang (dan berselebrasi) selama beberapa menit sebelum babak kedua dimulai.

Waktu itu bola adalah benda langka yang susah didapat. Pasca turnamen itu, rasa-rasanya, selama satu-dua tahun kemudian bola terbaik yang dapat kami miliki—para bocah itu—adalah bola plastik ringan yang kami mainkan di lapangan yang kami tebas sendiri, jauh dari lapangan utama, di dekat kebun karet—sepuluh menit berjalan kaki dari rumahku.

Masa-masa itu adalah hari di mana mimpi-mimpi besar kami sebagai orang kecil untuk tumbuh menjadi seorang pemain bola yang kelak bermain di hadapan pendukung tim nasional timbul. Saban hari selama bertahun-tahun kami datang ke lapangan membawa sepatu murahan kami, kaos bola tiruan dari tim favorit, dan mimpi teramat mahal di sudut kampung terpencil.

Tetapi mimpi, rupa-rupanya, berbanding terbalik dengan pertumbuhan manusia: sebab ketika semakin besar, mimpi itu perlahan mengecil, seperti bola yang kehilangan udara, menyusut menjadi hal-hal yang jauh lebih mungkin untuk digapai.

Selama bertahun-tahun belakangan aku bahkan tak pernah menyentuh rumput lapangan lagi, bahkan tidak untuk sekadar memegang bola.

Aku masih suka bola, tentu saja, aku hampir tak pernah ketinggalan pertandingan Real Madrid, atau main game—satu-satunya game yang kukuasai hanyalah bola. Hari-hari ini gairah sepakbola muncul lagi ketika piala dunia mulai bergulir. Dan mimpi besar itu mencuat kembali di generasi-generasi jauh di bawahku: mimpi menjadi pemain sepakbola profesional.

Aku tak menertawakan mimpi itu, jelas sekali, bagaimanapun mimpi besar bukan sebuah kesalahan, hanya saja aku tak turut hanyut ke dalam mimpi yang sama, aku yang sekarang terlalu kecil untuk segala hal sebesar itu. Namun, beberapa hari yang lalu, setelah makan malam, Abah yang menyaksikan berita tentang hiruk-pikuk piala dunia di televisi mengenai bola yang dibikin di Indonesia untuk keperluan souvenir Piala Dunia Qatar menawarkan mimpi yang—tak kusangka—menghantuiku hingga malam di mana aku tak bisa tidur dan memutuskan menulis ini.