SEBELUMNYA saya agak bingung mau nulis apa, semua yang terkait Perupa Misbach Tamrin kayanya sudah pernah saya tulis. Ada di buku Realisme Revolusioner, yang merupakan hasil skripsi saya, di buku Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni (tulisan bersama Hairus Salim), juga ada dalam buku Memandang  ke Dalam Cermin (yang baru terbit), rasanya saya sudah mengeksplorasi kesenimanan dan kekaryaan Misbach–perupa senior yang sangat saya hormati–selama ini. Tapi ternyata (masih) ada satu momen yang cukup penting, mungkin sepenting momen estetik bagi seorang seniman.

Satu hari saya dengan Pak Misbach (begitu saya memanggil beliau) menghadiri pameran. Hampir seharian kami bersama, dari tengah hari ke tengah malam. Ya, tengah malam itu-lah, sesudah kegiatan sempurna, saya mengantarkan beliau pulang ke rumah di Darma Budi dan ternyata pagar komplek sudah tertutup. Rumah beliau ada di ujung komplek. Cukup jauh berjalan dari pintu yang tertutup itu, bagi saya yang belakangan ini agak pincang tentu akan sangat-sangat melelahkan. Tengah malam pula! Tapi Pak Misbach menahan saya untuk membuka pagar dan mengantar lebih jauh, beliau bilang akan jalan saja. “Sudah biasa,” katanya.

Saya terpana, antara merasa tak beradab dan menghargai keteguhan beliau, saya pulang dengan pikiran yang terbuka. 78 tahun usia beliau (seumur ayah saya ketika meninggal 11 tahun yang lalu), dan usia manusia tak membuat gentar orang yang terbiasa ditempa badai.

Misbach Tamrin adalah perupa serbabisa. Basis kesenimanannya adalah melukis, selain itu juga membuat karya monumen-monumen, dan menulis. Karya seni lukis beliau ratusan, monumen beliau yang ada di Kalsel puluhan, karya tulis beliau sendiri ada tiga buku–belum termasuk yang ada di koran-koran Orde Lama, majalah, buku tulisan banyak penulis, katalog pameran, dinding fesbuk, dst. Bahkan hingga hari ini beliau masih aktif mengamati perkembangan seni rupa dan dunia kesenian, tidak hanya di Kalimantan Selatan tapi juga Indonesia secara umum. Nama beliau dikenal sebagai bagian dari jejak sejarah perkembangan seni rupa Indonesia, kehadirannya ditunggu dan penuturannya didengarkan dalam forum-forum seni rupa nasional. Beliau masih aktif bermedia-sosial dan bolak-balik Banjarmasin-Jakarta-Lido-Yogyakarta untuk sekadar memenuhi undangan kegiatan atau pameran seni rupa.

Saya memang pernah bertemu AD Pirous, seniman gaek yang enerjik, tapi belum pernah melihat seniman seusia seperti Misbach Tamrin di Kalimantan Selatan. Dan, tengah malam gelap itu beliau jalan sendiri untuk jarak yang dapat membuat orang seusia saya lelah dan takut! Mahasuci Tuhan yang meng-ada-kan jiwa yang tangguh ini.

Misbach benar-benar telah ditempa badai kehidupan sedemikian rupa. Anda bisa membaca kisahnya dalam buku biografi beliau, Berlayar di Tengah Badai. Ia berangkat ke Jogja di tahun 1959 dan di tengah pelayaran sanering menimpa ekonomi Indonesia, uang yang dibawanya jadi (hampir) tak berharga. Di ASRI Yogyakarta ia jadi ketua IMASRI (semacam BEM saat ini) dan aktif melukis dan menulis. Ketika gurunya, Gt. Iberahim Aman, mengunjunginya dan tahu bahwa anak didiknya telah “larut” dalam arus besar kerakyatan Jogja ketika itu lalu menegurnya lirih, Misbach hanya mampu tersenyum kecil. Begitu pula-lah ia hanya diam dan tak mampu menjawab, ketika Gt. Sholihin Hasan (perintis seni rupa modern di Kalsel), guru seni rupanya yang sangat berpengaruh itu menegur gaya seninya yang “kelajuan” saat itu.

Tahun 60-an itu tahun-tahun badai, mengangkat Misbach muda ke puncak pergaulan seni di Jogja dan Indonesia secara umum lalu menghempaskannya begitu rupa (hingga) ke dalam penjara Orba. Misbach adalah anak muda progresif penuh impian yang kemudian dijatuhkan ke dalam kesadaran ketakberdayaan. Baru saja menjalani hidup penuh prestasi di alam keterbukaan, dalam usia relatif sangat muda (24 tahun ketika itu) ia harus masuk ruang berjeruji yang menahannya selama 13 tahun. Mimpinya kandas, alih-alih menjadi seniman bebas dengan gagasan besar yang melimpah ia malah menjadi seniman kecil yang harus memenuhi pesanan penguasa dengan bayaran murah.

Keluar kemudian pun tak menguntungkannya, cap-stigma negatif yang ditempelkan di kartu tanda penduduknya membuatnya tersisih sekian tahun dari pergaulan seniman, ditambah celaan dan gugatan bila ingin muncul sebagai seniman yang merdeka. Namun ia bertahan, dan pasca-reformasi ia kembali sebagai halaman-halaman sejarah yang (sempat) hilang. Kisahnya berirama rancak, lebih dari sekadar gelombang sungai Barito yang tak seberapa, tapi gelombang samudera–tempat sungai-sungaibermuara.

Kisah-kisah semacam ini banyak diceritakan dalam “manakib” orang besar, tentang gelombang kehidupan yang bermakna, di buku-buku ataupun dalam tradisi lisan. Kisah yang sedemikian menjadi hikmah, “hukum” kebijaksanaan yang dapat dipetik orang-orang sesudahnya.

Lukisan-lukisan Misbach sebelum ini, baik yang romantik maupun yang revolusioner, sudah “menjelaskan” detail pengalaman “mendaki” gunung kearifan itu. Dan tentu saja kearifan bukan sekadar sikap penerimaan tak berkesadaran, ia juga sikap perlawanan yang tak lelah. Lihatlah bagaimana ia mengkritik sahabatnya Djoko Pekik yang ketika ditanyai Karni Ilyas tentang “badai” ‘65 hanya menjawab “sing uwis yowis”; bagaimana ia masih berharap dengan rezim pemerintahan saat ini akan nasib hukum ia dan kawan-kawannya; dan mengkritik sikap-sikap avonturir dalam berkesenian; serta bagaimana ia menyajikan kenangan pribadi yang cukup pahit secara realistik ke hadapan publik luas (dalam lukisan dan tulisan) sebagai kritik diri–yang mungkin tak semua orang berani melakukannya di alam sosial-politik seperti sekarang ini. (Hal-hal ini ada di dalam buku yang akan didiskusikan nanti).

Kearifan yang diinspirasikan sosok Misbach Tamrin, adalah soal kegigihan dan terus berupaya (produktif-kreatif) hingga sempurna usia manusia. Kreativitas yang menghidupinya, imajinasi basis kesadarannya. Entahlah, saya belum pernah bertanya soal pandangan keagamaan pribadinya dan soal pengalamannya berhaji bertahun-tahun yang lalu. Jika itu cukup penting, mungkin ia akan menuliskannya untuk kita, atau mungkin sahabat mudanya yang lain akan menulisnya. Dan cukuplah tulisan ini sebagai pengantar diskusi buku Misbach Tamrin, SBT Melawan Lupa, di Kampung Buku 7 Oktober 2019. Saya sendiri tak dapat datang karena hal lain yang juga sama penting di luar daerah, dan saya sangat menyesal karenanya, tapi buat Anda yang berjiwa “muda”: Datanglah!

Jendela sedemikian lebar terbuka, dan engkau bisa melihat ke kedalaman jiwa manusia.@