SUARANYA tersekat. Hampir menangis, namun masih bisa ditahan. Mata sang walikota berkaca-kaca. Di bawah bangunan segitiga di tengah hutan pinus itu, dia tidak sekadar memberikan sambutan untuk acara Soundscape of Gurindam, sore Sabtu (27/10), namun juga sebuah kesaksian untuk mimpinya.

“Sungguh, saya terharu, ingin menangis…”

Sebentar dia terhenti. Mengatur napas agar keterharuannya tak berubah menjadi tangisan sesungguhnya. Setelah agak tenang, kembali dia melanjutkan kata-katanya dengan terbata-bata. “Ini adalah mimpi…, mimpi… ” katanya berulang-ulang. “Dulu, duapuluh empat tahun lalu, saat saya masih sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Banjarbaru, saya sudah punya cita-cita untuk melaksanakan kegiatan kesenian di hutan  pinus ini. Menjadikan hutan pinus sebagai ruang kegiatan kesenian dan kebudayaan. Sekarang, setelah duapuluh empat tahun, mimpi itu baru terwujud.” Lagi, suaranya menjadi serak.

Keterharuan itu juga menjalar kepada segenap seniman dan pejabat yang hadir. Semua tampak hening, khusyuk mendengarkan seorang Walikota Nadjmi Adhani, yang memberikan kesaksian akan mimpinya.

Masa 24 tahun memang bukan waktu yang pendek. Seorang anak sudah beranjak dewasa. Sebuah penantian yang lama. Wajar bila kemudian Nadjmi begitu terbawa emosi ketika mimpi lamanya itu terwujud. Hutan  pinus yang tak jauh dari Balaikota itu akhirnya benar-benar menjadi sebuah ruang kegiatan berkesenian.

“Saya tentu harus berterima kasih kepada Novyandi Saputra, seorang seniman muda Banjarbaru, yang menggagas kegiatan di hutan pinus ini. Juga kawan-kawan seniman lainnya yang telah mendukung terlaksananya acara Soundscape of Gurindam,” ucapnya, sudah agak lebih lancar.

Kepedulian Nadjmi terhadap seniman dan kegiatan kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan di kota yang dipimpinnya memang tak diragukan lagi. Yang menarik, hampir semua kegiatan itu melibatkan para seniman dan sastrawan di Banjarbaru—dan tidak terlalu berorientasi mengangkat dan memanggungkan seniman atau sastrawan dari luar. Sebut saja beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan seperti Mozaik Banjarbaru yang melibatkan seniman berbagai bidang seperti pemusik, penari, pelukis, dan sastrawan. Atau Rainy Day’s tahun lalu (2017) yang juga merangkul banyak sastrawan Banjarbaru. Juga para pelukis Banjarbaru yang banyak mewarnai kota, seperti melukis kawasan Kemuning.

“Dan untuk Rainy Day’s tahun ini, yang dilaksanakan pada akhir November, saya ingin hutan pinus ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu tempat kegiatannya,” ujar Nadjmi.