PADA mulanya adalah batik.

Nasirun, pelukis Yogyakarta, yang dikenal sebagai salah satu pelukis terkemuka Indonesia saat ini, pada awalnya bukanlah seorang pelukis murni. Ia masuk ke ruang seni rupa melalui batik.

“Saya dulu jualan batik. Bahkan waktu SMA, tahun 80’an, saya sudah punya tigabelas karyawan batik,” ucapnya terkekeh. “Sekarang masih, tapi dijalankan putri saya,” tambahnya.

Saya bersama Misbach Tamrin, pelukis asal Kalsel, berserta kawan-kawan dari Akademi Bangku Panjang Mingguraya (ABPM) Banjarbaru yang sedang proses produksi film dokumenter Misbach, berkesempatan mengunjungi kediaman Nasirun di Wates, Yogyakarta, Sabtu (25/5/2024).

Ketika kami sampai di depan rumah Nasirun yang berada di dalam komplek, pelukis berambut sepunggung dengan jenggot selalu dikepang itu sedang menyapu daun-daun di halaman rumahnya.

“Saya ini tukang sapu,” katanya tertawa menyambut kami.

Di komplek perumahan itu, Nasirun memiliki dua tempat, berseberangan. Pada bangunan pertama rumahnya, kami terlebih dulu dipersilakan menikmati halaman belakang rumahnya yang luas. Ada banyak pohon rindang dan tanaman, juga sebuah kolam renang yang airnya kebiruan–mungkin pantulan dari warna keramik di dinding dan dasar kolam.

Juga ada sejumlah patung, di antaranya patung Jenderal Soedirman yang berwarna keemasan. Suasana terasa sejuk, terlebih karena terdapat pula kolam ikan koi.

Tak lama, Nasirun yang kala itu mengenakan kaos oblong hitam dan bawahan kain batik yang sepertinya dililit sekenanya, muncul kembali dan mengajak kami memasuki ruangan bangunan yang berada paling sudut di halaman belakang itu.

Kami diajak melihat koleksi lukisan miliknya yang memenuhi hampir seluruh dinding bangunan. Usai mengamati koleksi di  lantai dasar, kami diajak untuk menaiki tangga menuju lantai dua. Lagi-lagi seluruh dindingnya penuh lukisan.

Misbach Tamrin dan Nasirun di antara lukisan (atas), dan saat mereka berbincang di bangku taman belakang kediaman Nasirun. (foto: sandi)

“Saya memiliki koleksi lukisan dan skets semua anggota Sanggar Bumi Tarung, termasuk karya Pak Tamrin,” sebut Nasirun kepada Misbach Tamrin sambil tersenyum. Di Yogya, Misbach Tamrin memang lebih sering disapa “Tamrin”.

Mengamati begitu banyaknya koleksi, berkali-kali Misbach memuji Nasirun. Sementara kami hanya berdecak kagum. Dan bila begitu, berkali pula Nasirun mengucapkan, ” Mohon doanya” dengan rendah hati.

“Selain yang dipajang ini, masih ada lagi,” kata Nasirun sambil menunjuk ke arah rak di atas dengan susunan kanvas terbungkus. “Jumlahnya mungkin ribuan itu,” sebutnya.

Nasirun di tengah beragam koleksi seninya.

Belum habis rasa kagum kami, dia kembali mengajak ke lantai paling atas. Dan di bawah atap rumahnya kembali terlihat jejeran ratusan kanvas yang juga terbungkus. “Tidak hanya lukisan, di sini juga ada koleksi tulis tangan para seniman,” ucap Nasirun.

Lelaki kelahiran Cilacap, Jawa Tengah pada 1 Oktober 1965, itu kemudian mengajak kami ke bangunan seberangnya. Tempat itu lebih tepat disebut museum. Karena di sini lebih banyak dan beragam lagi koleksinya. Di depan pintu masuk sebenarnya ada tulisan: Tiket Masuk Rp25.000, tapi kami “nyelonong” saja mengikuti sang tuan rumah di depan.

Di dalam, rupanya ada satu pengunjung, perempuan muda. Dia dari Jakarta, dan sedang ditemani Josephine, yang memang bertugas mendampingi dan menjelaskan koleksi-koleksi yang ada di galeri itu.

Sebelumnya, seorang pria bernama Mulyo Setiawan ikut bersama kami masuk ke museum itu. Dia mengaku datang sendirian dari Semarang untuk melihat koleksi Nasirun. Dia juga menyerahkan sebuah buku ke Nasirun.

Di tengah ruang museum itu kami disambut sebentuk bangunan spiral menyerupai Borobudur, namun stupanya berupa botol-botol. Di samping, ada patung Gus Dur tertawa duduk di sofa– siapa yang datang ke sini, biasanya takkan melewatkan berfoto dengan “Gus Dur”. Pun saya.

Facebook Comments