“SA, karena Jumat mama sudah lebaran, kamu ikut ke rumah nenek di Mandiangin, sholat ied di sana. Ntar sorenya baru papa jemputi, kita ke rumah nenek di Pelaihari, karena papa berlebaran di Sabtu. Jumat masih puasa,” Yasa mengangguk saja. Seraya melanjutkan suapan terakhirnya.
Itu obrolan saat makan Sahur jelang subuh tadi. Dan pembagian waktu /perencanaa berlebaran itu bukan kali pertama, kita sudah sering membagi-bagi perencanaanya ketika penentuan hari pertama ramadan/hari lebaran berbeda antara Muhammadiyah dan Pemerintah (NU).
Catatan ini akan berkutat pengalaman dalam rumah tangga saja. Tidak akan terlalu dalam membahas problema perbedaan amaliyah di Nahdatul Ulama (NU) dan di Muhammadiyah. Ya sikit/sikit ke sana boleh lah, tipis. Sebab emang dah banyak banget pembahasannya, artikelnya, disiplin ilmu dan buku-bukunya. Dan solusinya pun sudah ada. Ini kesepakatan antara pakai dan tidak pakai semata.
Sebagai orang yang NU banget saya suka sekali dengan amaliyah-amaliyah Muhammadiyah. (Datuk saya yang bermukim di Kelayan, Banjarmasin/kakek dari ayah saya adalah pengurus di organisasi NU) saya ingat betul bendera NU besar banget di rumahnya. Saya sudah melihatnya waktu kecil banget, bocil.
Kemudian lanjut ke pesantren Darussalam di Martapura, pas remaja hingga pra dewasa. Kadang kita suka tuh ngambil job di kubur 3 hari 3 malam. Saya rutin sekali pergi maulidan setiap Minggu malam di sekumpul. Haul guru mana aja rutin kita datangi, baca yasin setiap ziarah, baca Qunut saat subuh, bahkan ampe sujud sahwi saat lupa. Ngambil ijazah kitab ini itu dengan berbagai sanad-sanadnya. Wah banyak sekali. Tahlilan apa lagi, selalu maarwah 3 hari, 7, 40, 100 saat ada keluarga yang meninggal. Kurang nahdiyin (sebutan untuk masyarakat NU) apa lagi itu!
Istri saya, sebagai Muhammadiyah tulen. Maksudnya bukan yang setengah-setengah, bukan orang yang ikut-ikutan. Kakeknya, (bapak dari ibunya adalah pendiri/pengurus Organisasi Muhammadiyah Kecamatan Karang Intan, perantauan dari Palembang dan salah satu pendiri di Kabupaten Banjar, adalah H Salahudin Pencak. Bapaknya, pengurus di Muhammadiyah, yang juga khatib, dan kepala sekolah, di wilayah Mandiangin Barat. Sudah bisa dibayangkan dong ni anak pola asuhnya sejak kecil kayak gimana?
Mengapa harus saya beberkan nasab demikian? karena kami bukan yang tiba-tiba pindah amaliyah setelah menikah.
BERSEPAKAT DALAM FIQH FURU’IYAH
Sebenarnya istilah di atas masih sangat familiar. Apalagi kalangan santri. Namun, saya merasa terpaksa menjelaskan lagi, memahami kondisi tumbuh-kembang Gen Z yang sekarang luar biasa malas membaca. Huft.
Gen z sekarang bacotnya lebih ngotot! yaaa saya jelaskan sajalah tipis-tipis. Padahal ya kalau mereka mau rajin sedikit, mencari sendiri, dengan katau kunci yang tepat, maka akan dapat penjelasan yang akurat dan gamblang. Tapi milenial yang keras kepala juga banyak, jadi kita perhaluskan pembeberannya, berikut ini:
Fiqih dalam konteks keorganisasian tersebut berfokus pada amaliyah/perbuatan menyangkut ibadah yang dzahir/terlihat, atau konteksnya lebih ke aturan dalam beribadahnya. Jadi bukan berkutat pada akidah (yakni Tauhid) atau akhlak (tasawwuf/ilmu hati). Soal akidah kita mah klop keles! sama. Gak ada bedanya, check rukun islam rukun iman. Sama mentok. Tok.
Mengapa ada istilah firqoh atau pembagian dalam amaliyah?
Sebab, Nabi Muhammad SAW hidup dalan kurun waktu kerasulan yang cukup singkat. Sebutlah ketika umur 40 tahun, lantas segala gerak, ucap, dan diamnya Nabi Muhammad diriwayatkan oleh begitu banyak sahabat nabi dalam kurun waktu itu tadi, hingga wafatnya di 63 tahun. Nah dari situlah hadist dan dasar hukum terlahir, ada sahabat yang merangkumkan dari metode melihat langsung, ada yang mencatatnya dari penglihatan sahabat lain.
Pun demikian ada yang karena mendengar langsung dan ada yang mendengar dari kelurga nabi/istri-istri nabi/sahabat nabi. Tidak semua sahabat mengumpuli nabi 24 jam dalam sehari, dari situlah pembagian-pembagian amaliyah. Wah kalau dirunut lagi ini akan panjang sekali, saya akan persingkat!
Kemudian sampai di masa pengarang-pengarang kitab fiqih yang sekarang dipelajari di pesantren-pesantren sebagai rujukan hukum dan juga universitas-universitas besar yang melahirkan para profesor serta cendikiawan-cendikiawan muslim.
Lanjut lagi sampai rujukan dasar hukum tersebut masuk dalam musyawarah yang besar dalam ranah Tajdid (istilah dalam NU) dan Tarjih (istilah dalam Muhammadiyah) kemudian diumumkan menjadi Komisi Fatwa MUI dalam menentukan hukum suatu urusan negara dalam hal ini INDONESIA.
Nah, sudah bisa dipahami sedikit? Ini belum lagi bicara soal para pendiri dua organisasi yang se-Guru dengan rententan sejarahnya yang panjang dan seru banget. Cari sendiri saja lah ya! Btw kalau agak keliru, boleh banget diluruskan lagi. Karena ini berdasarkan rangkuman pemikiran saya pribadi dari apa yang telah saya baca.