SAYA akan bercerita tentang Oshin, lebih tepatnya pengalaman menonton Oshin, serial televisi Jepang yang ditayangkan di Jepang tahun 1983 sampai 1984. yang banyak penggemarnya. Saya lupa kapan pertama kali TVRI menayangkan serial ini, tapi waktu itu TV berwarna masih belum ada di kampung saya, TV hitam putih ada beberapa, mungkin di bawah lima.
TV hitam putih ini perlu saya bahas sebelum menceritakan tentang pengalaman menonton Oshin, karena mungkin banyak pembaca yang tidak tahu bahwa dulu teknologi bernama TV Hitam putih itu sangat langka. Kalau dibanding sekarang, memiliki TV hitam putih bahkan lebih berharga daripada memiliki iPhone XS.
Dan kalau pakai smartphone kamu harus beli kuota, dulu TV juga berbayar, iuran televisi namanya, setiap bulan penagih iuran akan berkeliling mendatangi pemilik televisi, sampai di daerah yang belum tersentuh aliran listrik, karena TV dulu dijalankan dengan aki, yang harus disetrum (recharge) ke kota Banjarmasin bila sudah habis tenaganya, dengan menitipkan pada kapal-kapal penumpang untuk dititipkan satu malam di tukang setrum.
Satu TV hitam putih di sebuah rumah bisa mendatangkan banyak tetangga, terutama saat serial tercinta, seperti Sengsara Membawa Nikmat, dan Siti Nurbaya. Atau acara musik seperti Album Minggu dan Kamera Ria. Ada juga serial luar seperti Combat dan Friday the 13th, Little House on the Praire yang kemudian dicontekArswendo jadi KeluargaCemara.
Atau setahun sekali nonton film PKI, kata orang filmnya seram, saya ingat dulu akan ke rumah tetangga kalau malamnya film PKI, bukan karena mau nonton film, cuma karena akan banyak kuaci gratis malam itu. Saya kurang ngerti kenapa ada yang bilang trauma nonton film ini, mungkin karena filmnya terlalu malam untuk waktu Indonesia bagian tengah, sehingga belum setengah film saya akan mengantuk. Atau mungkin karena saya nontonnya di TV hitam putih, sehingga darah jenderal warnanya hitam, sehitam baret Tjakrabirawa.
Oh iya, tenang, saya masih akan cerita tentang Oshin. Jadi begini, Oshin yang saya ingat di TV hitam putih adalah seorang gadis yang sedih, yang berjalan di samping rumah tradisional Jepang, saat salju turun dan membuat semuanya menjadi putih. Selain salju yang putih,semuanya hitam. Oshin, rumah, dan juga ranting pohon yang tidak tertutup salju. Cerita serial ini tentang apa saya tidak ada ingatan. Karena mungkin saya cuma menonton sekali-sekali di rumah tetangga.
Beberapa tahun kemudian, saya tak sengaja nonton TVRI, ada Oshin lagi. Saya akhirnya lihat si gadis Jepang itu dalam TV berwarna dengan mata saya yang tua, sehingga Oshin terlihat cantik sekali. Dari Wikipedia saya akhirnya tahu, Oshin ini diperankan oleh Yuko Tanaka yang saat itu berusia sekitar 27 tahun, walau tampak lebih muda saat menjadi Oshin.
Melihat Oshin di TV berwarna, dan bukan sebagai anak-anak menjadi sangat berbeda. Ada detail-detail yang ternyata menarik, tentang Oshin yang hidupnya cukup panjang untuk mengalami beberapa perubahan politik dan ekonomi di Jepang. Ia merasakan Restorasi Meiji, saat feodalisme digantikan oleh nasionalisme yang baru dan trendi pada masa itu.
Perubahan dan peristiwa penting digambarkan dengan halus, seperti perubahan gaya rambut wanita Jepang saat Oshin bekerja di salon. Atau perubahan pola makan yang digambarkan saat Oshin terkena penyakit biri-biri karena perubahan pola makan warga Jepang yang semakin banyak mengonsumsi nasi.
Di luar hal-hal berat itu, paras Oshin-yang saya lihat saat di TV berwarna- lah yang mampu membuat serial ini begitu dicintai di banyak negara. Kecantikan Oshin bahkan bisa begitu populer di Iran yang saat itu sedang menghilangkan pengaruh luar yang dianggap tidak sesuai dengan semangat revolusi Khomeini. Oshin memang ditayangkan di Iran, tentu saja dengan sensor yang ketat. Namun tetap tidak menghalangi pesona Oshin yang memikat pemuda Iran.
Fantasi kecantikan Oshin berhasil menghuni benak lelaki Iran, mungkin sama dengan fantasi orang barat terhadap penari perut dari padang pasir. Namun tidak hanya pemuda yang terkesima, bahkan pemudi di negara ini berusaha meniru Oshin dengan menyembunyikan gaya rambut khas Oshin di balik kerudung.
Saat melihat Oshin di TV berwarna keluaran Korea membuat saya sadar bahwa sejarah tidak harus diletakkan pada buku-buku teks yang tidak banyak orang tahan untuk membaca, cukup dengan cerita seorang gadis biasa yang tidak memiliki peran dan kemampuan untuk mematahkan alur sejarah.
Oshin bukan hanya narasi panjang sejarah Jepang dengan segala worldview-nya, tapi juga menjadi catatan kecil untuk mengingat sejarah di banyak tempat. Tempat-tempat yang jauh dari Jepang yang mengingat kecantikan Oshin dengan caranya masing-masing.@