Pameran adalah ajang menampilkan karya, yang sebelumnya diolah secara pribadi di “dapur” (baca: studio) masing-masing seniman. Tentu saja secara umum yang dimaksud adalah pameran karya seni rupa, baik lukisan, patung, grafis, karya kriya dan desain. Di ruang pameran, atau lazim disebut galeri, karya seni bertemu dengan apresiannya. Penikmat karya seni, baik sekadar penikmat awam, kritikus/ pengamat karya seni, kolektor pembeli karya, pejabat pemerintahan, dan tentu saja seniman (perupanya) sendiri, yang membawa latar belakang sosial, budaya dan pemikiran, serta kepentingannya masing-masing.
Dalam hal ini pameran menjadi medan pertukaran gagasan, apresiasi, serta dapat pula nilai ekonomi. Sebuah lukisan atau karya seni rupa bagi pelukisnya adalah gagasan dan ekspresi visual, bagi pengamat dan penikmat menjadi wahana apresiasi, bagi kolektor nilai tambah dan komoditi.
Di luar hal ini, untuk sampai ke ruang pameran, ada proses yang tak sederhana yang diolah baik di studio para perupa maupun suatu proses manajerial yang dilakukan penyelenggara pameran–melibatkan perancang pameran/ kurator dan staf manajemen pameran yang di dalamnya termasuk para “tukang” display yang memiliki keahlian tersendiri. Jika pameran disertai buku katalog, juga melibatkan penulis dan percetakan. Saat pameran, dibantu lagi oleh yang menjaga pameran yang, sebenarnya, diharapkan mampu menjelaskan secara umum karya-karya yang dipajang di luar senimannya sendiri.
Dengan demikian, pameran adalah kompleksitas kerja yang mestinya ditangani secara serius proses per-prosesnya. Bukan sekadar mengumpulkan karya dan meletakkannya di ruangan untuk ditonton. Sebuah konsep penataan visual, di luar kerja seniman di studionya, sudah harus dirancang sejak dini. Bisa dimulai dengan gagasan menindaklanjuti fenomena aktual, maupun dibuat tematik sesuai karya-karya yang terkumpul dari ajakan yang bersifat umum. Ini tentu saja masuk ke dalam wilayah kurasi yang, nanti akan dijelaskan di bawah, akan memberikan wacana pemikiran atas dasar apa dan untuk apa pameran ini diselenggarakan. Wilayah kerja seniman di studio adalah wilayah otonom, dan wilayah kerja manajemen serta kuratorial juga punya otonomi tersendiri.
Pembagian kerja yang demikian sudah dikenal sejak lama, hanya penekanan istilah kurator, di Indonesia seperti dikatakan Agung Hujatnikajennong dalam Kuasa dan Kurasi (2015), baru mulai terjadi sejak awal 1990an. Hal ini, salah satunya, diperlukan mengingat tingkat apresiasi masyarakat terhadap karya seni yang makin kompleks pada periode tersebut. Adanya kebutuhan wacana yang lebih maju, kepentingan pengoleksian karya yang makin massif, dan gagasan konseptual seniman yang makin beragam dan maju pula, media dan gagasannya.
Ketika gaya pemisualan makin kaya coraknya, dengan pemakaian media visual yang makin menerabas sekat-sekat bentuk seni yang sudah mapan sebelumnya. Dulu, misalnya, kalau bicara seni rupa murni yang disebut terbatas pada karya lukisan (cat minyak di kanvas atau cat air di kertas), patung (logam, batu, kayu), dan cetak (grafis) murni saja. Masing-masing berdiri sendiri dalam peristilahan dan praktik perwujudannya. Konsep visual pun “dibatasi” pada aliran-aliran (realisme, surealisme, dekoratif, naif, kubisme, dst), yang seolah-olah “selesai” pada wilayahnya masing-masing.
Kenyataannya, pemanfaatan media oleh seniman makin kreatif menerabas batasan permaklumannya. Konsep visual pun makin binal dan banal, tak terkekang aliran-aliran yang lazim diketahui pada seni modern saja. Wilayah imajinatif demikian memang suatu yang niscaya, seniman yang bergeming pada posisinya yang mapan bisa-bisa terjatuh pada “kelas” pengrajin saja. Meskipun, karakter visual tertentu memang menjadi identitas tersendiri yang patut diapresiasi.
Apresiasi yang Berkemajuan
Cara memandang kepada objek seni dapat dipengaruhi oleh banyak hal dan kepentingan. Pengetahuan (estetika) tentu saja. Bagaimana sebuah lukisan, misalnya, terdiri atas susunan unsur-unsur dasar seperti garis, bidang, warna, tekstur, yang membentuk kesatuan harmonis dan seimbang. Di luar itu, wacana sosial kebudayaan, juga ekonomi, yang mengitari seniman niscaya menjadi bahan dasar ia mengolah subjek karyanya, dalam imajinasi yang dapat membawa penikmatnya pada sesuatu “yang lain” dari sekadar objek yang sudah lazim dikenali. Subjek tematik topeng, misalnya, bagi seseorang bisa saja melampaui sekadar objek penutup wajah. Topeng bisa saja diambil substansinya sebagai sesuatu yang menutupi, mendindingi, “wajah” aslinya. Dan wajah, dapat saja secara kreatif dimaknai sebagai “dunia” yang asali, yamg tertutupi oleh sesuatu lainnya yang palsu.
Seniman menyediakan wadah (wahana) bagi imajinasi kreatif melalui karyanya dalam sebuah pameran. Topeng bagi Muslim Anang, seperti dalam karyanya yang dipamerkan pada pameran Semarak Topeng 71, dapat dimaknai sebagai artefak budaya yang dijerat jala untuk diselamatkan dari ketenggelamannya di dasar sungai. Maksudnya mungkin saja seiring dengan slogan “maangkat batang tinggalam”, karena topeng Banjar dianggap tenggelam di arus perkembangan zaman. Atau, topeng bisa berarti selubung kepalsuan, di tengah dunia maya penuh pencitraan, yang coba disibak diri yang berkesadaran, seperti dalam lukisan Akhmad Noor. Dalam contoh yang lain, pada karya Melati Yusuf, topeng bisa dimaknai sebagai “mainan” dalam festival penuh warna yang meriah, sementara secara tersirat pula tampak sosok lain yang merupakan “dunia” alter-ego seniman, yang dilukis dengan gaya naivistik (kekanak-kanakan).
Imajinasi kreatif seniman memberi ruang refleksi bagi kesadaran keseharian, yang kadang karena terlalu jelas menjadi sangat absurd atau sebaliknya. Di media sosial yang maya, interaksi sosial tampak sedemikian dekatnya–hingga membuka ruang privat seakan tampak benderang di mata orang lain, sementara pada saat yang sama dalam kenyataan sebenarnya hal ini bisa saja sesuatu yang tak nyata ada. Dunia tataan (yang direkayasa sedemikian rupa) semacam ini nyata dalam sebuah tataan pameran.
Bagi sebagian orang, display (penataan) karya-karya pada sebuah pameran adalah sesuatu semenjadi yang tinggal ditonton saja. Bila-bila dapat dijadikan ajang foto selfi, untuk dibagikan di media sosial maya. Namun bagi sebagian pengamat, konsep display yang jelas dan terencana dapat menggiring pada pemahaman tertentu atas konsep diselenggarakamnya pameran. Konsep ini menghubungkan perancang pameran (kurator atau konseptor penyelenggara) dengan apresian yang teliti dan serius ingin melihat pameran. Ia memberi tekanan pada apresiasi, perspektif, dan persepsi yang dihasilkan dari pameran yang diharapkan.
Setiap karya diberi ruang yang tegas secara tersendiri untuk “bicara”, sekaligus terhubung dengan karya-karya lainnya. Ia bukan sekadar benda pajangan atau pakaian yang dijemur di atas temali jemuran. Pameran, dalam hal ini, bermakna sebagai ikatan untuk menyambung aneka hal, dari gagasan seniman hingga interaksi karyanya dengan para apresian atau pengamat lukisan. Maka untuk itu, kata Mikke Susanto dalam Menimbang Ruang Menata Rupa (2004), ada tiga hal pokok yang harus disadari dalam display.
Pertama, unsur apa yang ditata. Lukisan, patung, karya instalasi atau multi media; dengan corak dan materi yang bagaimana; bahan pendukung lainnya semisal panel untuk memajang karya, pengaturan cahaya, hingga meletakkan label keterangan karya. Kedua, siapa pengguna hasil penataan. Pelukis dan penonton (pengamat) karyanya, dengan latar belakang budaya, sosial, ekonomi, dan pendidikan yang bagaimana. Ketiga, prinsip dan kaidah penataan. Yang teakhir ini terkait dengan manajemen pengetahuan kurator/ penggagas pameran, yang berkaitan pula dengan kaidah komposisi, keseimbangan, dan kesatuan (intensitas) materi utama dan pendukung display.
Dengan kerja-kerja demikianlah baru dapat diharapkan apresiasi publik terhadap karya seni makin meningkat dan berkemajuan. Syukur, jika kemudian dapat melahirkan penunjang ekosistem kesenirupaan lainnya, berupa pengamat, pejabat, dan kolektor yang benar-benar meng”harga”i sebuah karya seni.
Kebutuhan akan Kurasi yang Baik
Wacana demikian, yang disebutkan di atas, sudah didiskusikan secara serius oleh kawan-kawan perupa di Kalimantan Selatan, utamanya di Banjarmasin. Karenanya penyelenggaraan pameran dari tahun ke tahun terus dikawal untuk setidaknya sampai pada fase-fase tertentu. Noorman Semawi, dalam Seni Rupa: Sejarah Perkembangan Seni Rupa Kalimantan Selatan dan Sedikit Pengetahuan Kesenirupaan (2021), mencatat tumbuh kembangnya pelukis dan komunitas seni rupa di Kalimantan Selatan. Ia menyebut pula, bahwa kembalinya para mahasiswa (akademisi) seni dari Jogja (pada 80an hingga 90an) membawa warna kreativitas baru yang turut menginspirasi para pelukis sebelumnya.
Hal ini tentu saja berpengaruh pada pengetahuan kesenirupaan yang lebih luas dan mendalam. Diskusi, proses kreatif yang lebih massif dan terarah dengan dukungan media dan gagasan yang lebjh segar, perencanaan pameran yang lebih baik, dst. Termasuk di antaranya, dalam beberapa tahun terakhir perencanaan dengan proses kuratorial yang memberi arah pada apresiasi yang diharapkan makin baik.
Peran kurator dibutuhkan, selain pengetahuan penyelenggaraan yang lebih terarah dan makin baik, dapat mendokumentasikan dan mencatat, serta mengedukasi dan mempublikasikan pameran secara lebih luas. Utamanya, mampu menghadirkan seni rupa Kalimantan Selatan ke tengah medan seni rupa Indonesia dan pembacaannya yang makin melirik keragaman seni rupa daerah. Maka, seleksi yang lebih ketat (dalam tataran tertentu, menyesuaikan kondisi kemajuan seni rupa di Kalsel) dan terkonsep mesti dilakukan.
Pameran seni rupa di daerah kemudian diarahkan, misalnya, untuk mencari potensi-potensi perupa (pelukis) yang lebih luas dan gagasan yang lebih segar. Diharapkan para pelukis sudah khatam persoalan-persoalan teknik dasar, seperti mengolah garis, warna, dan membuat plastisitas bentuk yang realistik. Kurator lalu mengolah potensi-potensi yang tersedia tersebut ke dalam subjek atau materi kebudayaan yang lebih luas. Persoalan aktual bagaimana yang dapat ditangkap para pelukis, bagaimana mereka mengolah unsur-unsur tersebut ke dalam karya, dan kebaruan bagaimana yang bisa disajikan kepada publik untuk meningkatkan apresiasi mereka.
Hal ini tentu saja terus berlangsung, hingga Pameran Lukisan dan Karya Instalasi “Semarak Topeng 71” (12 – 21 Agustus 2021) saat ini. Maka, tentu kita tidak mengharapkan kemunduran, setelah apa-apa yang telah diupayakan oleh para perupa dan pemikir seni kita. Dan selayaknya kita membaca dengan pantas, pengalaman kesenirupaan kita di Kalimantan Selatan kaitannya dengan perkembangan di luar sana, serta berusaha terus apresiatif dan peka–tidak hanya pada karya-karya yang telah ada, namun juga bacaan yang dapat memberikan pengayaan pengetahuan seni rupa kita.@