SETELAH membaca beberapa esai Novyandi Saputra tentang Dewan Kesenian Banjarbaru (DKB) dengan suka cita, akhirnya saya menemukan satu alinea dari esainya yang dirilis pada 31 Juli 2025, yang bisa menjadi pintu masuk ke dalam gagasannya. Esai itu sebagai respons terhadap Zal dan Hajri. Bagi saya, esai terakhir itu sebagai rangkuman puncak dari esai-esai sebelumnya. Berikut ini alineanya:
Politik pemanggungan bukan politik praktis. Ia adalah strategi menjadikan panggung kesenian sebagai ruang simbolik dan strategis bagi pemerintah. Bahwa melalui seni, pemerintah bisa mendapatkan legitimasi, narasi pembangunan yang inklusif, dan citra kemajuan daerah yang hidup. Maka Dewan Kesenian bukan sekadar lembaga pengurus proposal pentas, tetapi agen yang mampu memediasi dua dunia: seni dan kebijakan. Itulah sebabnya saya meyakini bahwa kompromi bukan pengkhianatan, dan idealisme bukan harga mati. Dewan Kesenian bisa berdiri di antara keduanya, jika ia dikelola oleh orang-orang yang paham cara kerja medan kesenian dan juga logika pemerintahan. Ia harus tahu bagaimana menjembatani komunitas dengan dinas, bagaimana menerjemahkan kerja seni menjadi narasi anggaran, dan bagaimana menjadikan panggung seni sebagai ruang advokasi sosial, bukan sekadar hiburan.
Bagian ini tampak lebih terang daripada siang. Ini semacam manifesto politik keseniannya. Sebagai manifesto politik, wajar jika pernyataan-pernyataannya penuh dengan nuansa kepentingan daripada pernyataan revolusioner dan ideal. Bagian ini menegaskan simpul pragmatisnya.
Mari kita bahas. Perhatikan tiga kalimat pertama pada alinea ini. Kalimat pertama dibantah oleh kalimat kedua dan ketiga. Kok bisa politik pemanggungan disebut bukan sebagai politik praktis kalau melalui ruang simbolik dan strategis itu pemerintah bisa mendapatkan legitimasi? Sangat terasa kalimat pertama terkait dengan apa yang baru saja terjadi dalam panggung politik di Banjarbaru, yang baru pertama kali dalam sejarah Pilkadanya melahirkan Pilkada kotak kosong (Koko). Publik tahu bahwa sebagian seniman telah terbelah jauh sebelum pesta itu. Bahkan beberapa orang Dewan Kesenian (DK) secara terang-terangan atau diam-diam berpolitik praktis.
Apakah bara politik itu telah padam sepenuhnya? Tentu tidak. Di TikTok terus berkobar dan itu baik bagi demokrasi substansial yang mengharapkan pengawasan publik berkelanjutan terhadap rezim yang sedang berkuasa.
Saat itu, sebagian seniman dan pegiat kesenian berada di kubu pendukung kotak kosong dan sebagian yang lain memilih menerima Liwar. Mungkinkah hanya mereka yang berpihak kepada pemenang ini yang dimaksud cerdas membaca arah angin? Ada kesan bahwa seniman yang memilih berpihak pada kotak kosong tidak cerdas dan perlu diajak masuk panggung kembali oleh pihak yang merasa cerdas dan sedang di atas angin. Perhatikan bagaimana dengan sangat cadas Novy mengeritik habis-habisan kerja DKB sebelumnya yang notabene di bawah lindungan wakil petahana. Kritik itu disambut dengan hangat. Mengapa? Silakan Anda pikirkan sendiri. Masalahnya akan runyam jika kritik itu dilakukan oleh seniman dari kubu Koko. Kalau mereka memilih diam, mungkin mereka menunggu 100 hari. Mungkin pula mereka sudah paham ke mana arah angin dewan kesenian akan berembus dan terserah mereka mau kompromi atau tidak. Memilih masuk angin atau kipas-kipas sendiri nyari angin di luar panggung?
Dengan kalimat keempat, dia mengajak DKB menjadi mediator antara kesenian dan kebijakan. Masalahnya, seberapa merdeka DKB dari kebijakan Pemko dengan segala kepentingan politik praktisnya? Pada bagian ini, sebagai penonton, saya menemukan kotak kosong yang perlu diisi penjelasan konkret dari penulis esai ini atau seniman lain di Kota Koko yang dapat mengartikulasikan gagasan politik kesenian mereka. Itu pun kalau ada. Syarat utama menjadi mediator adalah kompeten, merdeka, dan berani.
Kalimat berikutnya pun membuat kening saya berkerut. Apa maksud dari pernyataan bahwa kompromi bukan pengkhianatan dan idealisme bukan harga mati.
Apa hubungan keyakinan ini dengan kalimat sebelumnya? Kompromi terhadap apa yang bisa disebut sebagai pengkhianatan? Apakah kompromi itu maksudnya adalah kompromi seni pada pemerintahan dengan legitimasi yang rendah? Kalau ya, berkhianat kepada siapa? Jangan-jangan itu hanya emosi sesaat penulis yang mungkin teringat suara-suara resistensi terhadap pilihannya. Ini hanya spekulasi yang menunggu konfirmasi. Jika baginya idealisme bukan harga mati, bukan berarti seniman lain harus punya sikap yang sama. Seniman yang tetap ingin berada di jalur idealisme harga mati tentu tak akan lebih buruk. Itu bisa jadi pilihan di luar politik pemanggungan yang nuansa kooptasi kepentingan politik praktisnya bisa jauh lebih besar daripada panggung seni yang bisa jadi cermin pantul kritis terhadap kekuasaan yang punya kebijakan dan anggaran kesenian.
Alinea itu juga menegaskan bahwa pemerintah dan seniman punya logika yang berbeda. Entah rinciannya seperti apa. Meski begitu, dapat diduga bahwa logika pemerintah adalah soal anggaran tetapi seniman soal idealisme berkesenian (apapun ragam pilihan idealnya yang mustahil tunggal). Di antara dua kutub itu, dewan kesenian harus mampu jadi jembatan penghubung agar logika mereka bisa kompromi. Mungkin ini yang dimaksud dengan kompromi bukan penghianatan. Untuk bisa melakukan hal itu, dewan kesenian perlu orang yang paham logika kerja kedua belah pihak. Keduanya diasumsikan sama padahal mungkin saja kedua punya pola yang beragam. Bisa saja ada kesenian yang sudah terlanjur mati gaya dalam kotak kosong dan tumbuh merdeka sebagai bentuk kesenian yang tak mau lewat di jembatan penghubung dan terus menciptakan jalan resistensinya sendiri.
Perlu diingat juga bahwa logika seni sebagai ruang advokasi sosial sangat bertolak belakang dengan dengan seni sebagai ruang mencari legitimasi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana lukisan mirip seorang presiden yang kencan dengan seorang mirip ketua partai gagal dipamerkan di galeri milik pemerintah. Coba bayangkan hal serupa terjadi di Kota Koko? Apa yang bisa dilakukan dewan kesenian? Pada poin ini saya bisa memahami keraguan Hajri terhadap sulitnya pendaratan ide ideal di panggung politik kesenian. Apalagi jika dewan keseniannya sudah masuk angin. Akhirnya, publik melihat lembaga itu seperti kendaraan dengan lampu sein ke kiri tapi belok kanan.
Kita sebagai orang-orang di belakangnya cuma bisa merutuk: Dasar senewen! Setelah itu kita lewati dan melupakannya. Meski di jalan sama, kita tak harus melakukan hal yang sama dan menuju ke arah yang sama.@
Kota Koko, 1.8.2025