Tiga puluh lima kilometer dari pusat kota Pelaihari, kampungku adalah pemukiman tertua di Kabupaten Tanah Laut. Tak banyak para pendatang berhasil sampai ke sini ini selain wisatawan yang sedikit sekali. Dan memang betul-betul niat, tidak lantaran sambil lewat. Itu bukan karena aksesnya yang sulit, tetapi kondisi jalan menuju kampungku tak semulus kulit bayi, atau jika boleh kukatakan, tak seperti Jalan Ahmad Yani. Itu pula kemungkinan menyebabkan orang-orang di kota enggan masuk ke sini.
Dulunya, banyak hutan mangrove bertengger di pinggir jalan. Bahkan tampak di beberapa titik pantai. Tapi kau tidak bisa bandingkan dengan masa sekarang. Kini yang tertinggal hanya sisa-sisa dedaunan tua dipenuhi ranting-ranting yang terbuang.
Saat musim penghujan, jalanan tanah merah di kampungku meluap menjadi lumpur yang membuat kakimu tenggelam. Lumpur-lumpur yang melekat membuat langkah terasa berat. Membuatmu seperti lalat terperangkap dalam kaleng lem kertas yang berkarat.
Sepulang sekolah, Aku, Ali, dan Syafi’i berlari-lari kecil melewati kubangan lumpur di tengah-tengah jalanan. Bahkan hampir setiap hari, kami bertiga membuat perjanjian, siapa pun yang terakhir sampai ke pesisir pantai, maka dialah yang mendapatkan hukuman. Hukuman itu dalam bentuk yang menyenangkan. Yaitu memanjat pohon kelapa. Kemudian memetik buahnya untuk diminum bersama. Bagi Ali, ini bukanlah hukuman, melainkan pujian dan sanjungan akan kelihaiannya.
Satu ketika kami melewati lumpur itu usai hujan membasahi jalanan. Kami bertiga berusaha melepaskan jeratan lumpur yang seolah hidup. Aku berusaha terus berlari sampai ke pesisir. Ali, selalu terakhir dalam urusan lomba lari ala anak pantai ini, posturnya memang pendek.
Ketika kaki yang telah penuh dengan liat lumpur itu melangkah di hamparan pasir, maka tampak seperti kue bolu bertabur gula. Kadang mengilat, dan sedap dilihat. Kami berlari menceburkannnya di gelombang air laut. Saat lumpur itu disapu, rasanya seperti tenggorokanmu yang kering kerontang disiram es teh manis. Segar sekali.
Biasanya Syafi’i akan terkekeh menyaksikan pantat Ali yang besar itu menaiki pohon kelapa. Ia paling cekatan kalau soal urusan naik pohon. Hukuman itu menjadi hal menyenangkan bagi Ali. Tak jarang aku mengaguminya. Terpesona memandang kelihaiannya memanjat pohon kelapa. Kuambil kesimpulan, orang yang pendek sama dengan orang yang berpikiran pendek, nekat!
Pohon kelapa di kampung kami bukanlah pohon kelapa yang menjulang tinggi ke atas, tetapi menjorok miring ke selatan. Seperti bentuk rukuk orang yang sedang salat, tapi salah kiblat. Sekian tahun aku menghabiskan masa kecil bersama mereka. Bermain mobil-mobilan dari kulit kerang, perang-perangan menggunakan senjata pelepah pisang, atau bermain sepakbola di hamparan pasir yang begitu luas dipandang. Sayangnya, aku bukanlah penyuka sepakbola seperti Syafi’i.
Sebelum lonceng sekolah mendenting di setiap pagi, Syafi’i melakukan ritualnya menimang-nimang bola plastik yang ia kumpulkan di gudang sepeda. Satu ketika pernah para pengunjung dari luar kota membawa beberapa jenis bola berlibur di pantai ini. Ketika pulang, para wisatawan itu tak lagi membawa bola-bola mereka. Maka tak heran jika kau melihat gudang sepeda rumah Syafi’I begitu banyak bola-bola plastik yang terkumpul. Warna-warna bola yang ia kumpukan itu bak kayu layu yang telah lusuh.
“Ambil saja, Ginsul! bolanya sudah rusak. Ha-ha-ha-ha-ha…!” kata seorang pemuda yang duduk di bak pikap bersama rombongan perempuan remaja ketika meninggalkan pantai saat matahari pergi ke peraduannya. Salah satu di antaranya melemparkan bola. Dan sering mengenai wajahku. Aku jengkel sekali. Saat ini terjadi, Ali tertawa terbahak diiringi Syafi’i menertawakan kebodohanku.
Ginsul menjadi panggilan akrab bagi Syafi’i. Aku memang tak pernah menghiraukan panggilan apa saja bagi bocah berambut kriting itu. Begitu juga saat aku memanggil menghilangkan huruf “i” di belakang namanya sampai terdengar menjadi: Sapi. “I… i… Sapi!”
Di sekolah, kami sering menghayal-hayalkan tentang cita-cita. Berbicara tentang sepakbola. Ditanya akan jadi apa kelak dewasa nanti, Syafi’i paling bersemangat. Semangatnya membara seperti banteng yang mengejar matador. Entahlah, aku tak habis pikir bisikan setan mana yang membuat Syafi’i sangat terobesesi menjadi pemain sepakbola. Aku tak mengerti mengapa ia tak ingin bercita-cita menjadi seorang profesi dokter misalnya, pilot, atau seorang guru seperti Ali. Maklum sajalah, aku memang tak mau dan tak ingin suka dengan sepakbola. Meski terkadang harus menerima cemoohan dari teman-teman sekelas. “Pengecut kau ini, Val. Bola itu laki. Lelaki harus pandai bermain sepakbola. Huh!” kalimat itu masih terniang-niang dalam batinku sampai detik ini. Apakah aku harus menyukai sepakbola dengan perasaan terpaksa? Tuhan itu adil, Ful. kalau semua lelaki di dunia ini tergila-gila dengan sepakbola, maka dunia akan kiamat.
Soal Syafi’i. Baginya menjadi atlet sepakbola merupakan satu jalan mengharumkan nama bangsa. Alasan itu hanyalah pembenar saja bagiku. Seandainya saja sepakbola kita diterima di piala dunia. Kalau tidak? Hanya menjadi bulan-bulanan media dan polemik di televisi saja. Atau bahkan menjadi buah bibir penduduk lokal yang tergila-gila mendukung kesebelasan yang diidolakannya. Ya, aku terima itu karena tak pernah suka dengan sepakbola.
Sementara aku dengan cita-cita tadi, begitu beranda-andai menjadi karwayan listrik. Aneh. Tapi bagiku, memunyai keterampilan menyambungkan serabut-serabut yang melilit-lilit, menganalisa kelakuan phasa triangle yang bersaudara, atau menerapkan hukum Ohm pada pekerjaanku sehari-hari adalah hal yang mengasyikan dan tentu menyenangkan. Sungguhnya, aku terpengaruh Georg Simon Ohm. Maka cita-cita pertamaku menjadi pegawai BUMN, bekerja di PT PLN Nusantara.
Aku yakin sekali petugas listrik di daerahku menjadi pekerjaan yang mulia. Menjadi perantara cahaya ke rumah-rumah warga. Sebab di kampungku listrik seringkali padam tanpa alasan. Meski beberapa penduduk kami sering mencaci-maki PLN, aku tak peduli. Pekerja listrik sama dengan penceramah agama. Sama-sama menjadi perantara yang menghantarkan cahaya keimanan dan kepercayaan kepada keberadaan makhluk maupun benda.
Betapa kecewa, ketika listrik di wilayahku sering padam. Kukira karena kampungku begitu jauh jaraknya dengan kantor PLN. Padahal kau tahu, Ful, kita memunyai kekayaan alam yang mampu menopang daya listrik begitu kuat. Daerah kita juga punya PLTA dan PLTU. Begitu yang dikatakan Bu Rafkah saat mata pelajaran IPA. Namun kami sudah terbiasa dengan listrik yang sering padam. Dan pelajaran itu pun hanya menjadi teori untuk mengisi soal ujian ketika ulangan saja.
Aku, sebagaimana yang telah kusampaikan. Mungkin kau telah mengetahui kelahiranku yang dinilai tak biasa. Aku terlahir dari seorang ahli Kasyaf Majzub. Yang dipercaya penduduk kampung sebagai waliullah. Kekasih Tuhan. Orang yang dimuliakan bahkan disangka mengetahui segala rahasia-rahasia tuhan. Padahal, aku tak tahu apa rahasia-rahasia Tuhan yang disebut Ustadz Zakir dengan Siir.
Perlahan cita-cita itu pun kandas. Sungguh disayangkan, bukan. Cita-cita menjadi penyambung listrik ke rumah-rumah penduduk itu surut, meredup dan hilang dari keinginan. Seperti lampu-lampu yang sering padam di lingkungan perumahan. Namun kali ini benar-benar padam dan tak akan menyala kembali. Cita-cita yang mulia itu kuurungkan sejak Ustadz Zakir melarang. Ia tak pernah mengizinkanku. Lebih tepatnya, tak terima jika aku menjadi seorang pegawai apa pun itu. Pekerjaan demikian tidaklah salah, hanya saja tidak tepat untukku. Itu menurutnya.
Ustadz Zakir sama sekali tak menginginkanku berbelok dari keinginan pribadinya, keinginan keluargaku yang waktu itu aku tidak tahu siapa-siapa saja. Baginya, menjadi seorang ulama adalah jalan yang harus kutempuh sungguh-sungguh. Ia berharap aku bisa menjadi seorang seperti dirinya. Entah apakah aku bisa menerima itu. Seperti sahabat-sahabatku yang berusaha mencapai cita-cita dari bangku sekolah.
Kami bertiga sudah seperti trio penyanyi cilik yang kulihat di televisi tetangga. Aku menghabiskan masa kanak-kanak dengan bermain kelereng bersama mereka. Bermain sepakbola di pesisir pantai, -meski permainan ini aku hanya berlari-lari karena takut dengan bola-, bermain buta lele, membuat layang-layang sendiri, bermain inting, susun batu, dan yang paling kami gemari: Petak Umpet. Orang kampung kami lebih akrab menyebutnya dengan istilah tukupan.
Di suatu Sabtu yang dingin, permainan itu membuat Ali lenyap seperti ditelan bumi. Orang-orang di kampung begitu yakin Ali disembunyikan hantu dan jin-jin yang ribuan tahun silam bersemayam. Saat hujan gerimis menjelang petang, langit bewarna kuning kemerahan. Aku mendapat giliran jaga saat itu. Semua teman-teman yang bersembunyi berhasil kutemukan, namun tinggal lagi Ali seorang.
Tersebab sudah terlalu lama mencari dan tidak menemukan Ali, kami putuskan untuk mencarinya bersama di semak-semak rumput, di antara belukar, di balik pohon-pohon tua, bahkan di bawah bubungan rumah warga. Nihil. Ali telah hilang.
Kegelapan malam mulai menyelimuti kampung Kuala Tambangan. Kabar itu pun tersiar seantero. Pak Hasanlah yang paling cemas. Dia khawatir. Ketakutan menyimpul matanya. Pak Hasan berhalusinasi. Menangis tak keruan. Merintih dengan pertanyaan. Dan pingsan.
“Jangan-jangan Ali tenggelam di laut. Kalian bermain-main di pinggir pantai?” celetuk seorang warga kepada kami.
“Iya. Tapi kami tidak berenang. Kami hanya bermain tukupan.” Syafi’i mengangguk lalu menggeleng.
“Berarti Ali disembunyikan jin!”
Tersentak orang-orang yang bergumul terkaget saling pandang. Mereka memercayai omongan seorang pemuda yang asal bicara itu. Seorang tatuha kampung menyuruh warga bagandang nyiru mencari Ali. Seluruh warga kampung tunduk melaksankannya.
Menjelang malam ketika gerimis dibawa dingin angin laut, seluruh orang kampung bagandang nyiru berharap Ali segera kembali. Orang-orang kampung Memukul-mukul nyiru dengan telapak tangan, dengan kayu, pelepah pisang, bahkan dengan rotan yang biasa dipakai memukul kasur ketika dijemur. Sembari berteriak-teriak memanggil nama Ali dan datuk agar mengembalikannya. Bahkan di antara mereka ada yang melilitkan daun Kalaras ke kepala, leher, tubuh, dan pinggang. Berharap upaya tersebut membuat mata mereka mampu melihat roh-roh halus. Namun hingga tengah malam, upaya mereka tak juga membuahkan tanda-tanda keajaiban.
Orang-orang sekampung putus harapan. Suara-suara mereka serak karena sudah terlalu keras berteriak. Aku dan Syafi’i tak berani mendekati upacara bagandang nyiru yang dilakukan orang sekampung. Kami takut disalahkan. Menjadi sasaran amarah kekesalan.
“Ini pasti gara-gara kalian anak bodoh! Bermain tak ingat waktu sampai senja. Pamali!” telunjuk seorang pak tua dengan nada tinggi mengarah ke dua bola mata kami yang tak tahu apa-apa.
Aku mematung. Aku paling tidak bisa terima ada orang yang memarahiku dengan nada tinggi. Apalagi mengarahkan telunjuk di hadapanku. Seketika itu pula, suara-suara desir angin laut bergelombang seperti jelas hadapan. Siluet bentuk kepala-kepala dengan sejumlah pasang mata menyaksikan perkumpulan kami tengah malam itu. Aku melihat banyak sepasang mata… merah. Ya, sepasang mata berwarna merah menontoh riuh masyarakat. Beberapa pasang mata itu berterbangan di kepala orang-orang kampung. Semakin dekat, tawa-tawa dari puluhan pasang mata semakin nyaring di telinga. Semakin kulihat, bentuk tubuh-tubuh bersisik dan berlidah panjang terlihat di hadapan. Kemudian tubuh-tubuh bersisik itu menutupi semuanya. Hilang. Lenyap. Sampai aku tak melihat apa-apa. Kosong. Gelap. Pekat. Setitik cahaya melesat dengan cepat di tengah-tengah titik pandanganku. Aku melihat pohon kelapa yang jaraknya tak jauh dari pesisir pantai. Di ujung pohon kelapa yang menjulang ke selatan itu, tubuh Ali bertengger lemah seperti kumpulan dari beberapa buah kelapa yang tersangkut.
“Apa kalian tak melihatnya? Ali berada di atas pohon kelapa itu,” ucapku datar sembari mengarahkan telunjuk ke titik yang kumaksud.
Semua orang kampung saling berhadapan heran. Mereka bergunjing tak percaya dan mendustakan. “Lekas kita ke sana!” Seorang ibu muda tampak tegas. Orang-orang kampung menurutinya. Menghamburlah mereka mendatangi pohon kelapa di pinggir pantai. Termasuk kami berdua dan anak lainnya menguntit di posisi paling belakang rombongan.
Alangkah terkejutnya orang-orang saat tiba di bawah pohon. Saat langkah kaki mereka terhenti, tubuh Ali yang gempal terhempas di hamparan pasir tepat di bawahnya. Seperti batu besar berbentuk manusia yang dijatuhkan dari atas pohon. Ia tak bergerak. Tubuhnya beku layaknya orang mati. Seorang warga dalam kerumunan mendatangi Ali lalu menggendongnya. Anehnya, upaya mengangkat tubuh Ali tak berhasil. Kata seorang lelaki yang berusaha mengangkat, tubuh Ali licin seperti belut. Dua, tiga, empat, hingga lima orang menggotong tubuh Ali yang berlendir. Aroma-aroma busuk menusuk-nusuk rongga hidung sampai tenggorokan. Kaum perempuan di antara kami ada yang tak sanggup menahan aroma busuk hingga muntah, sebagian lagi dalam kerumunan berlarian lebih dulu menuju langgar kampung. Para lelaki dewasa yang menggotong Ali membawa dengan tergopoh-gopoh seraya menahan penciuman mereka akan bau amis yang teramat menyengat.
“Ali pasti disembunyikan hantu. Tubuhnya dijilati hantu baranak,” lelaki tua dari kami menyeletuk.
“Sudahlah, Pak! Jangan bicara yang aneh-aneh. Lebih baik cari cara agar Ali tersadar,” sahut seorang perempuan.
Entah darimana datangnya, dalam kecemasan orang-orang yang berkeringat dingin di hadapan, aku melihat Ustadz Zakir melewati kerumunan mereka. Tapi bukan Ustadz Zakir seutuhnya, melainkan bayangan tembus pandang. Tak ada seorang pun warga yang melihat ia melewati kumpulan itu. Aku melihatnya. Ustadz tiba di hadapan sekalian warga kemudian langsung memeluk tubuh Ali. Lalu kudengar dari kejauhan alunan ayat suci yang entah apa namanya- dibacakan Ustadz di kedua telinga Ali. Tak lama, mata Ali membuka. Lalu tersedak.
“Alhamdulillah…. Ya Tuhan. Ali… bangun, Nak! Ali… Ali!!!”
Suara-suara kerumunan warga dan seorang ibu menggoyang-goyangkan tubuh Ali. Meski Ali sadar, ia bingung. Warga begitu senang. Setidaknya satu warga terselamatkan dari kasus sebelumnya. Lantas bayangan Ustadz Zakir keluar dari kerumunan. Bayangan itu menatapku tajam. Kemudian hilang.
Orang-orang pulang ke rumah mereka masing-masing. Termasuk kami, Syafi’i dan anak-anak lainnya. Satu persatu tangan kawan-kawanku digandeng orang tuanya menuju rumah. Tinggal lagi aku dengan perasaan cemas. Sendirian. Tak ada orang tua yang menuntunku pulang. Aku melangkah gugup melewati pohon-pohon tua menuju rumah. Perasaan takut akan kemarahan Ustadz Zakir terbayang-bayang dalam benak. Membayangkan wajahnya merah, yang justru tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku sampai di beranda rumah. Perlahan melepas kedua sandal jepit yang sedikit becek. Sepelan mungkin aku berjalan membuka pintu berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Pintu rumah Ustadz Zakir memang tak pernah dikunci karena tak ada harta yang perlu. Tidak ada benda yang menarik untuk dicuri. Hartanya hanyalah tumpukan kitab-kitab agama. Aku memandang setiap sudut ruang. Ke dinding-dinding yang penuh poster-poster ulama dan habaib. Lalu ke pintu kamar Ustadz Zakir yang terbuka setengahnya. Aku mengintip perlahan. Menyangka-nyangka tubuh Ustadz Zakir memakai gamis telah berkacak pinggang di balik pintu. Kugeser pintu kamar. Dan…
“Blak!” daun pintu menghantam dinding kamar. Aku menunduk dan memejamkan mata. Pasrah.
Tak ada reaksi apa-apa. Hanya hembus angin terasa. Perlahan kubuka mata. Ustadz Zakir di posisi tidurnya seperti biasa. Tak ada yang berubah. Tak ada keanehan. Dan tak ada bekas-bekas atau tanda-tanda bahwa ia sudah bangun atau baru ingin memulai tidurnya. Ia masih dalam posisi tidur layaknya manusia tidur sewajarnya. Aku mulai tenang. Kemudian membuka kasurku yang tergulung di sampingnya, pelan. Sembari merendahkan badan kucoba menghilangkan berbagai prasangka-prasangka. Malam hampir sepertiganya. Pukul 02.45. Yang kutahu beberapa menit lagi ia akan bangun melaksanakan salat malam dan membaca Quran hingga subuh tiba. Aku berdoa dan memejamkan mata. Melupakan semua yang kulihat tak biasa.
**
Semenjak kejadian itu, Ful, Orang-orang di kampungku tak lagi membolehkan anak-anaknya bermain sampai petang. Parahnya, banyak di antara mereka melarang anaknya berteman denganku. Aku dianggap orang yang aneh. Banyak sekali sebutan-sebutan mereka terhadap diriku. Sedikit saja yang kuingat. Orang aneh, anak setan, anak kampang, anak gila, sakit jiwa, indigo, anak ajaib, dan yang paling lama masa tenggangnya, ORANG GILA. Entah apa alasannya aku tak tak pernah tahu. Dan aku pun tak pernah bertanya dan tak ingin tahu. Karena larangan itu, aku bergaul sembunyi-sembunyi. Tidak menampakkan diri kepada khalayak ramai. Selalu mencari tempat-tempat baru menghabiskan waktu bersama Ali dan Syafi’i.
Tak bisa dipungkiri lagi, sekecil itu aku telah mampu membaca pikiran orang lain, Ful. Mendengar suara-suara orang di sekitarku yang tampak maupun tak terlihat. Aku juga diberikan gambaran kejadian-kejadian yang akan datang. Hanya saja, aku tak bisa menguasai atau merubah sendiri kemampuan itu. Tak kuasa mendatangkannya seperti aku mengambil sebuah gelas dengan tanganku sendiri. Semua perihal itu datang dan pergi tanpa diminta.
Beberapa hari setelahnya, satu persatu warga mulai berkurang. Setiap kepala keluarga membawa anak istrinya pindah entah ke mana. Sampai ketakutan-ketakutan muncul di separuh penduduk kampung. Tinggal lagi sedikit penduduk tua tertinggal bersama aku dan guruku yang perlahan mulai dimusuhi orang-orang.
***
BERSAMBUNG