Fulah mengangguk-angguk. Entah apakah ia paham dengan ceritaku atau sekadar mendengarkannya saja. Aku kembali menyeruput kopiku yang mulai dingin. Gelak canda tawa kudengar di setiap sudut meja. Hanya kami yang saling diam bertatapan keheranan.

“Begini, Val. Aku pernah membaca di satu buku, ia berpendapat, kemampuan penglihatan seorang manusia bisa meningkat ketika ia dalam keadaan gelap. Kau pernah mendengar istilah pinolin?” katanya.

Seperti dugaanku, bukan lantaran tidak tahu, tapi karena ia ingin menjelaskan istilah itu. Aku tahu betul karakternya. Aku hanya menggeleng karena memang sama sekali tak tahu. Sebelumnya, aku memesan sebuah mie rebus untuk menemani telingaku mendengarkan pemaparannya.

“Dosenku pernah menjelaskan, Val. Dia seorang dokter medis dan ahli syaraf. Katanya, di China, ada sebuah sistem meditasi dalam kegelapan. Ah, sungguh aku lupa mencatatnya. Tapi yang aku ingat, seorang manusia yang bermeditasi dalam kegelapan dalam kadar waktu 3 hari 3 malam saja akan mengeluarkan melatonin.”

Dia memandangku. Aku memandangnya heran. Mengerutkan dahi.

Melatonin terdapat dalam darah, Val. Akan berkembang sebanyak 15 sampai 20 miligram. Nah, inilah yang menyebabkan kelenjar pineal berhenti mengekskresikan melatonin lalu mulai memperoduksi pinolin,” Kalimat Fulah seperti sihir yang berusaha meyakinkan. Seperti mantra-mantra metropolitan. Sungguh, aku sama sekali tak paham. Sama sekali tidak mengerti. Seharusnya dia bertanya tentang tegangan tinggi dan tegangan rendah kepadaku.

“Aku tak mengerti bahasamu, Ful!” Jawabku sambil melahap mie yang sudah tersedia di hadapan.

“Dasar Nouval!” Tampaknya ia jengkel. “Aku tak bisa berbagi hal ini selain denganmu, Val. Dari seluruh santri di kalangan kita, hanya kau yang kuanggap paling realistis. Tolong dengarkan dulu. Nanti kita bahas itu,” Fulah mencak-mencak seperti mengajak berkelahi.

“Baiklah akan kusederhanakan bahasanya. Pinolin itu bersifat superkonduktor, mmmm… maksudku suhu yang meningkatkan replikasi sel-sel tubuh mitosis terhubung dengan molekul-molekul DNA. Kau mengerti?” Fulah bertanya lagi.

Aku hanya mengangguk saja. Tak ingin membuatnya kecewa. Tak menjawabnya dengan perkataan. Kulanjutkan satu hirupan kuah dari semangkok mie yang masih panas.

“Perempuan yang sedang hamil, orang yang bermimpi, pengalaman pra mati atau Near Death Experience (NDA) adalah orang-orang yang menghasilkan pinolin. Itu yang menjadi penyebab rangsangan hingga terjadi peristiwa melihat dengan mata batin dan kepekaan rasa,” katanya.

Aku tersedak menanggapinya. Mengingat lagi maksudnya, “berarti semua manusia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu?” sahutku dibalasnya dengan gelengan kepala. Ia mengacungkan telunjuk sembari menjelaskan.

“Hanya pinolin dengan kadar tinggi yang sanggup memunculkan gejala-gejala metafisis tersebut. Pinolin bisa didapat karena nasab keturunan, Val.” Tekannya.

Aku berhenti menyeruput kuah mie. Aku lap sisa-sisa kuah yang ada di antara bibir dengan sapu tangan. Dan balik bertanya kepada Fulah.

“Berarti… ” menunjuk diri sendiri.

“Bisa jadi.” Jawabnya mengangguk. “Orang yang memiliki bakat alami kepekaan intuisi penglihatan, pendengaran, dan rasa batin pasti di dalam tubuhnya terdapat proses alami menyebabkan kadar hormon pinolin yang berperan aktif dalam decoding DNA. Seperti hubungan ayah dengan anak, kakek dengan cucu, bahkan dari nenek moyang dulu,” lanjutnya.

“Ah. Lupakan saja lah!” Aku mengerutkan dahi lagi, berpikir. Lalu memintanya. “Tolong kau sederhanakan lagi bahasanya. Sakit kepalaku kau buat!” sembari mepersilakannya bicara.

“Begini Val, kau anggap saja decoding DNA adalah bejana atau wadah yang memuat ingatan-ingatan kolektif dari nenek moyang seseorang. Tersebab itu, seseorang mampu menemukan informasi tersembunyi yang disinyalkan oleh otak kanan. Ya, bisa saja ingatan itu berupa bentuk suara, cahaya, pengetahuan atau realisasi visual. Seperti yang kau lihat sewaktu kehilangan Ali. Atau ketika bayangan Ustadz Zakir muncul di kerumunan manusia,” tutur Fulah mendekatkan wajah seolah meminta persetujuan dariku.

Aku menjentikkan jari. “Oke. Untuk sementara, aku terima pendapatmu. Aku pernah bermimpi buruk. Aku tak pernah menceritakan kepada siapa pun. Dan aku tak memedulikannya, karena kutahu hanya bunga tidur saja. Namun berselang tahun, mimpi burukku itu terjadi di hadapan mata, Ful. Aku tak ingat persisnya, sekitar dua tahun kurasa.”

“Bisakah kau paparkan mimpi burukmu itu, Val. Dan juga ceritakan perihal Ustadz Zakirmu itu, sepertinya dia seorang yang hebat. Sungguh aku bersedia melakukan apa saja asal kau menceritakannya.” Fulah memohon layaknya seorang pria berharap pernyataan cintanya diterima oleh seorang wanita yang diidam-idamkan.

“Dengan satu syarat!” Aku mengacungkan jari telunjuk. Dibalasnya dengan membuka kedua tangan merentang.

“Pesankan aku satu teh panas!”

Fulah langsung beranjak dari tempat duduk dan pergi ke salah satu pelayan. Tak lama berselang tiba lagi di hadapan. Membesarkan bola matanya. Meminum kopinya yang hampir habis. Dan menungguku berkata. Kemudian tersenyum. Sedikit saja.

“Kau pernah tinggal di pesisir pantai, Ful?” aku mengawalinya dengan pertanyaan.

Dia menggeleng. Seorang pelayan datang meletakkan segelas teh panas di hadapan. Perlahan kunikmati teh panas itu dengan menyeruputnya. Aku memejamkan mata. Membayangkan dinginnnya udara di pesisir pantai. Dengan air laut yang berhembus deras. Seperti udara yang kurasakan di malam ini.

BERSAMBUNG