DALAM penulisan sebuah buku sejarah, biasanya selalu ada jejak yang tak tercatat, terlewat, atau terlupakan. Namun seringkali juga ditemukan jejak-jejak kecil sederhana yang mungkin tak terlihat atau terabaikan, tetapi ia hadir di sana barangkali sebagai kembang kenangan yang melengkapkan.

Begitulah pula kiranya pada buku “Tionghoa Banjar (Peran dan Kiprahnya dalam Lintasan Sejarah) yang diluncurkan serta didiskusikan di Hotel Rodhita, Banjarmasin, Minggu (30/7/2023). Kegiatan ini diselanggarakan LK3 Banjarmasin bersama PSMTI Kalsel dan PITI Kalsel.

Buku setebal genap 500 halaman, ditulis oleh 10 penulis (Mansyur, Sandi Firly, Mursalin (Arlong), Humaidy Al Bustami, Sugiharto Hendrata Kuswono, Mari Roeslie, Abdani Solihin, Arif Rahman Hakim, Wadarta Jong, dan Noorhalis Majid), ini memuat 8 bagian tema besar dengan 56 sub judul.

Buku ini sepertinya diniatkan atau setidaknya mencoba mencatat keseluruhan dari peran dan kiprah warga Tionghoa di Kalimantan Selatan. Dimulai dari sejarah kedatangannya ke tanah Banjar, hingga jejak-jejak apa saja yang telah ditapakkan dari dulu hingga kini.

Untuk memantik diskusi, dihadirkan tiga pembicara; Bambang Subiyakto (pengajar Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM), Sainul Hermawan (akademisi ULM), dan M Ehsan El-Haque (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin). Melengkapi pembicara, turut hadir generasi muda Tionghoa, Lindawati Tjandra (Wakil Ketua Umum 2 Patria), dengan pemandu diskusi, Diana Rosianti.

Sebagai pembicara pertama, Bambang tidak langsung merinci hasil pembacaannya pada buku itu. Ia sepertinya langsung menarik kesimpulan dari hubungan antara Tionghoa dan Banjar.

“Pembauran antara etnis Tionghoa dan Banjar ini berlangsung sangat rukun dan harmonis. Saya mengalaminya sendiri, karena saya tinggal di Pacinan Darat, Banjarmasin,” cetus Bambang.

NARASUMBER: Linda Tjandra, Sainul Hermawan, Bambang Subiyakto, M Ekhsan, dan Diana Rosianti (moderator).

Tak hanya itu, ia bahkan mengatakan memiliki sahabat akrab dari etnis Tionghoa, bernama Aan. “Keakraban ini tidak hanya antara kamu berdua saja, tetapi juga dengan keluarga masing-masing. Sudah biasa waktu muda dulu kami bergantian menginap di rumah,” ceritanya.

Lebih jauh, Bambang bahkan meyakini bahwa etnis Banjar sebenarnya merupakan hasil pencampuran antara etnis China dan Arab.
Sementara Ehsan, selaku Kepala Perpustakaan Banjarmasin, menyambut baik dengan hadirnya buku Tionghoa Banjar ini.

“Generasi kita bisa belajar dan mengetahui sejarah hubungan antara Tionghoa dan Banjar. Tidak terkecuali juga soal akulturasi, misalnya dalam budaya, di antaranya terkait kuliner,” ujar Ekhsan.

Ia sendiri mengakui bahwa etnis Tionghoa luar biasa dalam beberapa hal. Seperti dalam bidang keterampilan, keuletan, dan kerja kerasnya.

Adapun Linda, sebagai generasi muda etnis Tionghoa,  merasa sangat senang dengan hadirnya buku ini.

“Saya menjadi banyak tahu tentang sejarah leluhur di tanah Banjar. Juga tentang tradisi dan budaya di Banjar yang itu ternyata ada pengaruh dari budaya China,” ujarnya.

Sama seperti Bambang, Linda juga salut dengan toleransi dan keharmonisan hidup berdampingan antar etnis di Banjarmasin.
“Saya tinggal di Kampung Gedang, yang di sana banyak juga warga dari suku Madura, namun kami hidup nyaman, aman, dan tenteram,” kisahnya.

Sainul Hermawan, yang mencob masuk pada penulisan isi buku menyebutkan, bahwa ada beberapa perbedaan gaya.

“Ada yang ditulis tampak kaku dan resmi beserta data-data, namun ada juga yang ditulis dengan gaya yang ringan dan nyaman,” ujarnya.

Namun ia menyadari, hal itu tidak bisa dihindari mengingat latar dari para penulis yang berbeda-beda. “Sebagian dari akademisi, lainnya ada juga yang seniman penulis,” katanya.

Ia menyebutkan ada banyak seni dan budaya di tanah Banjar yang berasal atau hasil pengaruh dari negeri Tirai Bambu. “Seperti balamut, itu asalnya sari China,” sebut Sainul, yang memang meneliti lamut untuk gelar doktornya.

Lainnya, Sainul melihat ketidakkonsistenan dalam pemakaian kata Tionghoa dan China dalam penulisan. “Mestinya ada bab khusus soal ini,” katanya.

PENULIS: Noorhalis Majid, salah satu penulis buku Tionghoa Banjar, saat diskusi di Hotel Rodhita, Banjarmasin, Minggu (30/7/2023).

Diskusi yang berlangsung menarik dengan dihadiri sekitar 50an peserta undangan ini juga mendapat tanggapan dan pertanyaan dari peserta.

Seperti Supriansyah, penulis yang juga Gusdurian, mempertanyakan mengapa tidak ada tulisan mengenai kehadiran etnis Tionghoa di daerah Marahaban, Batola.

“Buku ini sudah cukup bagus, hanya saja kehadiran etnis Tionghoa di Marabahan hilang, tidak ada. Bila jejak di Kotabaru saja ada, harusnya jejak di Marabahan juga ada,” cetusnya.

Menanggapi hal itu, Mansyur sebagai salah satu penulis buku mengatakan, bahwa jejak etnis Tionghoa di Marabahan itu sebenarnya tidak hilang atau sengaja dihilangkan. “Hanya saja terlewatkan, belum tercatat. Mungkin di dalam buku sudah ada, tetapi terlalu sedikit,” jawabnya.

Winardi Sethiono, selaku penggagas dan ketua pelaksana penerbitan buku mengakui bahwa masih ada banyak hal yang masih bisa dituliskan mengenai keberadaan serta kiprah etnis Tionghoa di tanah Banjar.

“Kami memang telah merencanakan akan membuat edisi revisi atau tambahan, atau mungkin buku lanjutan. Terima kasih untuk semua tanggapan dan masukan yang diberikan oleh narasumber maupun peserta,” ujar tokoh etnis Tionghoa Banjar yang akrab dengan banyak kalangan ini.

Demikianlah. Buku Tionghoa Banjar, yang tercatat dan yang tak tercatat, serta yang masih mungkin untuk dilanjutkan.@