Hari berlalu, tahun pun berlalu. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tak terelakkan, hidup berjalan seperti aliran sungai menuju muara.
Pagi ini ketika kalender hijriyah berganti, memasuki Tahun Baru Islam yang ke-1440, datang berita sedih dari Banjarbaru. Seorang seniman (penari dan penata tari), juga budayawan Banjar, telah meninggalkan kita.
Sirajul Huda, lahir di Banjarmasin pada tanggal 5 Januari 1952. Almarhum menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 1988. Sejak di SMP ia telah ikut berkesenian, terutama melalui seni tari. Ia juga menggeluti seni teater Mamanda sejak tahun 1977 dengan bimbingan Drs. Sapri Kadir dan Drs. Bakhtiar Sandherta, dan termasuk sesepuh di grup Teater Banjarmasin yang menyosialisasikan Mamanda di kota Banjarmasin. Pernah bekerja di bidang kebudayaan Kanwil Depdikbud hingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan, dan sempat menjabat Kepala Taman Budaya dan Kepala Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, hingga pensiunnya di tahun 2008.
Pak Rajul, begitu saya biasa memanggilnya, adalah orang baik. Ramah dan hangat dalam pergaulan sesama seniman, tak banyak bicara dan tegas dalam pendirian. Yang paling saya ingat setiap kali bertemu beliau, entah di Taman Budaya atau di Mingguraya, beliau selalu menyalami dalam jabat tangan yang kuat. Ya, tak banyak seniman yang saya kenal jika bersalaman begitu kuat genggaman jari-jemarinya.
Beliau sering diminta menjuri, menjadi narasumber, atau sekadar diminta mengomentari sebuah pergelaran tari. Satu kali ketika kami berkumpul dalam workshop di STKIP PGRI Banjarmasin, beliau meminta pendapat saya. “Bagaimana menurutmu komentarku kemarin?” Saya terhenyak, terdiam sebentar tak langsung menjawab.
Beberapa hari sebelumnya ada pergelaran tari di Mingguraya. Beliau duduk di kursi kehormatan depan panggung bundar, sementara saya duduk di belakang di bangku panjang sebuah warung kopi. Beliau memang diposisikan untuk mengomentari, sementara saya hanya ditodong secara dadakan untuk mengomentari pergelaran itu dengan kacamata “orang luar”. Beliau bicara dalam kapasitasnya sebagai pengamat dan penata tari, sedangkan saya bicara sekemampuan saya sebagai pegiat sastra dan seni rupa. Tentu beda jauh kemampuan dan cara pandangnya.
Tapi hari itu Pak Rajul bertanya kepada saya, dan itu cukup mengejutkan. Sebelum ini saya mengenal beliau sebagai orang yang tegas dan punya pendirian dalam amatannya, dan sepertinya cuek dengan pendapat orang lain. Saya akhirnya menjawab pertanyaan beliau dengan “omong-kosong” seorang tak berilmu, tapi mencoba menegaskan bahwa pandangan beliau sudah benar saja. Cukup itu saja, ditambah omong ngelantur lainnya.
Dari momen singkat itu saya merasa melihat sisi kehangatan beliau yang lain. Beliau cukup terbuka dengan pandangan anak muda, dan mengayomi mereka. Dan, dengan begitu, tentu saja, punya sikap apresiatif terhadap orang muda.
Setelah itu saya merasa cukup dekat dengan beliau daripada sebelumnya. Ditambah cincin akiknya yang besar-besar di kedua jari manis beliau, genggaman itu seringkali terasa lebih berat dan kokoh.
Ketika membantu mencetak-ulang-kan tiga buku beliau yang pernah terbit sebelumnya, Tari Japin Rantauan, Gerak Dasar Tari Tradisional Kuda Gipang Kalimantan Selatan, dan Permainan Tradisional Rakyat Kalimantan Selatan, saya jadi lebih sering bertemu beliau. Entah di rumah saya, di rumah Pak Kasim, dan di rumah beliau sendiri di Loktabat Utara Banjarbaru.
Saya kira pertemuan-pertemuan secara dekat itu jadi berarti kini. Kini, terbayang kembali wajah dan perawakan beliau yang kokoh, sebelum siang ini nanti mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu, wa-akrim nuzulahu wawassi’ madkhalahu, waghsilhu bil-ma’i watstsalji walbaradi.@
Banjarmasin, 11 September 2018 M/ 1 Muharram 1440 H