(Catatan 1)

PENGGARAPAN film dokumenter maestro lukis Kalimantan Selatan, Misbach Tamrin, telah dimulai.

Adalah Akademi Bangku Panjang Mingguraya (ABPM) Banjarbaru yang mendapat dukungan proyek dari Museum Cagar Budaya melalui LPDP dan Dana Indonesiana, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) lewat program Dokumentasi Karya dan Pengetahuan Maestro/ OPK Rawan Punah 2023. Proyek ini ditargetkan selesai dilaksanakan pada Juli 2024.

Misbach Tamrin sebagai sosok seniman lukis memiliki jejak sejarah perjalanan yang cukup panjang, dari masa rezim Orde Baru hingga kini di usianya yang sudah mencapai 84 tahun.

Pecahnya “Peristiwa 65”, Misbach muda yang kala itu tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) turut merasakan getir dan dinginnya penjara lantaran idealisme seninya.

Sempat melarikan diri ke hutan pegunungan Meratus bersama lima kawannya, dan bertahan hidup dengan bekal terbatas, Misbach akhirnya disergap ketika ia turun ke kampung terdekat setelah tiga pekan bersembunyi dan kehabisan bahan makanan.

Masa pelarian dan persembunyian itu menjadi pembuka kisah Misbach Tamrin yang script filmya ditulis oleh Sandi Firly, penulis yang juga jurnalis.

 

Proses syuting Misbach Tamrin di kediamannya di Komplek Bina Praja, Banjarmasin, Kamis (15/5/2024).

Diproduseri Kin Muhammad, syuting perdana dimulai di rumah Misbach di Komplek Darma Praja Banjarmasin, Rabu (15/5/2024), dengan arahan sutradara Khalifaturrridha atau yang biasa disapa Jabuk dari Lima Serangkai.

Bersetelan hem putih dilapis jas tua berwarna jingga pudar, serta topi pet abu-abu yang menjadi ciri khasnya, Misbach duduk dengan percaya diri di kursi kayu coklat tua. Dalam tangkapan kamera, Misbach menuturkan dengan lancar cerita hidupnya. Kadang suaranya bergetar, namun tetap tegas dan jelas. Ingatannya masih begitu kuat, tiap momen penting diceritakan dengan detil dan terang, seterang sorotan lampu di wajah tuanya.

Selain Misbach, sejumlah narasumber juga dilibatkan untuk memberikan kesaksian atas perjalanan sang maestro. Mulai dari Hajriansyah dan Hairus Salim yang pernah bersama-sama menulis buku tentang Misbach, juga ada EZ Halim di Bogor yang menjadi kolektor lukisan Misbach. Diagendakan pula testimoni sejumlah narasumber lainnya, karena syuting film ini sedianya akan berlangsung pula di Yogyakarta dan Jakarta.

Sebelumnya, perihal jejak sejarah Misbach Tamrin ini juga ditelusuri oleh Tim Riset ABPM yang diketuai oleh Hudan Nur. Pelacakan dilakukan mulai dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Yogyakarta, Jakarta, hingga Bogor.

Direktur Akademi Bangku Panjang Mingguraya (ABPM) Banjarbaru HE. Benyamine menjelaskan, Kalsel memang sudah semestinya memberi dukungan dan penguatan kepada sosok atau tokoh Banua yang selama hidupnya secara konsisten menjalani perjuangannya dalam berkarya dengan dedikasi sendiri.

“Misbach Thamrin menjadi contoh dalam pemajuan kebudayaan, khususnya bidang seni rupa, di mana beliau secara gagasan terlibat perdebatan gagasan atau ide kebudayaan sebagai penulis, sebagai pelukis, dan sebagai pembuat banyak monumen di kota-kota yang ada di Kalsel dan Kalteng,” paparnya.
Konsistensi kiprahnya dalam seni rupa Indonesia hingga usia lebih 80 tahun inilah menurut Ben sehingga Misbach layak sebagai maestro di bidangnya.@