Akhir-akhir ini saya seringkali diusik oleh rasa “anu”. Rasa entah yang agak sulit untuk diidentifikasi. Demikian tatkala hampir setiap hari saya berhadapan dengan badut-badut berkarakter tokoh kartun di sebagian jalanan Kota Banjarmasin.
Perasaan anu saya itu biasanya berlangsung selama perjalanan pulang-pergi, dari rumah ke kampus ULM tempat saya bekerja. Rasa anu pun perlahan hadir sejak di muka warung Soto Bang Amat Jl. Banua Anyar, lalu berlanjut di sebagian Jl. Sultan Adam, dan lantas meningkat adrenalinnya di sepanjang Jl. Adhiyaksa. Setelahnya, di Jl. Hasan Basry, rasa anu cenderung tidak konstan. Bergantung keberadaan badut jalanan itu muncul, yang sebagian seringnya ada di lampu merah perempatan swalayan Glow (dulu Tulip).
Wujud-rasa yang teralami manakala bertemu mereka, badut-badut itu, memang cukup ambigu. Mungkin juga sampai ke paradoks. Melihat visual-fisik mereka yang lucu itu, kemudian akan memunculkan rasa senang-terhibur. Perasaan senang ini nampaknya didukung oleh keindahan artistik dari tampilan sang badut. Secara artistik, rata-rata para badut jalanan ini bervisual karikatural, berwarna cerah, dan berperangai musikal.
Nilai karikatural badut jalanan ini tampil pada sosok tokoh kartun yang berkarakter surealis. Yakni pada proporsi ukuran tubuh yang tak alami, misal bermata bulat besar, atau berkepala lebih besar dari badan dan kakinya. Teknik karikatural macam ini adalah pintu masuk kita (biasanya dikhususkan bagi anak-anak) untuk masuk ke wahana imajinatif, yang sebagiannya menghasilkan kelucuan dan rasa terhibur.
Selain teknik pewarnaan yang menonjolkan warna-warna kesukaan anak: cerah, menariknya, badut-badut jalanan ini pun memiliki nilai artistik yang berdimensi musikal. Anasir musik ini setidaknya bersumber pada dua objek, yaitu pertama pada benda semacam radio atau perangkat music player yang biasanya dikalungkan dan dikenakan sang badut. Objek musikal kedua adalah ritme yang ada pada gerakan badan sang badut: joget.