Saya kira gak semua santri jaman now mengetahui mengapa harus ada peringatan Hari Santri Nasional. Dan mereka harus ngapain? Tergantung pemerintah daerahnya lah, mau diselenggarakan dengan event yang bagaimana? Bisa jadi percampuran antara tradisi kesenian dengan keagamaan, atau shalawatan di lapangan dengan mendatangkan habib kenamaan dari luar pulau, atau bisa juga shalat hajat dan doa bersama di tengah lapangan. Tanpa harus meluruhkan budaya sarungan dan keajaiban-keajaiban di lingkungan pesantren.
Semoga para pembaca kali ini sudah tahu mengapa ada hari peringatan Hari Santri Nasional sebagai buah dari resolusi jihad yang pernah digaungkan oleh Pendiri Nahdatul Ulama (NU) Kiai Haji Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya.
Jangan sewot saya mengugel dan mendapatkan penjelasan ini karena Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyerukan jihad dengan pernyataan: “Membela Tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain/wajib bagi setiap individu.” Seruan Jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy’ari membakar semangat para santri menyerang markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Diceritaken pada waktu itu, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung 3 hari berturut-turut tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Tewas bersama dengan lebih dari 2.000 pasukan Inggris. Kejadian yang membuat marah angkatan perang Inggris, hingga berujung pada peristiwa 10 November 1945, yang tanggal tersebut diperingati sebagai hari Pahlawan. Gitu gaes!
Jika kita menengok sejarah kemerdekaan Indonesia, tak lepas dari santri dan ulama. Tidak sedikit ulama dan santri yang ikut berperang mengusir penjajahan dari bumi Indonesia. Dan peringatan itulah yang mendasari tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional, untuk mengingat, menghargai, serta mengapresiasi peran historis para santri memperjuangkan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari Santri diperingati agar bisa diambil manfaatnya oleh semua lapisan masyrakat, tak hanya lingkungan pesantren semata.
Itu setitik dari sekian ton sejarah yang diriwayatkan. Tapi pada catatan ini, saya berbagi pengalaman pribadi sedikit saja, saat masih nyantri di Darussalam, Martapura. Subjektif banget ea! tapi mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran.
Dunia santri memang gak sesimpel yang pernah kamu bayangkan wahai kaum-kaum akademisi. Jika menengok pada permulaan si santri mengosongkan gelasnya untuk diisi bahasa-bahasa kitab kuning, sejak itulah keajaiban mulai menyelimuti kehidupan. Bisa dimulai bangun tidur sampai menjelang tidur lagi. Betapa perputaran waktu yang dijatahkan sama kepada setiap manusia diurai dalam bentuk zikir dan doa pada kitab Al Adzkar karangan Imam Nawawi.
Sedetail lu harus pipis hadap kemana? pegangnya pakai tangan apa? Ngucapin doanya gimana? sampai bobo harus menghadap mana dan perutnya di mana! Cia gitu! Hati lu mesti ke sini, dan pikiran lu tetap di sini. Bibir tetap komat-kamit sampai mencapai fase Rapid Eye Movement (REP) alias ngorok, hapalan-hapalan dalam kepala kayak kaset yang udah dipencet tombol play. And That’s detail point. Muter gitu-gitu aja selama lu menuntut ilmu bertahun-tahun.
Saya banyak menemui para pemikir-pemikir nalarisme dan logisainstik tulen yang gak mampu menghitung matematikanya santri dalam berkehidupan. Satu waktu saya mendampingi beberapa dosen Universitas Indonesia yang melakukan penelitian di Pondok Pesantren Al Falah, Banjarbaru.
Mereka terheran-heran bagaimana santri/santriwati dengan lingkungannya (dewan guru/tata usaha/penjaga asrama/tukang masak/kebersihan/keamanan/) bisa menjalankan roda ekonomi dan menghidupi para pelakunya, yang menurut penilaian mereka angkanya minim sekali untuk hidup. Tapi keadaan baik-baik saja semua bisa hidup, tidak melarat apalagi kelaparan. “Kami mengambil keberkahan dari mengajar saja,” kata pimpinannya.
Sampai ke Darussalam, si dosen tercengang lagi bagaimana pesantren bisa membangun bangunan besar dengan ruang kelas yang banyak, bahkan asrama dari kontribusi santri, donasi, dan yayasan. Bagaimana konsep jangka panjang, bentuk maket 3D nya, atau batas penyampaian pelajaran, efektifitas belajar, pengawasan ribuan kepala, dan akan jadi apa mereka ketika lulus nanti. Dengan santai, Guru Nouval yang juga sekretaris dalam struktur dewan pengurus pondok mengatakan.
“Lillahitaala saja. Kami meneruskan apa yang sudah diajarkan para guru-guru kami sebelumnya. Tidak ada perencanaan yang muluk-muluk. Semua berjalan apa adanya dari tahun ke tahun mengikuti perkembangan zaman. Kita tidak meminta tapi tidak menutup wadah untuk mereka yang bersodakoh dan berinfaq untuk kemajuan serta pengembangan pesantren Darussalam. Tidak sedikit juga para alumni Darussalam yang menjadi Kiai kemudian membuka pesantren di daerah asalnya. Sebagai pengabdian dan bentuk perjuangan yang sama,” jawabnya sambil tersenyum.
Satu ketika, Guru Usuf (alm) mendatangi saya di depan pintu kelas 2 awwaliyah. Sembari bertanya asal kampung dan mengelus-ngelus punggung saya. Lalu, beliau menyarankan agar jangan mondok di rumah-rumah orang kampung (sebutan santri pendatang untuk orang Martapura setempat), tetapi lebih eloknya di asrama ayah (K.H. Zarkasyi) yang berada persis di seberang sungai, berhadapan ruangan kelas. Entah alasan apa waktu itu, Gr Usuf membisik demikian. Saya, yang namanya guru sedang bicara, manggut dan iya-iya saja. Sebelum pergi, beliau bercanda, yang— menurut saya— hampir semua santri tau bercandaaan Gr Usuf yang kayak gimana, tau kan!
Mungkin saja, ya jika seketika itu saya manut untuk pindah berasrama, saya bisa mendapatkan lebih dari yang saya inginkan. Lulus terbaik, punya pengajar dan pengawal, buka majelis ta’lim di kampung, dan pergi haji lebih awal. Ya mungkin saja. Tapi gara-gara saya tidak asrama dan mondok di luar pesantren, lingkungan pergaulan jadi terlalu luas sampai jadi wartawan, kan gak nyambung. Dan gak bisa nulis kayak catatan ini, kali.
Apa yang saya dapatkan sewaktu menyantri di Darussalam juga belum tentu sama dengan yang didapatkan Udin sewaktu nyantri. Juga bisa berbeda jauh sekali dengan yang didapatkan Gapur, Nasrul, dan Anang Gonjeng di waktu yang sama. Karena dunia santri bukan anak murid yang menerima pelajaran dari bangku dan ruang kelas semata.
Menjalani santri dalam lingkungan pesantren seperti melewati hari-hari penuh filosofis. Sekecil menggulung sarung yang dieratkan dengan ketahudian. Semakin erat simpul sarungmu, seerat itu juga amalan-amalanmu. Berlapis-lapis pelindung atau sabuk pada sarungmu, sebesar itu juga upaya perlindungan diri terhadap hal-hal yang bathil menurut syara.
The Miracle of Santri
Guru kami di kelas pernah menyampaikan, para penuntut ilmu itu rejekinya dijamin Allah yang maha kaya. Pondokan (istilah santri pendatang di Martapura) kehabisan uang kiriman adalah perihal yang biasa sangat. Sekere-kerenya kondisi finansial santri, ia tidak akan mati kelaparan. Bertahun-tahun, para santri dididik untuk berakhlak dan berfiqih tanpa meninggalkan nilai-nilai tauhid.
Gak ada tuh, kekhawatiran saat sekarang ketika sudah memasuki dunia kerja. Kecemasan apa lagi ketakutan bagaimana jika tak ada uang? tidak bisa jalan-jalan? atau gak punya motor gak punya rumah, gak punya mobil, gak pergi ke anu. Gak ada ini itu. Tidak ada kecemasan itu.
Tidak lagi menggeluti kitab kuning dalam kehidupan sehari-hari ini, seolah-olah keajaiban-keajaiban itu pun mundur perlahan. Menipis. Sampai hati dan perangai ini kembali kepada pelajaran tentang ketahudian dan akhlak untuk andil dalam berkehidupan. Menjalani keseharian dan kondisi perpolitikan di negara yang penuh dengan prasangka.
Finally, selamat Hari Santri Nasional ya gaes! keep NKRI harga mati dan akhlakul karimah. Harapannya, harapan orang awam.@