DI suatu hari yang panas Nasruddin pergi ke pasar. Kebetulan ia baru menerima banyak uang dari raja. Ia membeli apa saja yang ingin dibelinya, dari keperluan dapur sampai hiasan rumah tangga. Cangkir dan teko bersepuh warna emas, piring-piring porselin, sendok dan garpu, sampai lukisan kaligrafi di atas kain prada.
Puas betul ia hari itu. Karena tak dapat membawa sendiri barang-barangnya, Nasruddin memanggil seorang pemanggul barang. Harga jasa telah disepakati, dan untuk menyenangkan hati si pemanggul barang ia membayar upahnya terlebih dahulu.
Nasruddin berjalan lebih dulu. Ia cukup bangga dengan sikapnya yang dermawan. Sampai di depan keledainya, ditunggu-tunggu tak tampak juga barangnya akan datang.
Setelah menunggu cukup lama Nasruddin baru sadar ternyata ia telah ditipu. Si pemanggul barang membawa barang-barangnya lari. Menyadari hal ini Nasruddin mencari-cari si penipu. Ia berkeliling ke sana ke mari. Seisi pasar ditanyai. Bukannya mendapat jawaban, ia malah dibego-begokan orang-orang yang ditanyainya.
“Bodoh sekali apa yang Anda lakukan, Mulla. Bagaimana Anda bisa membayar terlebih dahulu dan meninggalkan barang-barang Anda tanpa pengawasan.”
“Kenapa Anda percaya begitu saja?!”
“Wah, jangan dicari lagi. Orang itu pasti sedang menikmati hasil jarahannya.”
Tak satu pun yang menyalahkan si pemanggul barang. Nasruddin tinggal sendiri gigit jari dan menyesali kesombongannya.