Jika Anda berteman dan mengikuti facebook Noorhalis Majid, maka pasti menemukan tulisannya berupa paribasa (peribahasa) Banjar. Dan itu ditulis rutin setiap hari. Sekali waktu ia pernah berucap, “Dalam kondisi apapun harus menulis setiap hari”. Biasanya ia menulis seusai Salat Subuh.

Nah, tulisannya itu telah menjadi buku kembali. Buku ketiga Noorhalis Majid yang diberi judul “Dijamak Jibril” dilucurkan dan didiskusikan di kediamannya, Rumah Alam Sungai Andai, Banjarmasin, Rabu, (23/6/2021).

Berkumpul sejak pagi sejumlah tokoh, aktivis. Mereka berdiskusi ringan tentang kebudayaan Banjar yang mulai bangkit dalam berbagai sisi, namun pada sisi yang lain juga mengalami kemunduran dan bahkan tenggelam.

Diskusi buku ini, kata Noorhalis Majid, bagian dari metode untuk mengumpulkan para pencinta budaya untuk berdiskusi tentang masa depan kebudayaan Banjar.

Kegiatan yang digagas oleh LK3 dan Borneo Braid ini menghadirkan 2 narasumber sebagai pemantik diskusi, yaitu Prof. DR. DCH. HJ. Masyitah Umar, M.Hum, guru besar Fakultas Syariah UIN Antasari dan Pdt Johnson Freddy Simanjuntak, Mantan Ketua STT GKE, dengan dipandu Rafiqah, aktivis LK3 Banjarmasin.

Prof Masyitah Umar mengatakan, buku paribahasa Banjar ini sangat menginspirasi. Bagaimana tidak, buku setebal 421 halaman ini memuat 200 paribasa Banjar—jumlah yang sama juga dengan dua buku sebelumnya. Sehingga saat ini Majid telah menulis 600 paribasa Banjar.

“Kalau bisa diusulkan mendapat anugerah Muri Indonesia, karena sudah mengumpulkan 600 paribasa Banjar. Upaya ini bukan hal biasa, sangat luar biasa dan belum pernah ditulis oleh orang lain,” ucapnya.

Bahkan, menurutnya, dari suku-suku lain tidak ada yang sudah menuliskan sebanyak ini. “Karya ini akan sangat bermanfaat untuk hari ini dan nanti bagi anak cucu. Terus terang saya salut dan kagum, karena saya sendiri tidak bisa menulis sebanyak ini dan bahkan rutin setiap hari,” kata Masyitah.

Menurut Masyitah, buku ini memberikan pelajaran yang sangat banyak dan mampu menggambarkan mengenai Banjar dan segala kebudayaannya. Ternyata Banjar sangat kaya dengan petuah, nasihat, dan pembelajaran hidup.

“Baru kita ketahui dan sadari setelah membaca buku ini. Saya yakin, yang sudah ditulis ini hanya sebagian yang kita ingat, sebagiannya lagi kita sudah lupa. Maka buku ini kembali mengingatkan tentang kekayaan intelektual yang sudah diwariskan oleh para tetutaha,” ujarnya.

Kalau Dinas Pendidikan mengetahui buku ini, lanjut Masyitah, maka semestinya meminta sekolah untuk membeli, agar menjadi bahan bagi guru dalam mengajarkan muatan lokal. Begitu juga perpustakaan, harus memiliki koleksi buku ini, sebagai bahan bagi masyarakat yang ingin mengenal Banjar.

Facebook Comments