DI KEDAI KOPI SUATU SIANG
Akhirnya aku harus paham bahwa matahari
Selalu menyembunyikan warna kopi yang sesungguhnya
Di antara cahaya yang berpendar
Menjadi partikel-partikel besi yang kecil dan panas
Dan kau masih saja mengigau, berlarian ke utara
Dengan tubuh luka dan bayang-bayang telanjang
“Aku telah sampai ke puncak. Warna kopi pun berubah
Agak hitam keabuan-abuan. Masih dengan rasa yang sama”
: Di tegukan yang berikut, kita pun tertawa membaca waktu.
Februari 2019
TULISAN KECIL PADA MEMORIAL PENYAIR
– A. Pushkin
Masih ada yang tidur, berbaring di sini menghitung guguran waktu
Musim dingin. Butiran salju di dinding kaca, berkabut
Ada yang menulis kota Arbat. Di jalan yang berjarak, orang-orang
Membuang tubuhnya ke tembok yang retak. Wajah yang berkarat
Di dalam ruang kamar yang gelap, hanya tempat tidur yang nyenyak
Menghitung masa silam dan puisi-puisi yang berceceran di anak tangga.
“Di depan cermin yang goyah, masih ada kata-kata yang tersesat.”
Arbat, November 2018
KOTA ITU SEPERTI BAPA
Kota itu seperti Bapa, tua dan merasa sunyi
aku selalu memanggilnya, Bapa, Bapa. Agar menoleh
tapi sampai suaraku rampung, ia tak bergerak
hanya pucat dan wajahnya dingin seperti salju
suatu ketika, Bapa tegak seperti patung kayu
aku memandangnya serupa boneka yang kaku
dan tak bersuara. Tapi aku tetap cinta dan patuh
pada kata-kata yang keluar dari lidah bersama air mata
“Bapa, Bapa, kenapa berdarah jemarimu, “suatu hari
ini bukan luka hanya sebuah kecemasan yang tak terucapkan
selalu begitu dan aku diam-diam termangu menatap bisu
Di suatu waktu saat malam, Bapa memanggil dan menyebut
nama-nama yang harus diingat untuk bekal kehidupan
persis seperti kota itu, yang menjadi temaram dan lalu padam.
Maret 2020