DI jantung Kalimantan, dikelilingi pepohonan lebat dan sungai yang berkelok-kelok, terdapat sebuah desa kecil bernama Tanjung Epat. Desa itu berada di dekat Sungai Barito, di mana airnya berkilauan di bawah sinar matahari, dan udaranya dipenuhi dengan dengungan alam. Orang Dayak telah tinggal di sana selama beberapa generasi, dan kisah-kisah mereka terjalin dalam jalinan tanah itu.
Suatu hari, seorang wanita muda bernama Miah, yang berusia 25 tahun, kembali ke desa itu setelah belajar di kota. Miah adalah seorang yang penasaran dan suka berpetualang, selalu ingin belajar tentang mitos dan legenda lama tentang sukunya. Neneknya, yang telah menceritakan banyak kisah kepadanya saat ia masih kecil, baru saja meninggal dunia, dan Miah ingin menghormati kenangannya dengan menjelajahi kisah-kisah lama tersebut.
Suatu sore ketika berjalan di tepi sungai, Miah mendengar dua orang nelayan, Labar dan Hau, berbicara tentang sebuah pohon misterius yang dikenal sebagai “Pohon berselimut kain kuning.” Para nelayan mengatakan pohon itu tumbuh jauh di dalam hutan dan konon memiliki kekuatan magis. Pohon itu istimewa bagi orang Dayak, tetapi tidak ada yang tahu lokasi pastinya. Saat Miah mendengarkan, jantungnya berdebar kencang karena kegembiraan.
“Menurut kalian apa fungsinya?” Miah bertanya kepada Hau dan Labar, yang tampak terkejut melihatnya.
Hau menjawab, “Ada yang bilang pohon itu mengabulkan permintaan, sementara yang lain percaya pohon itu melindungi desa dari roh jahat. Tetapi tidak ada yang berani mencarinya.”
“Kenapa tidak?” Miah bertanya, penasaran.
“Ada cerita tentang orang-orang yang pergi mencari pohon itu dan tidak pernah kembali,” kata Labar, sambil melirik sungai dengan gugup.
Miah merasakan campuran antara takut dan penasaran. Ia memutuskan untuk menemukan pohon itu. Pikirannya sudah bulat, tetapi ia tahu ia tidak bisa pergi sendirian. Jadi, ia mengumpulkan beberapa teman: Jewu, seorang pemburu yang terampil, Mai, seorang gadis pemberani dan pintar, dan Lani, teman masa kecilnya yang suka berpetualang.
Mereka berempat berangkat pagi-pagi keesokan harinya, berbekal keberanian, perbekalan, dan peta desa. Mereka berjalan menuju hutan, pepohonan berdiri tegak dan sunyi seolah-olah mengawasi mereka pergi. Miah memimpin jalan, jantungnya berdebar kencang karena kegembiraan.
Saat mereka menjelajah lebih dalam, sinar matahari menetes melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah. Semakin dalam mereka pergi, semakin sunyi suasana. Tak lama kemudian, mereka mencapai tanah lapang tempat mereka berhenti untuk beristirahat.
“Aku ingin tahu apakah kita sudah dekat,” kata Jewu, menyeka keringat di dahinya.
“Mari kita beristirahat sebentar,” jawab Mai, mengeluarkan nasi dan ikan goreng dari tasnya. Mereka duduk melingkar dan berbagi makanan, merasa lebih kuat sebagai satu tim.
Setelah beristirahat, Miah berkata, “Mari kita lanjutkan. Aku bisa merasakannya. Kita semakin dekat.” Mereka semua mengangguk, termotivasi oleh antusiasmenya. Mereka mengikuti jalan setapak sempit yang dipenuhi akar dan tanaman merambat tua yang bengkok.
Tiba-tiba, Lany menunjuk sesuatu yang bersinar di kejauhan. “Apa itu?” tanyanya.
Mereka mendekat dengan hati-hati, dan di sanalah—pohon megah dengan kulit kayu tebal dan gelap, terbungkus kain kuning yang indah dan berkibar. Matahari menyinarinya, membuatnya tampak seperti dunia lain. Miah hampir tidak bisa bernapas; dia tahu ini adalah “Pohon berselimut kain kuning.”
Wah, cantik sekali,” bisik Mai, matanya terkagum-kagum.
Saat mereka berkumpul di sekitar pohon, Jewu melihat ukiran-ukiran kecil di pangkalnya. “Lihat, ini pasti persembahan dari penduduk desa,” katanya sambil membungkuk untuk memeriksanya.
Haruskah kita juga membuat persembahan?” usul Lany, matanya terbelalak karena heran.
“Ayo kita lakukan,” kata Miah dengan tekad. Mereka masing-masing mengambil sesuatu: sepotong buah, perhiasan kecil, dan bunga yang telah dipetik Mai sebelumnya. Mereka meletakkan persembahan mereka dengan hati-hati di pangkal pohon.
Saat mereka melakukannya, angin sepoi-sepoi menggoyangkan dahan-dahan, dan kain kuning itu bergoyang pelan. Tiba-tiba, tanah bergetar sedikit, dan mereka mundur selangkah karena terkejut.
“Apa itu?” tanya Jewu, berkedip karena tidak percaya.
“Entahlah, tapi aku agak takut,” kata Lany, suaranya bergetar.
Tepat saat itu, sebuah suara berat bergema di sekitar mereka, bergema di udara. “Siapa yang berani mengganggu istirahatku?” Para sahabat saling memandang dengan kaget. Mereka tidak menyangka ini!
“Aku adalah penjaga pohon ini,” lanjut suara itu. “Kalian telah menunjukkan rasa hormat dengan mempersembahkan persembahan kepadaku. Sampaikan keinginan kalian, tetapi hati-hati dengan apa yang kalian minta.”
Miah merasakan campuran antara takut dan berani. “Kami ingin desa ini aman. Orang-orang kami telah menghadapi banyak tantangan.”
“Dan aku ingin ilmu,” Mai menambahkan dengan berani. “Kami ingin belajar lebih banyak tentang leluhur kami.”
Suara sang penjaga bergema lagi, kali ini lebih lembut. “Keinginan kalian mulia. Tetapi ingat, setiap keinginan ada harganya.” Dengan itu, bumi berguncang lagi, dan kemudian keheningan pun terjadi.
Keempat sahabat itu saling memandang, bingung dan cemas. “Apa artinya itu?” tanya Lany, mencengkeram lengan Miah.
“Mungkin itu berarti kita perlu membuktikan diri,” usul Jewu.
Saat mereka berdebat tentang apa yang dimaksud penjaga itu, mereka mendengar suara gemerisik di dekat situ. Tiba-tiba, segerombolan babi hutan muncul dari semak-semak, menyerbu ke arah mereka. Miah dan teman-temannya segera mundur, menyadari bahwa mereka harus melarikan diri.
“Lari!” teriak Miah, dan mereka berlari, jantung mereka berdebar kencang.
Mereka berlari zig-zag di antara pepohonan, menghindari babi hutan yang menyerbu. Tepat saat mereka mengira telah terpojok, mereka menemukan jalan tersembunyi yang membawa mereka kembali ke sungai. Dengan adrenalin yang meluap, mereka akhirnya mencapai tepi sungai, terengah-engah dan lega.
“Apakah kita kehilangan mereka?” tanya Mai dengan napas terengah-engah.
“Kurasa begitu,” kata Lany, menoleh ke belakang dengan hati-hati.
Pada saat itu, mereka teringat pohon kuning itu. “Bagaimana jika kita kembali?” usul Miah. “Kita perlu memahami apa yang terjadi.”
Mereka ragu-ragu, tetapi bagi Miah, misteri itu memanggil mereka. Bersama-sama, mereka berbalik ke arah pohon itu. Yang mengejutkan mereka, pohon itu masih ada di sana, tetapi kain kuning itu bersinar lebih terang.
Suara penjaga itu kembali, sekarang lebih lembut. “Kalian menghadapi tantangan dan muncul dengan kuat. Keberanian kalian akan melindungi desa kalian.”
Miah merasakan kehangatan di hatinya, menyadari bahwa hadiah sejati dari petualangan mereka adalah ikatan persahabatan mereka dan keberanian yang telah mereka temukan dalam diri mereka sendiri. “Terima kasih,” bisiknya, mengetahui bahwa mereka telah lulus ujian penjaga itu.
Dengan kekuatan yang baru ditemukan, para sahabat itu kembali ke Tanjung Epat, hati mereka dipenuhi dengan cerita dan pelajaran. Mereka memberi tahu semua orang tentang pohon dan penjaga itu, dan bagaimana mereka menghadapi rasa takut bersama.
Sejak hari itu, desa itu tumbuh lebih kuat, dipersatukan oleh roh-roh leluhur mereka, melindungi mereka dari kejahatan. Miah sering mengunjungi pohon itu, selalu terbungkus kain kuning, karena itu menjadi simbol keberanian dan komunitas. Dan mereka semua hidup, selamanya tersentuh oleh keajaiban hari yang menentukan itu di Sungai Barito.
Huma Hapakat Sei Getas, 4 April 2025