“KEPANDAIANNYA luar biasa. Dalam seratus tahun hanya lahir satu manusia semacam itu,” puji Bung Hatta atas kejeniusan seorang tokoh bangsa. Pujian ini ditujukan pada K.H. Agus Salim (1884-1954). Agus Salim dikenal sebagai poliglot. Agus Salim melatih anak-anaknya sedari kecil untuk menjadi poliglot. Anak-anak Agus Salim dari kecil sudah petah berbahasa Belanda. Ia sendiri konon menguasai sembilan bahasa. Dia fasih berbahasa Perancis, Belanda, Inggris, Arab, Jerman, Latin, China, Jepang, hingga Turki. Perlu ditambahkan lagi bahasa lainnya yang juga dia kuasai yakni Jawa dan Sunda. Artinya dia bisa dikatakan menguasai sebelas bahasa! Bahasa Minang tak perlu disebut karena itu memang bahasa ibunya.

Poliglot adalah sebutan untuk orang yang bisa banyak bahasa. Terma bahasa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta भाषा, bhāṣā.  Bahasa yang dimaksud di sini tentu saja bahasa manusia, bukan bahasa haiwan, bahasa tumbuhan atau pula bahasa mineral. Poliglot adalah istilah nan berasal dari bahasa Yunani nang memiliki makna “banyak lidah”. Satu artikel menyebutkan bahwa otak seorang poliglot berbeda dengan otak orang umumnya. Otak orang poliglot ringkasnya lebih rumit. Apakah kemampuan poliglot ini bisa dipelajari?Katanya bisa. Buktinya anak-anak Agus Salim.

***

Acap kali bagi kita yang lahir di Indonesia, bahasa ibu sudah tentu bahasa daerah. Kecuali yang lahirnya di kota di mana bahasa Indonesia jadi bahasa ibunya. Meskipun untuk yang terakhir, jadi lazim juga bahasa Indonesianya cenderung beraroma dialek Jakarta. Maklumlah, secara satir, kadangkala disebutkan bahwa Indonesia mengalami Jakartanisasi, bukan hanya secara linguistik, tapi juga kultural.

Orang Banjar yang lahir di daerah Banjar, tentu berbahasa ibu dengan bahasa Banjar. Bahasa Banjar yang dekat dengan bahasa Indonesia, biasanya bikin gampang orang Banjar berbahasa Indonesia.

Bahasa Banjar merupakan bahasa campuran yang menyerap unsur-unsur bahasa Melayu, Jawa, Arab, dan Manyan. Bahasa Banjar asli dapat ditemui bila kita bersua dengan ritual aruh adat Kaharingan Dayak Meratus (Banjar Arkhais) yang dilakukan para Balian Kaharingan.

***
Adalah lazim bahwa kita biasanya belajar bahasa asing saat bersekolah. Tapi, barangkali karena kebebalan kita, maka meskipun enam tahun belajar bahasa asing, saat lulus sekolah tak mahir-mahir juga. Bisa saja mungkin kita lantas berdalih ini salah sistem pembelajaran bahasanya atau juga salah gurunya yang bikin ulah siswa anti belajar bahasa asing (Inggris). Bisa juga ada faktor tambahan lain, ditertawakan kawan-kawan sekelas saat mencoba berbahasa asing. Pokoknya, kalau tak bisa bahasa asing, semua bukan salah onda (onda=saya (bahasa Banjar Kuala)).

Saya berjumpa dengan bahasa ‘asing’ saat menginjak bangku sekolah menengah pertama. Bahasa asing ini tidak lain adalah bahasa Inggris. Boleh jadi, sejak kenal bahasa Inggris ini, saya jatuh cinta pada bahasa tersebut. Sampai-sampai saya beli kamus saku yang muat di kantong belakang celana. Apabila tercetus di benak satu kata dalam bahasa Indonesia dan saya penasaran bahasa Inggrisnya, maka cepat-cepat saya buka kamus untuk mencari kata tersebut, atau lema, istilah teknisnya, dalam kamus. Ini jelas tidak efisien bila dibandingkan dengan zaman sekarang yang semuanya serba smartphone.

Kalau dipikir-pikir, sebutan ‘asing’ acap kali bisa bikin kita tertipu. Pasalnya, secara refleksif, saat belajar alipan**, bukankah saya juga belajar huruf Arab yang nota bene huruf dari bahasa asing juga. Hanya saja menyebut bahasa Arab sebagai bahasa asing sepertinya kurang elok, sebab formasi identitas kebanjaran sebagian dibentuk oleh kultur Islam yang mengalami naturalisasi. Di lain pihak, bahasa Banjar juga tak punya sistem aksara tersendiri sehingga tak heran jika tradisi tulisnya di masa lalu memakai sistem aksara Arab Melayu atau yang lain suka menyebutnya Jawa Pegon. Kalakian, sebutan asing memang perlu diletakkan dalam tanda kutip.

***

Belakangan ini, saya terpaksa harus membaca satu buku berbahasa Jerman. Ini patut disesalkan karena jangankan dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris pun buku yang hendak saya baca itu tak memiliki terjemahannya. Jadilah saya harus bergulat dengan Google Translate yang saya kira merupakan mesin pintar ajaib. Kenapa ia jadi mesin pintar ajaib? Pasalnya, hampir tak ada lagi bahasa manusia yang tak direngkuh olehnya. Google translate punya fonetik (sistem penulisan ejaan universal) dan juga fonemik (sistem bunyi) yang disimbolkan dengan ikon pelantang/speaker. Ia bisa menerjemahkan satu kata, satu kalimat, satu paragraf, hingga beberapa paragraf. Batas karakter dari Google Translate adalah 3900 karakter. Lumayan lah. Mungkin kalau tak punya batas, menerjemahkan satu buku tak lagi merupakan kesulitan bagi banyak orang. Di sinilah tampaknya Google menghargai peran penerjemah manusia. Implisit ia mengatakan bahwa meski aku mesin pintar, aku masih punya batasan lho. Selain batasan karakter, kadang kala terjemahan Google Translate memang perlu dirapikan, disesuaikan konteks, bahkan bisa juga penyesuaian subyek malah. Batasan lainnya yang meski mubazir, tapi perlu disebutkan adalah Google Translate tidak memasukkan bahasa Banjar dalam deteksinya. Bayangkan bila misalkan lema tahi lantung memiliki terjemahan dalam bahasa Inggris atau Jermannya. Tidakkah ini luar biasa?

1
2
Artikel sebelumnyaPUISI-PUISI MUHAMMAD DAFFA; NABI PUISI
Artikel berikutnyaDIA SEORANG BOSUN
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.