NABI PUISI
Nabi-nabi menyumbangkan lidahnya
Kepada sebuah kitab puisi
Berharap ada seseorang yang menemukannya
Dan memakai ulang lidah itu
Di sebuah upacara pertobatan
Surabaya, Mei 2021
DARI ARAH JENDELA
Berpeluklah pada kesedihan yang membacamu dari arah jendela.
Bayang-bayang menggurat tanda
Atas malam yang perlahan lesap menjelma tubuhmu.
Tubuh yang meminta pukau dari legit ciuman.
Kepada segenap cinta yang menyerahkan diri, kukatakan pada mereka
Bahwa tak ada sesal yang bertukar rupa, tak ada luka yang bertukar lupa.
Apa yang telanjur ditempuh bakal jadi muara penghabisan
Tak ada seorang pun menunggu di kejauhan.
Berpeluk bayang-bayang bulan,
Masa lalu meninggalkan kisahnya yang wagu
Kesedihan, segala yang disembunyikan waktu
Kita kah bagian dari sandiwara
Lupa meninjau tujuan datang
Sekaligus pulang?
Surabaya, Mei 2021
CINTA YANG JENAKA
Lupakan kota yang tenggelam ke lembar-lembar buku puisi. Cari bagian lain dari aku
Pada setiap larik yang ditorehkan senjakala. Biar hingar cinta yang mekar
Ingin kudengar sabda para martir yang ditahirkan bibirmu, kekasih. lengkapkan nafsu merah jambu
Yang mendadak lunak ketika sentuh jemarimu meraba bagian tubuhku yang paling rahasia.
Ingin kudengar sajak-sajak cinta yang kau tulis di suatu minggu biru, ketika seorang pesyair
Meneleponmu dan mengajak kencan beberapa jam lamanya. Kau bilang padaku
Bahwa sajak-sajak cinta itu tidak ada sangkut-pautnya dengan si pesyair yang tampak menggerutu
Ketika mengantarmu pulang seusai kencan. Kupikir ia ingin mengajakmu bertarung kata-ka
Di sebuah gelanggang paling lengang, di mana hanya kau dan dia yang ada, saling membaca
Musim panas yang berhulu dari tanak birahi. Siapa lagi yang akan mengajakmu kencan kali ini, manisku?
Adakah seorang lelaki tua yang terserang mabuk cinta, atau seorang pemuda kere berambut klimis
Yang tiba-tiba datang mengunjungimu pada penghujung bulan?
Surabaya, Mei 2021