KAK Lilis Marta Diana yang bermastautin di Tanjung tiba-tiba menghubungi saya pagi tadi. Mengabarkan Puang Bacco telah menutup usia. Puang menghadap Sang Kekasih setelah beberapa hari dirawat dan isolasi di RS.

Jemari saya refleks menelusuri ke mesin pelacak untuk menuntun, menemukan foto atau gambar yang pas untuk ucapan duka cita. Tapi mesin pelacak abai, tidak menemukan perintah yang saya maksud. Google tak setahu itu!

Lanjut saya menghubungi Kak Gusti Indra Setyawan. Telepon saya diangkat cepat. “Dua hari yang lalu kita masih kontak. Pa Bacco sudah diswab tapi masih menunggu hasil dan beliau tidak mau dikunjungi karena sudah masuk ruang isolasi. Istri beliau saat ini juga dalam perawatan karena sesak napas…” Kak Gusti bergeming karena baru pagi tadi rencana mau mengontak lanjut mendiang, menanyakan hasil swab. Namun, kabar duka lebih dulu sampai sebelum dirinya menghubungi.

Ingatan saya mencoba bekerja. Nama Bacco pertama kali saya dengar ketika duduk di bangku SMA kelas 1. Puisinya tajam dan patah-patah, ibarat naik kendaraan membaca puisinya seperti menikmati perjalanan naik tanjakan, menukik, sesekali merem untuk melewati simpangan berkelok.

Puang Bacco untuk masa hadapan sangat layak untuk dikenang. Saya nukilkan biografi singkatnya sebagai oleh-oleh masa depan, sebab jejak digital Puang Bacco sulit dilacak. Nukilan antara lain bersumber dari Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (Balai Bahasa Banjarmasin 2008) dan 50 Tahun Sastra Banjarbaru Sejarah dan Jejak Komunitas (Zukzez Ekspress 2020). Agar tentangnya tak lekang dan bisa diakses untuk sekadar informasi ringan. Kebetulan mama tua saya dan ayahnya Puang Bacco sama-sama berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Puang Bacco terkenal keras namun baik hati dan pengayom. Nama Bacco sendiri adalah nama panggilan kesayangan yang disematkan oleh sang ayah. La baco dalam bahasa bugis artinya lelaki yang berani.

TAJUDDIN BACCO

Lahir pada 13 Agustus 1958 dengan nama Akhmad Tajuddin. Ayahnya keturunan bangsawan bugis di Watampone bernama Andi Imamul Gazali Anjasiah dan Ibunya Raden Siti Syamsiah yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Bacco adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Kakeknya di Watampone adalah seorang ulama terkenal. Ayahnya sendiri pernah mengarang kitab Barjanji (kitab maulid Nabi Muhammad SAW) dalam huruf lontara dengan memadukan aksara melayu dan bugis. Ayahnya adalah seorang veteran, tentara Kodam X Lambung Mangkurat yang kemudian overhang ke Kepolisian RI (1946).

Puang Bacco kecil sudah dicekoki syair-syair burdah dan cerita hikayat Makaramah oleh sang Ibu. Kakek Bacco dari sebelah ibu adalah bangsawan sunda (Garut) yang ditakdirkan berjodoh dengan seorang perempuan etnik Alabio (Banjar) Hulu Sungai Utara di desa Muara Tapus.

Puang Bacco menikah dengan seorang guru Bahasa Indonesia tahun 1984 bernama Maskanah dan dikaruniai dua orang anak (putra-putri) yang keduanya pernah menempuh pendidikan di Yogyakarta.

JEJAK PUANG BACCO