AKHIR NOVEMBER DI BANJARBARU
1. di bandara Trunojoyo
— bersama Eeng dan Rea
sehabis gerimis menghujani hati
kita berangkat lewati jalan sepi
masuk jalan di dada yang masih basah
dengan serakan ragu seperti sampah
setelah jalan kota lurus ke timur
kita pun melewati jalan berumur
air yang menggenang di sepanjang jalan
seperti sisa cemas dan ketakutan
tapi akhirnya kita pun bisa sampai
meski debar dada melebihi pantai
lihatlah Rea kita yang makin girang
berlari meninggalanku tetap di bimbang
pesawat kecil yang di tepi bandara
bagai membuatnya terbang ke angkasa
lebih tinggi dari sangkanya sendiri
lebih ringan dari lukaku yang nyeri
di kursi besi ini aku sendiri
melihatmu bersama Rea berlari
sambil terus menenangkan debar dada
dengan puisi yang sengaja kubawa
aku menyusul kalian yang melambai
kita berfoto dengan luka tergerai
mencoba mengabadikan dalam dada
sebab tak mesti kita kembali sama
rupanya pesawat itu sudah tiba
dengan penumpang kata yang seadanya
anak kita semakin girang melonjak
tapi di matamu bergejolak ombak
aku masuki pesawat yang menunggu
seperti berjalan manjauh darimu
dari jendela kecil kulihat tabah
seperti jalan pulang yang masih basah
2. gerimis di Mingguraya
butir-butir rintik itu berjatuhan
melembabkan anganku perlahan-lahan
hingga basah doa-doa dalam dada
dan kulihat dirimu pun juga sama
lampu-lampu taman semakin membara
menangkap gerimis di atas kepala
lalu menjatuhkannya ke meja kita
mengenai kata-kata yang kubawa
dan rupanya sebutir lagi tersangkut
di baris bulu matamu yang meliut
persis seperti tetes embun yang jatuh
dan menggantung di lubukku waktu subuh
sudahlah, tak usah kubuka payungku
sebab gerimis ini adalah rindu
yang dulu pernah menggenangi sawahku
tempat ibu menanam harap untukku
bila tidak, tak mungkin aku di sini
duduk bersamamu sambil minum kopi
menikmati malam yang semakin lain
malam tanpa jangkrik dan semilir angin
tak masalah bajuku basah sendiri
sebab kuharap dingin pun sampai hati
agar tak kering bibit-bibit puisi
yang kelak jadi pohon rindang sekali