Dear netijen yang maha correctly, Catatan ini adalah bagian kedua.
Dulu sekali, sewaktu belum boleh ber-KTP, mama sempat marah-marah ketika saya tiba di losmen Baciro, Yogyakarta. Ditanya pulang dari mana, dengan siapa, pakai apa? “Jalan kaki, sendiri saja,”. Seperti biasa, mama menaburkan wejangan-wejangan khas kekhawatiran orangtua. Wajar, ya, umur saya masih belasan ketika itu. Sampai sekarang sebetulnya saya masih ingat jalan pintas/tikus dari pusat kota Yogyakarta ke Malioboro. Gang-gang sempit rumah dan kios tua. Entah, sekarang mungkin tergerus pembebasan lahan dan sudah diganti hotel-hotel dan losmen murah.
Beda kasus tentu di Kota yang kita tinggali sendiri. Sedari awal saya sengaja tidak ingin tahu berapa kilometer sebenarnya jarak tempuh melalui aplikasi maps. Biar abstrak saja, kayak gak ada bayang-bayang angkanya, begitu, nona.
Saya tiba di halaman Masjid Nurul Falah, berseberangan dengan mall di kota ini, gak persis sih, agak geser lah ke selatan. Sejumlah orang sudah siap dengan pakaian terbaiknya untuk berJumatan. Saya bercermin, di jendela masjid, muka berpeluh keringat, rambut berkuncir, pakaian serba hitam, dan mata melirik-lirik beberapa sandal yang mungkin bisa ditukar, untuk dipinjam, sementara saja.
“Ya Tuhan, izinkan saya meminjamnya saja. Cuma pinjam Ya Allah, ntar saya balikin kok!” gumam saya dalam hati. Saya sudah tentukan sandal mana yang akan saya bawa. Yang itu! Sembari mengingat letaknya, saya pergi ke toilet untuk sekadar buang air, membasuh muka dan kaki, berwudhu dan minum, tentu saja.
Betapa perihnya ketika luka di punggung kaki itu terkena air. Apalagi kalau tersentuh sandal itu lagi. Fix, saya berjalan keluar, memasang sandal jepit khas Masjid yang bertuliskan “Sandal Wudhu”. Lalu mengangkat sepasang sandal sebelumnya, meletakknya ke kotak sandal di bagian terbawah nomor dua sebelah kanan. Saya ingat betul letaknya. Biar nanti ketika balik ke sini lagi saya tukar. Pun kalau masih ada, kalau hilang, gak ketemu lagi, saya relakan. Demi kemaslahatan umat. Asyik.

Sekarang, saya pakai sandal jepit yang lumayan enak dibandingkan sebelumnya. Luka yang tadi terbuka tidak tersentuh tali sandal lagi. Langkah semakin mantap. Walau terlihat gontai dan sedikit kayak orang pincang. Jangan bayangkan langkah saya cepat sekali saat siang itu. Selow sekali seperti lirik lagu selow. Sangat selow.
Waktu sudah lewat tengah hari, saya pastikan setelah menengok jam digital pada dinding masjid. Saya perkirakan, azan masih lebih 10 menit lagi. Antara dua pilihan bertahan menunggu azan atau terus jalan, saya pilih terus jalan.
Itu setelah saya yakin, untuk sekadar menyeberang ke masjid di dalam mall masih sempat. Kan, lumayan, ya dalam perjalanan naik ke lantai 3 saya bisa ngadem ber-AC. Masuk mall penampilan seperti ini, saya pikir, why not!
Thank’s god, telah menciptakan manusia-manusia pintar yang menggunakan akal pikirannya membangun pendingin ruangan sebesar ini. Saya melangkah pasti merasakan atmosfir udara mall. Gak pakai lirik sana-sini. Nunduk aja naik ekskalator sampai ke tangga masjid dalam mall satu-satunya di dunia.
Sandal wudhu yang saya dapatkan di masjid seberang ini berasa begitu berharga. Tak bisa ditaksir nilanya, walaupun tampilannya hitam dan lecek sangat. Tapi sayang sekali kalau diletakkan sembarangan. Kalau hilang atau tertukar, saya tidak bisa menggantinya. Saya letakkan di kotak sepatu, di kotak nomor 2 sebelah kanan paling atas. Harus ingat, saya tak rela kalau ada yang menukarnya dengan sepatu walau merek Jordan sekalipun. Ya gak mungkin juga lah ya.
Memasuki ruangan wudhu, saya kenal dengan beberapa orang di sana, seperti penjaga counter A yang kerja di B. Atau om H yang aktif di Pramuka/HW Kabupaten Banjar. Tapi menyapa dengan penampilan seperti sekarang? Sepertinya tidak dulu. Dampak psikologisnya bisa berbanding lurus dengan tekanan hidup.
Saya minum lagi. Menyegarkan. Masuk ke masjid. Merasa celana terlalu berdebu karena jalanan, namun saya pastikan semua yang dipakai suci dari najis yang membatalkan syarat sah. Saya memutuskan menggunakan sarung yang telah tersedia di locker masjid. Sayangnya, mengapa insting pemilih masih muncul di kondisi seperti demikian. Ada keraguan antara sarung paling atas atau yang di tengah-tengah. Saya putuskan memilih sarung nomor 2 yang tertindih di bawah. Padahal sarung yang paling atas sudah saya pegang, lho. Saya pikir motifnya lebih elok dan warnanya bagus. Udah gitu, aja.
Sarung itu saya bawa ke toilet untuk dipakai. Damn! harusnya pada situasi serba terjepit ini saya tidak pilih-pilih. Kenapa tidak menggunakan yang teratas tadi saja. Sarung ini robek di bagian paling sudut. Robeknya itu agak timpang, gak simetris sama sekali. Ya sudah, saya letakkan di bagian gulungan teratasnya sebagai puntelan pinggang.
Yang sering salat Jumat pasti ngerasain, ada beban segede gaban yang menimpa mata kita saat khotbah berlangsung. Intinya isi dari khotbah bab tawakkal, menghindarkan ketergantungan kepada makhluk, menghilangkan ketergantungan akan sesuatu selain daripada Allah semata. Udah pas!
Sarung dikembalikan, ikat pinggang dieratkan, kaki dilangkahkan, dan tetap pakai sandal jepit andalan. Tak lupa minum air wudhu biar tahan godaan. Saya keluar mall, dan kenal sekali beberapa teman-teman driver online yang lagi mangkal pasca mereka salat di masjid seberang. Cuktau, lah, ya!
Sejenak, perut memanggil otak untuk diberi asupan. Iya sih, ini waktunya makan siang. tapi dengan kondisi demikian. Saya makan apa? Siang gak bisa dimakan, keulues!
Teringat rumah acil, adik dari mama yang berada di komplek Barata. Kalau lewat jalan pintas Gg Petai dekat aja kayaknya, kalau pakai motor, sih. Fix, dalam hati sembari melangkah, semoga acil ada di rumahnya. Minimal saya datang mengetuk pintu pas lagi makan siang, bisa numpang makan, bisa mengisi tenaga. Rumah acil juga ber-AC, saya bisa ngadem sebentar sampai sore. Enak-enakan dikit. Apalagi matahari terik sekali, di Banjar saja panasnya begini, bagaimana di padang mahsyar.
Sembari salawat terus mengiringi langkah, sembari khwatir menyelimut, kalau tidak ada orang di rumah bagaimana? Whateverlah, yang penting jalan dulu aja.
Saya menggeser pagar tak terkunci. Semoga ada acil dan sepupu sedang makan siang. Tau gak sih, gambaran-gambaran itu seperti muncul sendiri dalam kepala. Tapi perlahan, tanda-tanda itu muncul. Harapan demi harapan perlahan menghilang setelah melihat tak ada jendela yang terbuka sama sekali. Saya berprasangka baik, mungkin karena ber-AC kan jadi jendela gak dibuka.
Pelan saya melangkah, menyapa beberapa kucing lucu peliharaan acil di teras mengiringi langkah saya. Seperti minta makan, dia gak tau kalau saya ke sini juga berharap dapat makan.
Pintu diketuk.
Hening.
Gak ada respon.
Saya coba membuka berharap tidak dikunci!
Done!
Seandainya ada cctv mungkin ekspresi muka saya tertangkap dalam kamera seperti patung. Posisi siap grak. Gak gerak sesaat. Seperti salah memilih jalan. Seperti ada bisikan, saya menggantungkan harapan kepada manusia, dan itu keliru.
Fine. Sudah terjadi, dan saya sudah di sini. Setidaknya saya bisa duduk berteduh. Tapi karena matahari persis di atas, ya gerah juga. Saya mengambil gelas berlogo J.Co yang terletak di bagian samping karena memang ada rak piring di luar dari bagian ruang rumah. Menampung air ledeng dan minum. Alhamdulillah, sekarang lebih baik kayaknya. Pakai gelas, merek J.Co pula, walau pun air ledeng. Rasanya kayak lebih dingin karena airnya beralaskan bahan keramik.
Duduk termenung mengelus beberapa kucing yang mengelilingi. Seperti menunggu petuah kalimat bijak dari orang soleh. Gak sih, mereka lapar padahal, sama saja dengan saya. Para kucing ini seperti merengut, seperti bicara “Kamvret ni manusia. Gak ada guna! datang tangan kosong!” Setelah tahu saya gak bawa apa-apa, mereka meninggalkan saya ke teras depan. Melangkah dengan langkah khas model-model fashion tv. Sombong sekali.
Seperti ada intusisi tunggu sebentar siapa tahu tuan rumah datang. Iya, kalau datang, kalau gak. Ya terlena. Waktu pun terbuang. Okelah, saya gak bisa berlama-lama, menunggu yang tak pasti, gak bisa menghubungi siapa-siapa juga. Langkah berlanjut, dan sempat ragu apakah saya balik badan pulang ke rumah saja, sedangkan Masjid Al Karomah masih tak terbayangkan.
Saya berhenti di musala dekat situ. Siang itu panas sekali. Telapak kaki saya mengeras seperti roti gosong. Dan parahnya, musala ini ternyata dikunci. Padahal saya membayangkan berbaring di bawah kipas angin sebentar saja. Gak ada pilihan, saya berbaring di teras musala. Eh, saya merasa gembel sekali. Melihat beberapa sepeda motor melintas yang pengemudinya mendadak ngerem melihat ke saya. Entahlah, apa yang terbesit dalam pikiran orang itu, saya pikir gak bisa kayak gini juga. Biarlah, panas sepanas-panasnya, lawan!
Jalan pintas yang tadi saya susuri kembali di-reverse. Keluar di Gg Petai, melewati Masjid Nurul Falah dan Q Mall. Entah, keberuntungan atau memang sudah diprakirakan BMKG, awan mendung datang dan udara menjadi sejuk. Ya Tuhan, saya bersyukur sekali ketika itu, dan salawat di tiap langkah seperti makin mantap. Kayak, yakin aja gitu gak bakal mati kelaparan atau kehausan, sampai terbesit dalam hati minta hujan. Sebentar saja, ya Allah, buat ngebasahin tubuh ini, lho. Siap hujan-hujanan, wong gak ada peralatan elektronik apa pun yang bersama saya saat ini.
But, Tuhan hanya berikan mendung dan angin berhembus sejuk saja. The Michael Angle tu kayak berbisik, “Udah deh, tu angin disyukuri aja, gak usah nambah-nambahin kerjaan gue. Pake hujan segala!”. Hehe, iya, deh, Mik! Maacih, ya!
Bersambung…@