MALAM MILIK KITA

begitulah. aku terpatung di depan
orangorang yang tetiba
menjelma dayang dan penari! raja tertawa,
seloki anggur di tangan turut menari
lalu tumpah di celanamu. kembali raja
terpingkal, mengacung jempolnya. “kalian
sudah membikinku terhibur. ayo, tuang lagi
anggur itu ke gelasmu. minumlah hingga
mabuk.
mari mabuk bersama. malam milik kita,
semesta terkutuk jadi batu. dan kita ibuibu
yang serapah ataupun menyumpah!” kata
penasihat raja. jika raja pun kesurupan,
kursi dan mahkota terjungkal

ah, di mana pun selalu ada dayang, penari,
dan…
raja bisa saja mati di kursi yang didudukinya…

24/09/2018


DONGENG DARI ISTANA

syahdan, utusan raja pulang dari perjalanan
ke kerajaan jiran. mereka menghadap
dan seseorang-dua orang
memberi laporan; di negeri jiran telah lahir
kerajaan baru di dalam pertiwi yang resmi,
rasamya bisa kita bidani juga di sini wahai
paduka raja….

sang raja memilin dagu tak berjanggutnya. dalam
batin ia mengamini laporan para utusan, setidaknya
pikirnya, semakin banyak namanama akan
mudah sekali diaduadu dan ditumburtumburkan
setelah itu tangkapi yang berkhianat maupun
penjilat
pasalnya, raja membatin lagi, kedua sifat
dari manusia seperti itu amat berbahaya
dan mengancam kerajaan. lebih baik
memelihara orangorang yang memiliki sikap,
tak menghindar demi posisi, diam jika
membahayakan, lalu bersiul jika akan
membawa keberuntungan

tapi sebuah temasik sudah dipuahkan raja
meski kelak mati pula oleh hurahura dan sorak
yang lain…

2018; 24/9


TAK ADA YANG INGIN MENUNGGU MUSIM

lalu menunggu yang datang setelah
kulepas kursi itu. kau
datang ingin segera duduk di situ. aku
berlalu menuju singgah lain. “seperti daun
itu, tak ada yang ingin lama di ranting,”
bisik angin padaku pagi tadi

aku akan duduk kemudian membiarkan
kursi yang hangat itu kembali anyep. mungkin
kau akan segera hadir dan mendudukinya. “tak
ada yang ingin lama menunggu musim, seperti
ombak pun tak mau diam di pantai,” bisik
gelombang padaku siang ini

taman akan sepi
taman kembali riuh

Facebook Comments
1
2
Artikel sebelumnyaSUSI PUDJIASTUTI: YOU DON’T PRAY ON FRIDAY, SINK IT!
Artikel berikutnyaSERIGALA YANG MENGENAKAN JUBAH DAN SERBAN NASRUDDIN
Isbedy Stiawan ZS
Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di berbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020) Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021). Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020). Isbedy pernah sebulan di Belanda pada 2015 yang melahirkan kumpulan puisi November Musim Dingin, dan sejumlah negara di ASEAN baik membaca puisi maupun sebagai pembicara. Beberapa kali juara lomba cipta puisi dan cerpen.