RAMBUT TERBAKAR DI JALAN-JALAN

sekejap musim mengelupas
bongkah-bongkah daging menatap ngilu
segenap ranjang berubah kuburan
sprei tak sempat kusut sebab geliat birahi
menguap diburu sekarat

di luar kamar setiap lelaki sibuk berteka-teki
tentang gerimis yang jadi api hanguskan bilik-bilik mempelai
setiap perempuan sibuk mencari mawar-mawar pengantin
yang gosong hangus oleh kutukan nasib

ulat batal jadi kepompong
bibir-bibir gemetar bisu
telunjuk menuding-nuding dendam

orang-orang berlarian lintang-pukang
rambut-rambut terbakar di jalan-jalan
tak sempat jadi uban

bau anyir. bau sangit formalin terbakar
hangus meleleh di mulut-mulut gang
mengabarkan: derap malaikat ajal dengan taring menyala

doa-doa mengambang seperti planton
: air mata menangisi nasib yang kejang di salib di altar!


BALIHO CELENG

Inilah pesta. Siapa yang akan membacakan sambutan? Ada potret-potret besar menyeringai, di ruas-ruas jalan berbaris bagai devile para serdadu kelaparan. Siap grak! Seruduk kiri, seruduk kanan, buk.buk!  Nyanyikan marsmu sambil geyal-geyol, dreng ndrendeng drendeng barisan celeng cari srundeng, dreng drendeng barisan celeng glelang-gleleng. Bus lalu lalang melambaikan tangan kepada para ratu adil.

: Coblosan-coblosan! Pesta-pesta! Dor, dor, dor kembang api meledak bersama granat.

Maka para celeng pun berbaris megal-megol berdesak-desak antri di salon.

“Akulah celeng paling tua maka aku paling berhak duduk di kursi itu!”

“Aku celeng muda lebih gesit, lebih cerdas,pewaris masa depan  maka minggirlah biar yang muda nangkring di kursi!” 

“Husss, aku celeng cantik paling genit paling semok, maka biar aku yang nungging di kursi itu!”

Salon pun riuh-rendah, klakson di jalan bertulalit, lampunya berkedap-kedip. Pesta.Pesta.Pesta. coblosan-coblosan. Baliho-baliho ditegakkan. Inilah rambu-rambu itu menunjuk jalan paling sesat. Kota-kota, desa, dusun, kampung, kecamatan, kelurahan, RT, RW menyeruakkan aroma pesing kencing celeng. Semua ada di mana-mana, senyum celeng di baliho-baliho, meringis di pinggir jalan. Tebar pesona celeng. Dreng drendeng, barisan celeng, celeng glelang-gleleng. Celeng-celeng oleng. Ayo, pesta, pesta!

Celeng-celeng mabuk di alun-alun kota. Mandi bugil di air mancur. Buruh-buruh melambai, guru-guru melepas kacamata mengangguk takzim, saudagar-saudagar memainkan kalkulatornya bersiul saling menerka mana laba, mana yang pailit. Para pendeta dan ustadz berebut mengabarkan jaminan surga. Di tembok-tembok sepanjang gang tertulis pesan: Memilihku adalah jiwa merdeka. Merdeka!

Para celeng menghabiskan waktunya dalam tanda gambar. coblosan, coblosan, coblos aku celeng paling digdaya, celeng paling seksi, celeng pembawa jalan firdaus. Tak ada yang malu menjadi celeng. Bersorak-sorai dan bernyanyi-nyanyi: celeng-celeng degleng, celeng-celeng srundeng, srundeng celeng-celeng, silit celeng-celeng, ngaceng peli celeng.dreng drendeng. Ini barisan celeng, penuh bergenderang berpalu, kepercayaan tanda berebut kursi!

Baliho-baliho bergoyang serupa irama dangdut. Celeng-celeng bersorak. Orang-orang takjub.

Dreng drendeng drendeng, barisan celeng.celeng glelang gleleng. Pesta-pesta. Coblosan-coblosan.