Jumat malam lima Oktober yang sendu, tanpa gerimis. Ruang Balairungsari di Taman Budaya Kalsel pun jadi anu, puitis. Tentulah iya, malam yang keren, tersebab penyair sekelas Y.S. Agus Suseno yang bikin event. Setelah setengah jam para penonton tertib menunggu, dari janji publikasi di angka 20.30, maka di angka 21.00, Y.S. Agus Suseno akhirnya muncul. Di atas panggung yang cerah, ia nampak ditemani tiga anak muda bersetelan casual kontras warna merah bawahan putih, meriah. Lalu, sosok gondrong yang ia sebut dirinya sendiri sebagai “makhluk abad lalu” pun memberikan prolog pertunjukannya.
Malam itu adalah pertunjukan yang berarti baginya. Semacam retrospeksi puisi-puisinya, katanya. Maka arti kualitas pertunjukan memorial baca dan musikalisasi puisinya itu pun terbayar lunas, setelah dipersiapkannya selama enam bulan. Meski malam itu ada konten baca puisi dan musikalisasi puisi, tapi boleh saja kita sebut pertunjukan malam itu sebagai musikalisasi puisi.
Bagi publik seni di Banjarmasin, atau umumnya di Kalimantan Selatan, pertunjukan jenis ini tentu saja sesuatu yang menarik. Pertama, karena tontonan musikalisasi puisi adalah bentuk pertunjukan yang kita ketahui kurang populer, kurang laku. Kedua, karena pertunjukan malam itu digarap cukup profesional, di antara banyak kegiatan serupa di Banua.
Seberapa profesional pertunjukan malam itu? Apakah betul-betul menarik dalam arti artistik dan estetik? Hayuk, kita bahas di sini.
Profesionalitas, tentu sebuah idiom “sakti”. Begitu, karena sifat profesional akan menjadi tolok ukur sebuah kualitas pertunjukan seni, dalam hal ini musikalisasi puisi. Sebuah pertunjukan seni profesional bisa kita bedakan dengan yang non profesional. Nilai profesionalitas inilah yang menjadi market value atau “dagangan” sebuah karya seni. Sebagai publik-pembeli karya seni, sekurang-kurangnya ada dua hal yang bisa kita tagihkan kepada sebuah pertunjukan yang akan kita tonton, dalam hal ini tentu saja pertunjukan musikalisasi puisi karya-karya Y.S. Agus Suseno.
Pertama dan yang paling utama adalah materi pertunjukannya. Di sini, kita akan menunjuk pada sembilan karya yang disajikan, sembilan puisi yang di-musikalisasi-kan. Dari materi ini, kemudian kita bisa tagih nilai artistik maupun estetiknya. Secara artistik, sebuah pertunjukan musikalisasi puisi bisa kita andaikan sebagai benang puisi, yang dirajut dalam pola dan teknik musikal. Atau, sebuah penyampaian gagasan-makna puisi melalui bentuk musikal. Pada pertunjukan malam itu, rajutan musikal benang puisi pun telah berbentuk menjadi nyanyian atau lagu (song).
Kalau kita simak kesembilan materi pertunjukan malam itu, benang merah pola bentuk musikal pengungkapan yang disajikan adalah lagu/nyanyian balada (ballad music). Kita bisa memahami pilihan bentuk ini dari prolog yang disampaikan Y.S. Agus Suseno di awal pertunjukan. Ia dengan jelas mereferensikan musikalisasi puisinya pada capaian artistik Ari-Reda di era 1980-an dulu. Maka, kita tidak akan menuntut gaya artistik musik etnikal, misal dari musik gamelan seperti capaian musik puisi (bukan musikalisasi puisi) Emha Ainun Nadjib dengan Teater Dinasti-nya di era 1970-an. Atau juga, gaya artistik “musik klasik” pada capaian lagu dari komponis FX Sutopo berdasarkan puisi Kirdjomuljo di era 1960-an.
Sebenarnya, gaya musikalisasi Ari-Reda di ’80-an itu masih segaris dengan yang pernah dilakukan oleh murid-murid Umbu Landu Paranggi di Yogya di 70-an, yakni Emha, Ebiet, Eko Tunas. Di era itu, nyanyian balada dari teks puisi Taufiq Ismail juga sudah dikerjakan oleh kelompok Bimbo. Maka, pernyataan Y.S. Agus Suseno yang mengatakan bahwa pelopor musikalisasi puisi adalah Ari-Reda kurang tepat. Barangkali ini akibat dari persoalan konsep dan definisi musikalisasi puisi yang dianutnya. Sebenarnya apa itu musikalisasi puisi? Ya anu.
Kembali pada materi sembilan puisi Y.S. Agus Suseno yang dinyanyikan secara ballads oleh tiga-empat pemusiknya, kita akan lakukan pembedahan kecil di sini. Bedah-kritik ini bisa kita mulai dari konsep bentuk musikalnya. Para pemusik, penyanyi (lead vocal), giratis 1, gitaris 2, di atas panggung beberapa kali menyebut bantuk yang mereka bawakan sebagai aransemen. Di dalam teks puisi yang dibagikan ke penonton juga tertulis begitu. Ini peryataan yang salah dan sangat fatal. Aransemen adalah bentuk musikal baru yang diolah dari bentuk lama yang sudah ada. Sedangkan bentuk musikal yang mereka bawakan tidak berdasarkan atau menyandarkan pada bentuk musikal tertentu, artinya baru. Jadi secara bentuk musikal, itu adalah komposisi, bukan aransemen.
Kemudian kita bisa masuk pada artistikal musik balada mereka, kesembilan komposisinya. Dari telinga dan mata kita, sembilan komposisi itu nyaris semuanya digarap datar, kurang dinamika, dan minim harmonisasi. Nyanyian-nyanyian teks puisi yang dilantunkan oleh Finni, kebanyakan menggunakan nada-nada panjang (legato). Hal ini berakibat pada suasana musik yang berjalan lambat. Kalau hal ini dibuat pada bagian-bagian tertentu yang memang makna lirik-puisinya menuntut itu, wajar. Tapi kalau berpanjang-panjang nada terus-terusan, ya ancamannya adalah kebosanan. Dugaan saya ini terjadi karena pola iringan gitar 1 dan gitar 2 yang memang tidak begitu dinamis. Petikan-petikan arpeggio dari dawai, atau bahkan struming pun relatif datar.
Kita bisa melihat, sebenarnya peran gitar 1 dan gitar 2 (Izbay dan Zay) yang mereka sajikan dalam sembilan komposisi itu kurang autentik. Artinya, tidak ada pembagian peran komposisi yang jelas pada kedua gitar. Gitar 1 dan gitar dua nyaris tidak ada pembeda yang membentuk harmonisasi, kecuali peran intro yang diambil Zay di dua-tiga komposisi. Maka, kita bisa merasakan bahwa di atas panggung ada dua gitar tapi berasa satu gitar, sangat tidak efektif. Satu lagi, kemunculan Ole (yang katanya bagian perkusi) di bagian akhir juga kurang berperan. Kita boleh menuntut perbedaan struktur musikal setelah masuknya Ole, yang sayangya tidak kita dapatkan. Kecuali hanya bunyi ritme dari instrumen semacam marakas (egg shaker), yang mungkin kalau dimainkan oleh Finni sebagai penyanyi akan lebih menarik. Artinya, dramaturgi yang disajikan pada kemunculan Ole tidak memberikan kejutan apa-apa.
Di di luar perihal artistikal yang belum maksimal itu, dalam ingatan musikal kita, ada dua komposisi yang masih cukup kuat, yaitu “Sajak Cinta” dan “Pondok Kulit Kayu di Pegunungan Meratus”. Pada komposisi “Sajak Cinta”, makna-makna pertanyaan pada teks puisi mampu dituangkan secara musikal pada pilihan nada-nada staccato pada vokal. Serta pilihan progresi kromatik dalam bentuk Major Sevent Chord, adalah pilihan musikal yang tepat untuk menggambarkan gagasan teks puisinya. Maka, kita pun bisa merasakan hasilnya. Sebuah nyanyian yang syahdu-melankolis tapi punya semangat optimis, sebagaimana rindu yang dimaksud teks puisi itu.
Selain itu, keberhasilan komposisi mereka juga nampak pada nyanyian “Pondok Kayu…”. Puisi ini memang kuat pada dirinya sendiri. Puisi yang mempertanyakan hedonisme semu masyarakat urban di seberang kebahagiaan alam Meratus yang terancam. Puisi ini adalah ironi kemajuan peradaban yang menyimpan kemarahan humanis. Ada luapan manusiawi atas ketidakadilan dan masa depan Meratus yang terancam. Daya puisi inilah yang cukup baik termanifestasikan ke dalam komposisi musikal. Kehidupan semu itu diekspresikan secara musikal dalam bentuk repetisi, pengulangan progresi chord (I-vi, I-V, dan IV-V) di bagian awal nyanyian. Komposisi ini makin berhasil ketika luapan makna ironis dan kemarahan manusiawi dimuntahkan bagian reffrain. Yakni pada pilihan nada yang melompat dalam skala sekst-enam (chord IV ke vi minor). Maka hasilnya, ekspresi yang dimaksud puisi pun sampai di telinga, dan perasaan kita. Merinding? Mungkin. Keren? Iya. Itulah dua komposisi yang bisa kita ingat cukup kuat bentuk musikalnya.
Jadi, bahasan tersebut di atas, sebenarnya bisa kita bedakan antara capaian artistik dan estetik sebuah karya atau pertunjukan seni. Pertunjukan musikalisasi puisi karya Y.S. Agus Suseno malam itu memang belum memenuhi tuntutan artistik yang ideal, namun sekaligus menawarkan pesona estetik yang cukup bernilai. Soal ini berkaitan pada hal kedua yang bisa kita tuntut pada pertunjukan seni yang profesional. Hal pertama adalah materi pertunjukan yang sudah kita bahas di atas. Hal kedua yaitu persoalan manajemen atau tata-kelola karya/seni pertunjukannya. Beradasarkan pertunjukan malam itu, kita bisa bahas secara singkat persoalan ini sebagai penutup.
Kualitas tata-kelola pertunjukan musikalisasi malam itu sebenarnya bisa kita lihat dari kuantitas waktu persiapannya. Ya enam bulan, adalah waktu yang cukup baik. Nampaknya, Y.S. Agus Suseno sudah mantap mengonsep pertunjukannya secara baik. Mulai dari pemilihan materinya, pemilihan pemusik atau penyanyinya, publikasinya, hingga setting pertunjukannya.
Di antara semua itu, pertaruhan kualitas sebuah pertunjukan musikalisai puisi adalah pada proses pemilihan pemusik dan penyanyinya. Dan dari segala hal yang ada pada mereka, kita tahu bahwa pilihan sang konseptor sangat tepat. Merekalah yang mampu mensublimasi makna-gagasan puisi-puisi itu ke dalam ekspresi musikal yang jujur. Sajian obrolan curhat di tiap akhir kompoisi yang dibawakan adalah konsep penting secara estetik. Karena dari situlah jalan kita penonton untuk masuk ke pengalaman estetik para pemusik dan sang penyanyi, untuk menuju makna. Dan hasilnya, kita pun sampai di sana. Siapa duluan? Entah…@