Tidur terlalu larut malam dan bangun terlalu pagi itu membuat kepala berat sekali saat siang hari. Beruntungnya, cuaca siang di Ubud masih dalam konstelasi hangat. Gak sampe bikin leher mesti dilap pake selendang.

Saya membuka mata di ruang Taman Baca dengan tumpukan bantal-bantal besar dan rak-rak buku di sekelilingnya. Tidak ada yang saya kenal dan tidak ada yang kenal saya juga, karena di sekitar adalah wajah-wajah western dan asia. Mungkin Singapura, philiphine maybe, atau tiongkok? Whatever!

Beberapa orang lokal yang berlalu-lalang adalah mereka yang berkalung ID card volunteer. Saya bangun, duduk sesaat mengumpulkan nyawa. Pergi ke toilet untuk mencuci muka. Di satu sudut Taman Baca, Richard Oh dan Pratiwi Juliani (PJ) di bawah payung berdua dan berdiskusi. Saya pikir, mungkin sesekali mengganggu mereka gak papa juga, kali ya.

“Sakit kamu, Nda?” PJ bertanya.

“Flu, sih iya. Tapi sepele sekali. Ini Masih ngumpulin nyawa. Baru bangun tidur!”

Nice! Sempatkan istirahat, jangan sampai terlalu lelah sampai sakit di Bali,”

Betul juga. Bakal merepotkan banyak orang jika mesti sakit di Banua Urang. Kami bertiga di bawah payung. Ini adalah pertemuan ke sekian kalinya sejak Gala Premier, Writer Diner, serta screening filmnya Love is A Bird (2018) di Betelnut di sore sebelumnya. Sedari awal pertemuan PJ mempresentasikan saya kepada Richard Oh bahwa kami, sama-sama dari Tanah Banjar.

“Jadi, ini kain khas Banjar?” Tanya Richard Oh. Ketika saya memakai selendang panjang Al-Zahra dengan bordiran terompah sandal nabi di sana.

“Bukan, Om. Ini lebih akrab disebut Rida. Bahasa Arabnya selendang! Kalu kain khas Banjar itu Batik Sasirangan.”

“Jangan panggil Om, lah. Santai saja. Panggil Richard!”

Ok. Saya sarankan nanti pas dia ke Banjar jangan sebentar. Sempatkan beli kain sasirangan dan jalan-jalan ke beberapa tempat. Apalagi wilayahnya PJ, budaya Banjar kental sekali. Kesempatan untuk mengeksplor banyak hal. Memang agak jauh dari metropolitan, sih.

Entah suatu keperluan apa, PJ permisi dan mencari sesuatu di luar festival. Tanpa ada embel-embel wawancara saya berkesempatan ngobrol dengan Richard Oh.

Mengobrol perihal film dengan Richard Oh itu seperti membenturkan sains dan agama. Itu menurut saya saja. Mungkin sebagian penonton seperti kesulitan mencerna narasi yang ada pada beberapa film yang dia sutradarai.

Richard Oh saat berbicara atraktif sekali. Kayaknya hampir semua male director yang saya wawancarai begitu. Pada Ubud Writer & Readers Festival (UWRF)-18 ia menjadi speaker pada Main Program: Rewriting The Script, Jagadhita, Film Program Love is A Bird (2018), dan Special Event UWRF’s 15 th Birthday Brunch.

“Saya pikir sutradara siapa pun dia mesti menguasai teknis untuk memproduksi suatu film. Kesempatan membuat film di era sekarang jauh lebih besar dibandingkan 5 sampai 10 tahun yang lalu,” katanya sembari mengembuskan asap ke udara.

Meski kesempatan di era sekarang sangat terbuka, baginya masih sangat sedikit sekali filmmaker yang mampu mengeksplor ide dan subjek. Terkadang hal demikian menjadi alasannya untuk terus terobesesi mengeksplor karya melalui medium film.