TAHUN 1938, diplomat sekaligus penulis biografi Philippe Erlanger, kritikus film René Jeanne, dan Menteri Pendidikan dan Seni Nasional Jean Zay, datang ke Festival Film Venice memenuhi undangan pemerintah Italia. Akan tetapi harapan mereka tentang film bermutu yang bebas dari intervensi politik kekuasaan, ternyata jauh panggang dari api. Festival Film Venice tak lebih dari festival film yang bertekuklutut di bawah kaki fasisme Mussolini dengan memilih film Luciano Serra Pilota yang disutradarai Goffredo Alessandrini dan dibintangi oleh Amedeo Nazzari, Germana Paolieri, dan Roberto Villa, sebagai pemenang.
Sepulang dari Italia, bersama kritikus Émile Vuillermoz dan René Jeanne, Philippe Erlanger meminta persetujuan Jean Zay untuk membuat festival yang murni dan bebas dari intervensi pemerintah maupun propaganda politik sebagaimana yang terjadi pada Festival Film di Venice itu. Gayung bersambut. Zay yang sejak lama geram dengan fasisme Italia, seketika itu juga memberikan persetujuannya. 1 September 1939 dipilih sebagai waktu pelaksaan. Akan tetapi sayangnya, festival tandingan dengan nama Le Festival International du Film itu terpaksa bubar setelah film pertama, Quasimodo garapan sutradara William Dieterle diputar, karena pada waktu bersamaan, Jerman menginvasi Polandia.
Le Festival International du Film baru benar-benar terlaksana pada 20 September 1946 setelah Perang Dunia II berakhir, dan menempatkan film-film seperti Rome, Open City karya Roberto Rossellini hingga Notorious garapan Alfred Hitchcock secara terhormat sebagai film-film dengan capaian yang benar-benar dinilai berdasarkan sinematografi.
1959, situasi berubah. Menteri Kebudayaan Perancis André Malraux yang gila komersialisasi menyerukan pembentukan ‘pasar film internasional.’ Para pekerja industri film dikumpulkan, jaringan diperluas, kepentingan produser diutamakan. Klimaksnya, kepala Cinematheque Francaise, Henri Langlois yang idealis, dipecat. Beruntung para seniman film yang masih waras tak putus asa dengan kenyataan pahit itu. Mereka tetap bekerja. Bahkan eksperimen-eksperimen sinematik dengan basis kesusastraan yang kemudian dinamakan French New Wave pun lahir dan menjadi penanda generasi baru pembuat film yang mengubah wajah perfilman Perancis. François Truffaut, Jean-Luc Godard, adalah dua nama yang bisa disebut dari sederet nama yang menghasilkan karya yang kental akan nuansa pencarian gaya realis dan dianggap mampu mengartikulasikan kegelisahan sosial dan politik masa itu.
Mei 1968, situasi di negara-negara Eropa Timur dan Barat yang penuh dengan protes terhadap kediktatoran dan birokratisme partai, juga terjadi di Perancis. Pemerintahan konservatif Charles de Gaulle yang tak pro-rakyat, kapitalisme yang merajalela, hingga Perang Vietnam, benar-benar membuat rakyat Perancis marah. Jutaan buruh dan puluhan ribu mahasiswa Sorbonne turun ke jalan. Bentrok dengan aparat tak terhindarkan. Korban berjatuhan.
Ketakutan akan pertumpahan darah, ancaman perang sipil, ditambah pertikaian berkepanjangan antara faksi kiri dan kanan, tentu saja berdampak pada hajatan Cannes. Atas nama solidaritas kepada demonstran, sekelompok pekerja yang terdiri dari Truffaut, Godard, Claude Berri, Claude Lelouch, Louis Malle, dll, meminta agar Festival Cannes ke-21 yang dijadwalkan pada 10 sampai 24 Mei, dibatalkan. Namun pihak penyelenggara festival tetap bergeming. Direktur Cannes, Robert Favre Le Bret, dengan dalih bahwa banyak produser dari luar Perancis yang akan hadir, festival harus terus berlangsung. Truffaut dan kawan-kawan, murka. Menurut laporan Bilge Ebiri dalam The Day They Canceled Cannes (2018), pada 18 Mei, manakala Peppermint Frappe diputar, Truffaut dan kawan-kawan memaksa menghentikan jalannya film. Adu fisik terjadi. Alih-alih menjadi ajang apresiasi, Cannes berubah menjadi arena tawuran.
Untungnya perkelahian massal itu tak sampai berlanjut saling bunuh. Pihak demontran dan festival bertemu dan disepakati; festival dibatalkan. Dari 28 film yang rencananya akan diputar, hanya 11 yang bisa ditayangkan.
“Saya sadar, banyak orang akan mencela kami tentang peristiwa di Cannes itu,” tutur Truffaut. “Tetapi saya juga tahu, bahwa hari-hari berikutnya, ketika tak ada pesawat, kereta api, rokok, layanan telepon, dan bahan bakar, festival akan dianggap sebagai cemoohan yang luar biasa jika terus dilanjutkan.”
Setelah peristiwa itu, Festival Cannes mengalami banyak perubahan. Langlois mendapatkan kembali pekerjaannya. Center du Cinema Francaise menjadi lebih terbuka, Societe des Realisateurs de Film yang ditujukan untuk melindungi kepentingan para pembuat film, didirikan. Dan mulai tahun 1969, Cannes memiliki Quinzaine des Réalisateurs (Directors’ Fortnight), sebuah festival paralel di samping Cannes yang bebas dan independen.@