AKU bangun begitu sinar matahari terasa menyengat wajahku. Kepalaku pening dan pelipis kanan berkedut nyeri. Aku tidak leluasa menggerakkan tubuh. Rupanya kaki dan tanganku terikat di kaki dan tangan kursi tempatku duduk. Dengan pandangan yang masih kabur, mataku menjelajah sekeliling hingga berhenti pada wajah seorang pria. Wajahnya terlihat mengerikan: mulai dari pelipis kiri sampai pipinya dipenuhi bekas luka bakar. Sorot matanya tajam dan jauh dari kesan bersahabat. Dari penampilannya, ia terlihat seperti seorang prajurit atau setidaknya bekas prajurit. Namun, aku tidak tahu ia dari pihak yang mana, apakah dia oposisi atau penguasa? Seragam yang dikenakannya berbeda dengan kedua pihak yang sedang berperang.
“Siapa kamu?” tanya suara yang sangat kukenal. Itu Erik!
Kuperhatikan Erik juga duduk terikat seperti diriku. Rupanya ia juga tertangkap. Pria ini membuat kami duduk berhadap-hadapan, dengan sebuah meja tua berwarna coklat berukuran 2×3 meter berada di antara kami. Pria dengan luka bakar itu kemudian mengambil sebuah Revolver berkaliber 44 dari pinggangnya. Dikeluarkannya keenam pelurunya dari tabung, lalu dilemparkannya keenam peluru itu ke meja.
“Tidakkah kalian bosan melihat perang?” tanya pria itu. “Ayo kita mainkan sebuah permainan. Salah satu dari kalian akan kubiarkan keluar dari tempat ini hidup-hidup.”
Aku mencoba memahami situasiku, menebak-nebak permainan apa yang dimaksudnya. Melihat situasi kami, aku mengerti ia hendak memaksa kami bermain Russian Roulette. Ia membuka ikatan tali di tangan kananku dan ikatan tali di tangan kiri Erik. Kupandangi wajah Erik yang berubah pucat. Ketakutan menggeliat dari wajahnya. Mungkin seperti itu juga wajahku di matanya.
“Akan kuberi satu kesempatan dan biarkan roda nasib yang menentukan.”
Setelah mengatakan itu, ia memasukkan sebutir peluru, lalu memutar tabung revolver. Benar tebakanku, ia hendak memaksa kami bermain Russian Roulette.
“Tidak—tidak. Akan kurang seru jika kalian hanya menembak kepala kalian dan menunggu nasib. Akan kubuat permainan menjadi lebih seru. Akan kuberi kalian pilihan: tembak kepala kalian atau tembak kepala orang di depan kalian. Bagaimana, aku baik kan?”
Senyum mengerikan tersungging di bibirnya. Orang ini tidak waras.
Ia kemudian memberikan revolver itu kepada Erik. Kuperhatikan tangan Erik bergetar saat menerimanya. Sekelebat rasa takut memenuhi pikiranku ketika revolver itu berada di tangan Erik. Aku takut Erik akan mengarahkan pistolnya kepadaku. Kuingat kemarin kami bertengkar hebat memperdebatkan apakah sebaiknya terus masuk ke hutan atau kembali. Aku ingin kembali karena merasa kami telah terlalu jauh masuk ke wilayah yang tak dikenal, tapi Erik memaksaku untuk terus masuk lebih dalam mencari apa yang tersisa dari perang.
“Aku tidak percaya. Kamu tetap akan membunuh kami setelah ini,” teriak Erik. Suaranya tidak selantang tadi.
“Tenang saja. Aku orang yang bisa dipegang omongannya.”
“Aku mohon biarkan kami hidup. Kami tidak akan mengganggumu lagi,” bujukku.
“Kalian pikir kalian bisa masuk ke rumah orang, memakan makanannya, mencuri persediaannya, kemudian pergi begitu saja?”
“Aku pikir rumah ini kosong,” balas Erik.
Erik tidak berbohong, kami berdua berpikir rumah ini kosong. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah ini. Terlihat dari debu-debu tebal yang menyelimutinya. Perang yang berlarut-larut membuat orang-orang menghindar ke selatan, menjauhi zona merah. Karenanya, ketika kami menemukan persediaan makanan, kami yakin ini adalah sisa-sisa yang tak sempat dibawa para pengungsi. Kami tak menyangka masih ada orang yang tinggal di sini.
“Kami ini orang baik-baik. Kami janji tidak akan kembali ke sini,” kataku mengiba.
“Tidak ada orang baik-baik yang tersisa di dunia ini. Hanya ada pencuri dan pembunuh. Orang baik tidak akan bertahan.”
Aku tidak tahu harus membalas apa.
“Kami datang bersama lebih dari 20 orang. Mereka akan mencari kami, dan jika mereka tahu kamu yang melakukannya, kamu tidak akan selamat,” kata Erik mengancam.
Sialan! Erik betul-betul bodoh. Bagaimana kalau orang ini tahu bahwa apa yang dikatakannya hanya bualan? Lagi pula orang gila tak pernah takut pada ancaman. Aku jadi makin kesal dengan Erik. Jika bukan karenanya aku tidak akan berada di tempat sialan ini. Seandainya saja saat itu Erik tidak keras kepala, memaksakan diri untuk terus lanjut masuk lebih dalam, kami mungkin tak akan bertemu dengan bajingan ini.
“Kamu mengancamku?” tanya pria itu. Matanya melotot dan kulihat rahangnya mengeras. “Sebaiknya kamu tidak mengancam pria yang memegang senapan.” Ia menodongkan moncong senapannya hingga menyentuh pelipis Erik.
“Ayo lakukan!” teriaknya. “Jika kamu tidak lakukan aku akan menembak kepalamu, lalu menembak kepala adikmu.”
Kulihat mata Erik berkaca-kaca diterpa sinar matahari yang masuk lewat sela kaca jendela yang pecah.
“Kumohon lepaskan kami. Kami tidak bermaksud buruk. Kami akan mengganti apa yang kami ambil, kami akan menggantinya sepuluh kali lipat,” kataku mengiba. Pikiranku dipenuhi gambaran kematian. Aku benar-benar takut Erik akan mengarahkan moncong revolver itu ke arahku untuk menyelamatkan dirinya.
Erik menelan ludah. Lalu ia berteriak keras saat menekan pelatuknya. Klik! Bunyi pistol itu pertanda pelurunya kosong.
“Kamu selamat,” kata pria gila itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku menarik napas lega. Aku tak tahu kenapa aku menarik nafas lega, padahal sekarang giliranku berjudi dengan maut.
Pria gila itu mengambil revolver dari tangan Erik dan memberikannya kepadaku. Revolver itu terasa sangat berat dalam genggamanku.