Ketika media sosial menjelma halaman duka dan angka kematian berhasil lebih tinggi dari jumlah kelahiran rata-rata harian, maka kemuskilan akan alamat akhirat semakin ritmis tertuju. Saya masygul dengan habitus baru. Menerima akselerasi kebiasaan, mengadaptasi tsunami informasi yang tumpang tindih.

Pandemi covid-19 menjelma lonceng jarak yang bunyinya melengking. Virus tersebut tidak saja menjadi preskripsi muasal–gebalau tetapi tabir kefanaan yang nyata.  Saya membacanya sebagai takzim Tuhan kepada penghuni bumi. Tuhan menitipkan virus untuk manusia merenung. Menyuruh berjarak dengan kolega, menjauhi euforia perkumpulan di tanah lapang, membatasi akses pertemuan, menunda perjalanan.

Tatkala bumi memperbaiki dirinya dengan ketandangan virus, manusia berduka sungkawa memetik kesuraman yang serasa berpihak dan kata-kata menjadi temu sekaligus pengikat. Maka puisi terpilih menjadi giat pandemi terbatas yang dimasuki lewat pintu buku, ritual baca, dan penyeka lara sementara.

Antologi Puisi

Beberapa hari yang lalu, buku Jaga Jarak Puisi yang diinisiasi UPT Bahasa Universitas Lambung Mangkurat mendarat di Prasasti 03, Lokut. Saya bergeming, sambil mendaras 35 nama penulis yang bermastautin di banua. Maha Kreatif Tuhan dengan segala kehendakNya. Ia bebas menciptakan suasana batin manusia, menggerakkan tangan pesyair. Melonggarkan kata-kata, lalu melompat dari pikiran dan menjelma diksi. Dialah yang menyukakan saya, kamu, dan mereka dengan puisi.

Apakah Tuhan sedang ingin bermanja dan menjaga?

Aan Setiawan menglasterkan puisi menjadi tuah alamat kata. Pandemi menjadi pelajaran gelombang hidup, sementara bibir tak mampu terbaca mengadaptasi klaster penyebaran diksi dan air mata. Saya terharu.

Ali Syamsudin Arsi menggelorakan mahabupua (mahadang buka puasa alias tunggu buka puasa) menjejal jarak yang tandang sebagai keindahan sementara puisi membentangkan lengan memelukmu dari kejauhan. Saya ikut tersenyum karena sadar tak pernah punya apa-apa di dunia ini.

Anugrah Gio Pratama menyampaikan kabar-kabar pahit, membiarkan kerinduan berkarat. Manusia bernapas ke koridor waktu. Namun benarkah semesta berduka? Atau sedang bahagia? Alam memperbaiki dirinya menuju pengaturan awal. Saya sama sekali tidak sedih, karena pandemi mengenalkan cinta kepada pencarian yang saya tak cari.

Andi Jamaluddin, AR. AK memulangkan ingatan untuk pulang ke rumah. Tentang alarm waktu yang silih, bukankah pulang adalah tuju yang pasti dilewati karena epitaf hidup yang tak terbantahkan? Saya belum mampu memfitrahkan diri ke dalam jiwa.

Ariffin Noor Hasby membayangkan mall menjelma rumah sakit. Sementara orang-orang tak peduli pada tangisan para dokter, teriakan penggali kubur. Manusia menjadi masker, menempatkan batu nisan dalam kebingungan, menyaksikan skenario Tuhan. Saya mengakhiri tangisan terakhir jauh sebelum pandemi tandang, al fatihah untuk semua yang wafat di jalan covid-19.

Asmi Rusmanayanti apa yang tandang akan menemui akhir. Adakah yang lebih dekat dari suara Tuhan yang berbisik dalam alir darahmu? Ya Tuhan, engkau maha. Saya tak mampu mengucap bila kata-kataMu tak luruh untuk diucap.

Aulia Novitasari mengapa kau mencari telinga Tuhan? Mengaitkan pendosa ke dalam belanga derita? Sementara doa tetap kau kepal dalam segala suasana. Saya akan sembuh pada waktunya, karena orang yang pernah patah tahu cara menaklukan rasa.

Facebook Comments