SENANDIKA PIPA SI TUA

sayang, tak ada yang memintamu
jadi tokoh utama di atas panggung
yang telah bertahun kehilangan penonton
dan lakon berkualitas tentang tata cara
bertahan muda menjadi seekor manusia.

anggap ini monolog dan kau bersenandika
bagai pipa milik seorang duda tua,
mengepulkan cerita terulang atau ajaran lapuk
tentang kemenangan naïf yang itu-itu sajaa.

kukatakan,
lampu sorot tak pernah lagi mereka nyalakan.
kau berlakon bagai aktor linglung: melantangkan
ajaran berlari buta. lampu sorot tak pernah lagi dinyalakan.
kau bertahan larung, mengobrak-abrik bayangan sendiri
dalam gelap.

pada telinga milik siapa?

Banjarmasin, Juni 2021


JALAN PULANG

malam menyempitkan spasi jam-jam
yang kusimpan. jalan lengang kehilangan
pengendara. apa yang kau tahu tentang kematian?
usia juang gamang di lampu jalan, ancaman
yang rekah pada untitan angin.

jangan bergidik! pacu roda dan sisa nyali.
halusinasi hanya kilas citra belati dari ruang
empat dimensi. lututmu berdarah,
jangan berlari! sebuah rumah tak dibangun
untuk menampung kepulangan amarah.

jam matahari lebih tahu bagaimana
memaklumi terang yang susut
dari langit yang berhenti menghitung
jumlah kepala terpenggal
di karung goni Izroil.

tetap memungut bercak umpat di wajah
atau mangkat tanpa kata-kata terajah?
obituari ampas kopi atau elegi pagi
tanpa mentari?

kawan, kita mengatur sendiri-sendiri
gerak api pada lilin yang meraba
sudut-sudut halus kepicikan
nubuat palsu.

ada yang berjalan. menggemakan suara
langkah basah dari bencah rahasia di lorong
yang memanjangkan titik epifani serta jingkat
keacuhan di koridor dengan pintu-pintu
yang mengasingkan diri menahun
dari hangat telapak kaki siapapun.

siapa bertandang, mengetuk tuts piano
dengan kencang dan berulang—E minor
sepanjang percakapan duniawi?

angin ingin pulang, mengendap pada serat-serat
selimut yang tak menyerap jam tidurku.
jangan sampaikan lagi wawasan-wawasan uzur.

ada yang ingin menua, tapi tak ingin
berlari sendiri lagi. ada yang ingin menua,
tapi tak ingin dibuntuti suara hujan lagi

matikan sisa cahaya hari ini.
ada kartu yang perlu disingkap
tafsir gegambarnya.

Banjarmasin, 27 Agustus 2020

Artikel sebelumnyaSAAT AKU GIGIL MEMBACA TUBUH SENDIRI #1
Artikel berikutnyaCOGAH; 28 TAHUN DARI NEGERI POCI
Muhammad Irwan Alrialdy
Lahir di Banjarmasin, 28 April 1995. Menulis puisi, naskah drama, dan cerpen. Karya-karyanya telah dimuat pada Mata Banua, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Majalah Online Simalaba, Sastra Banaranmedia, dan Media Kalimantan. Antologi puisi bersamanya Balian Jazirah Anak Ladang (2011), Kisah Tak Sudah Tanah Banjar (2012), Kepak Sayap Sastra Banua bagi Kemanusiaan (2013), Tadarus Rembulan (2013), Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014), Pena: Selaksa Kata (2015), Ije Jela (2016), Melankolia Surat Kematian (2016), antologi Aruh Sastra XIV (2017), antologi Tadarus Puisi Membumikan Langit (2018), dan Sihir Baru Sebuah Kota (2021).