PERFILMAN di Kalimantan Selatan tampaknya semakin menggeliat. Dibuktikan dengan hadirnya sejumlah film (pendek maupun panjang) yang kini sudah bisa dinikmati. Terbaru, salah satunya adalah film Samamah, yang diproduksi oleh Alemo Film, dengan sejumlah pendukung: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kalsel, dan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Kalsel.
Bertempat di Studio Sastro Harjo lantai 2 RRI Banjarmasin, film Samamah diputar perdana secara umum, disertai diskusi dengan menghadirkan Berry Nahdian Forqan (tokoh muda), Nanik Hayati (jurnalis CNN) Anjar Wulandari (Banjarmasin Post), dan Munir Sadikin (filmaker), Jumat (28/4/2023) pukul 15.30 Wita.
Film berdurasi sekitar satu jam ini menghadirkan sebuah drama keluarga yang terdiri dari dua etnis; Tionghoa dan Banjar.
Dibuka dengan pernikahan Aliong (Tionghoa) dan Maymunah (Banjar), yang keduanya masing-masing telah memiliki seorang putra, cerita kemudian langsung melompat dengan menampilkan sosok remaja Ahong putra Aliong, dan Anang putra Maymunah. Sementara Aliong telah wafat akibat stroke.
Hampir sepanjang film menampilkan ketidakcocokan antara Ahong dan Anang. Mereka sering bertengkar, entah soal pemakaian sepeda motor, terutama kala ibu mereka dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung– dan inilah sebenarnya pokok utama cerita dari film yang sutradarai oleh Ade Hidayat dan penulis skrip Agung Aritanto ini.
Maymunah yang sakit ini kemudian menimbulkan kesadaran Ahong dan Anang untuk sama-sama merawat ibu mereka. Ahong yang hobi fotografer mencoba mencari pekerjaan, dan ia terpaksa harus menjadi tukang potret seorang calon gubernur yang terlibat korupsi. Sementara Anang melanjutkan usaha ibunya berjualan kue, kendati dia terpaksa harus tidak masuk sekolah.
Setelah sang ibu keluar dari rumah sakit, hubungan Ahong dan Anang semakin baik. Ibu mereka yang telah lama mengharapkan kedua anaknya akur, merasa senang. Bahkan mereka bertiga menyempatkan jalan-jalan menyusuri Sungai Martapura.
Kisah akhirnya ditutup dengan wafatnya sang ibu. Seolah sang ibu merasa tenang meninggalkan kedua anaknya, karena telah rukun.
Memasuki sesi diskusi yang dipandu Noorhalis Majid, sebagian besar mengapresiasi film karya anak muda banua ini.
“Film ini menunjukkan bahwa meski ada perbedaan, terutama dalam hal etnis dan agama, namun akhirnya tetap bisa rukun. Dan itu disatukan oleh cinta, cinta sang ibu,” ujar Nanik.