Hairus Salim HS; Pembuka Pintu Nostalgia Santri Al-Falah(1)

Pada hari Kamis, 18 Mei 2023, di sela jam mengajar di Darus-Sunnah, saya menyimak siaran langsung diskusi buku “Kitab, Buku, Sepakbola; Kenangan Seorang Santri Wangal” yang ditayangkan di kanal youtube Al-Falah Banjarbaru TV.(2)

Pemateri yang hadir merupakan sosok alumni inspiratif bagi para santri, di antaranya, Prof. Dr. Mujiburrahman, MA, kini menjabat sebagai Rektor UIN Antasari Banjarmasin. Dr. rer.soc, Masduki, dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia. Dan tentu saja, penulis buku, Hairus Salim HS, yang kini diamanahi menjadi Ketua Lakpesdam NU Yogyakarta masa bakti 2022—2027.

Yang membanggakan, tentu saja, ketiganya lahir dari “rahim” Al-Falah yang kini berusia 48 tahun.

Meski tahu tidak dapat hadir, saya merasa senang sekali ketika pertama kali mengetahui acara diskusi ini akan digelar di Al-Falah. Buku ini sangat layak, bahkan harus dibincangkan demi merangsang kesadaran ihwal pentingnya kegiatan membaca, menulis, dan produktif berkarya di kalangan santri.

Acara pun dimulai. Dimoderatori oleh guru kami, Ustaz Ramli, acara diawali sambutan yang diwakili oleh Ustaz Sibawaihi. Kemudian, kesempatan berbicara diberikan kepada Hairus Salim HS.

Hairus Salim HS

Beliau membuka dengan mewartakan berapa lama beliau beserta sesama rekannya dahulu menempuh pendidikan selama di Al-Falah. Ada yang purna hingga 7 tahun, 6 tahun, bahkan hanya 5 tahun. Beberapa santri yang memiliki kemampuan kognitif mumpuni berhak mendapatkan kesempatan akselerasi—keluarga Al-Falah lebih familiar menyebutnya: jamping. Kata ini, dalam ilmu semantik, disebut dengan Tauriyah.(3)

Makna pertama, jamping sebagai akselerasi ke jenjang kelas berikutnya. Makna kedua, sebagaimana satire dalam penuturannya, jamping adalah kebiasaan santri lompat pagar atau kabur.

Ada banyak forum seminar maupun diskusi yang telah dihadirinya, namun di kesempatan itu beliau menyampaikan bahwa kehadirannya di hadapan santri Al-Falah merupakan salah satu forum paling membahagiakan baginya.

Diskusi berjalan menarik, penuh canda. Pak Mujib mengawali dengan kisah bagaimana antusiasnya beliau ketika dikirimkan draf pertama naskah buku ini dan diminta untuk menuliskan kata pengantar. Beliau juga menambahkan beberapa cerita yang tidak sempat dikisahkan oleh penulis di dalam buku. Selain itu, salah satu bagian terpenting bagi saya adalah kisah percakapan antara beliau dengan Almarhum Ustaz Drs. Hasbullah Bakri, sewaktu beliau masih mengajar di STAI Al-Falah, mengenai wacana penyusunan secara lengkap manakib Mualim Muhammad Sani yang urung tercapai.

Lain halnya dengan Pak Masduki, berdasarkan pengakuannya, kurang lebih sudah 10 tahun tidak lagi berkunjung ke Al-Falah. Beliau bernostalgia di beberapa area dan banyak terkesima dengan pembangunan Al-Falah yang semakin megah hingga hari ini. Fenomena Hibrida, menjadi pembahasan utama yang beliau paparkan secara detail, bagaimana sejatinya dalam diri seorang penulis seperti Hairus Salim HS memiliki dua karakter yang berbeda namun beriringan di dalam tubuh yang sama.

Di penghujung sesi diskusi, Ustaz Rusdian Malik, salah seorang pengajar favorit para santri dengan kepribadiannya yang nyentrik—kemahirannya menulis hal sensasional dan menggambar sungguh ciamik—memberikan sedikit kesan dan tanggapan. Beliau menyoroti penggunaan kata ‘wangal’ dalam buku ini. Wangal tidak selalu berkonotasi negatif, melainkan semacam penyaluran energi santri dalam beragam cara. Sejatinya, setiap santri berwatak ‘wangal’. Hanya saja, kadarnya yang berbeda-beda. Selain itu, Beliau juga mengutarakan keinginan untuk mengisi kekosongan kronik santri Al-Falah pada akhir tahun 90-an.

Sepanjang acara, senyum dan tawa tidak henti terpancar dari wajah ketiga pemateri beserta para santri. Cerita demi cerita mengalir begitu saja, mengenang kembali keluguan dan peristiwa lucu masa silam.

***

Setidaknya perjumpaan saya dengan Ka Salim—begitu beliau kerap disapa, terjadi dua kali: Pertama, di pertengahan tahun 2012. Saat itu, beliau datang tidak semeriah acara diskusi kemarin. Ustaz Sailillah yang mengantarnya ke lantai 2 kantor. Kami, santri kelas aliyah diminta untuk hadir. Acara itu terkesan dadakan; tanpa spanduk atau pamflet acara, tanpa kudapan yang memadai, juga tanpa pengeras suara.

Ka Salim memberikan dawuh kepada kami agar menjadi penulis. Beliau pun mempresentasikan secara singkat buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul “Matilda, Lelaki Izrail, dan Seorang Perempuan di Masjid Kami”.(4) Buku tersebut sebetulnya akan diedarkan dan dijual di toko kitab Al-Falah. Namun, pada kesempatan itu, saya menperoleh buku kumpulan cerpen tersebut dengan barter antologi puisi “Teriakan Bisu”(5) dari saya dan dua kawan lain, Zian Armie Wahyufi dan M. Anshar, yang diterbitkan tahun itu.

Buku kumpulan cerpen itu, sampai hari ini, masih tersimpan di lemari buku saya.
Perjumpaan kedua terjadi pada akhir tahun 2015 dalam sebuah acara diskusi dan perhelatan pameran lukisan Misbach Tamrin bertema ‘Arus Balik’ di Galeri Nasional Jakarta. Pada acara tersebut, Ka Salim menjadi salah satu pembicara mewakili Penerbit Gading yang beliau inisiasi. Saya kala itu masih menjadi mahasiswa semester 5 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bersama sejawat saya, seorang dokter muda, dr. Iqbal Syauqi, kami menumpangi Kopaja jurusan Lebak Bulus—Gambir untuk menghadiri acara tersebut.
Seusai acara, saya menghampirinya dan memperkenalkan diri. Barangkali beliau lupa, sebab begitu banyak peserta diskusi yang mengajaknya berbincang. Tetapi, satu hal yang melekat di ingatan saya, dengan dialek khas hulu sungai utara “Kita ni ya kaya ini pang sudah, ding, ai. Bulik ka Banjar kada kawa diciumi tangan bulak-balik lamun kada bagamis wan babulang ganal,” ucapnya.

Sebuah satire menohok yang membuat saya merenung sepanjang jalan pulang.

Kendati saya tidak pernah lagi menjumpainya setelah itu, saya mengamatinya dari kejauhan melalui media sosial. Dalam skena diskusi sastra dan budaya di Yogyakarta, nama Ka Salim bukan hal yang asing. Ia kerap mengisi di berbagai perhelatan ternama dan hidup di rantauan dari hasil menulis dan meneliti.

Kini, saya kembali dipertemukan dengan Ka Salim dalam bentuk lain: Buku. Saya merasa lebih intens mengenalnya melalui kisah-kisah yang dituturkan dalam buku tersebut. Saya membayangkan bagaimana kondisi Al-Falah di era tahun 80-an, tahun di mana awal Al-Falah berdiri. Dan secara spesifik, saya ingin merespons dan membagikan cerita yang barangkali belum pernah tercatat pada masa-masa setelahnya.@

1 Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut Haul KH. Muhammad Sani ke-38 dan acara Diskusi Buku “Kitab, Buku,
Sepakbola; Kenangan Seorang Santri Wangal” yang dilaksanakan Sabtu, 30 Juli 2023, di Pondok Pesantren Al-Falah.
2 https://www.youtube.com/watch?v=fltLbQKGBy4
3 Tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna sekaligus: pertama, makna dekat dan jelas
yang tidak dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan inilah yang dimaksud pembicara. [Al-Balagah Al-Wadihah].
4 Diterbitkan oleh Penerbit Gading, Yogyakarta, cetakan pertama tahun 2012. Berisikan 14 cerpen yang secara umum bertemakan sosial, etnografis, dan budaya lokal. Buku ini menjadi kumcer pertama yang dipublikasikan dan diterbitkan oleh Hairus Salim.
5 Diterbitkan oleh Penerbit Tahura Media, cetakan pertama tahun 2011. Berisikan 60 puisi karya santri Al-Falah (masing-masing penulis 20 puisi) yang pernah dimuat di media cetak lokal seperti Banjarmasin Post, Media Kalimantan, dan Radar Banjarmasin.

Facebook Comments