(Peringatan Penulis: Membaca tulisan ini dapat menyebabkan nganu, kebingungan dan ketidaksantaian. Utamanya jika membaca tanpa didahului atau besamaan menonton video sajian yang dibahas dalam tulisan.)
Sesungguhnya kata-kata memiliki nyawa sendiri dalam kedudukannya. Alunan melodi mengikat rasa yang terlahir dari rahim puisi. “SastraChestra” adalah sajian pertunjukkan seni sastra yang dibalut dengan musik orkestra. Di mana musik akan memvisualkan yang tidak mampu tervisualkan hanya dengan kata-kata.
Begitulah deskripsi yang nampaknya mau menjelaskan apa itu “sastrachestra”, yang saya kutip dari Youtube Channel OBO Music Banjarbaru. Ada yang kontradiktif di situ, tapi yang lebih berarti adalah “sastrachestra” (selanjutnya saya tulis “sastrakestra”) nampak digagas untuk memaksimalkan makna tertentu dari sastra, melalui bantuan musik orkestra. Meskipun visi ini bukan sesuatu yang mustahil tapi jelas sebuah tugas amat berat bagi musik, yang maunya orkestra. Berhasilkah visi sastrakestra itu? Sejauh mana impotensi kata-kata (sastra) diselesai-visualkan oleh melodi (musik)? Seberapa orkestratifkah sajiannya? Tulisan ini adalah apresiasi (kritik) saya atas sajian sastrakestra yang telah tayang dan saya simak di laman Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=Uc9DMcBlwcY.
Memang, setiap pilihan bentuk dari isi-wacana karya artistik (seni) modern yang dihasilkan oleh tiap-tiap seniman, akan mengandaikan semacam karakteristik serta identitas estetiknya. Seorang musikus (komponis, pencipta lagu, arranger) yang berkarya, seluruhnya tak akan keluar dari semesta bidang musik. Seorang cerpenis akan berdiri di atas tumpuan kesastraannya. Pun seorang pelukis, akan menciptakan lukisannya dalam kerangka estetika seni rupa. Tiap-tiap bentuk seni memang memiliki pijakan estetikanya sendiri. Itulah esensi makna dari pernyataan: kata-kata (puisi atau sastra) memiliki nyawa sendiri dalam kedudukannya. Melalui hal ini, bagaimana nasibnya jika (makna dalam) suatu karya sastra dicampuri atau dimodifikasi oleh bentuk lain seperti musik pada sastrakestra? Apakah kerja ini adalah langkah inovatif lagi produktif? Atau malah destruktif dan kontraproduktif? Sederhananya, apakah usaha kreatif sastrakestra ini memperkaya makna sastra atau malah menghancurkannya?
Meskipun sastrakestra ini dimaksudkan sebagai sajian pertunjukan seni sastra, namun saya kira lebih tepat disebut tayangan atau sajian sinematik musikalisasi sastra. Demikian karena musik dan sastra sebagai dwimatra bahan karya, dibawa pada bentuk sinematografi. Sastrakestra sama sekali tidak mementaskan bahan itu secara live di panggung Balairung Sari (Taman Budaya Prov. Kalimantan Selatan). Bahan sastrakestra pun secara kreatif dikerjakan di balik panggung, tatasuaranya diolah di studio rekaman. Jadi, aktivitas kreatif (realitas) pertunjukan dalam setting pemangggungan memang tak aktual. Di panggung, kenyataannya hanyalah sesi video shot belaka. Dengan demikian gugurlah ia sebagai sajian pertunjukan. Lantas kenapa sastrakestra itu musikalisasi, bukan orkestra sastra? Soal ini akan saya singgung di akhir tulisan.
Sastrakestra jelas-jelas bukan karya pertunjukan seni, namun pada bentuk bahan dan sajian sinematiknya tetap menawarkan kreativitas artistik serta estetiknya. Pertaruhan utama apakah karya seni itu berhasil atau tidak adalah pada sejauh mana bentuk yang berisi, dapat menggugah rasa estetis kita. Gugahan persepsi ini tentulah menempuh perjalanan persepsi yang berlapis, mulai dari cerapan inderawi, rangsangan emosi, gerak imajinasi, hingga refleksi. Pada lapisan awalnya yang kita lihat-dengar, sastrakestra menyajikan musik berisi sastra. Dari seluruh sajiannya, bentuk pokoknya ada pada enam karya yang isinya digarap dari buku sastra Aghh (2020). Keenamnya menunjuk pada lima teks puisi (“Di Kandungmu”, “Rindu”, “Ibu Wujud Kata-kata Tiada Korupsi Mengasuh Kemanusiaan”, “Genesis Mimesis”, “Kekasih 8”) dan satu esai berjudul “Fenomena Haji di Lantai Diskotik”.
Sebelum pokok sajiannya, sastrakestra diawali dengan secamam prolog. Yakni puisi berjudul “Puisi Selembar Kertas” yang dibacakan oleh penyairnya sendiri, HE. Benyamine (Bang Ben). Suara Bang Ben ini melatari visual logo-logo penyelenggara (Kemendikbud & Taman Budaya Kalimantan Selatan) serta visual nama-nama penyaji. Nampaknya “Selembar Kertas” ini menjadi pemandu kita untuk mengintip apa-bagaimana isi sastrakestra. Kebagaimanaan itu pun langusng dijawab pada komposisi musikal “Rhytm of Pancawarna” yang hadir setelah suara Bang Ben melenyap.
Selama kurang-lebih dua menit, bentuk komposisi “Rhytm of Pancawarna” yang cukup orkestratif nampaknya diusahakan menjadi citraan keseluruhan sastrakestra. Dibuka dengan bunyi motif melodi strings section (instrument gesek) yang lincah serta ditopang kuatnya irama staccato membuat komposisi ini cukup kuat. Lalu legato (melodi panjang) dari instrumen flute block yang menarik harmoni mayor seluruh instrumen secara tutti (bersama) menuju bunyian brass section (intrumen tiup). Pilihan brass section sebagai melodi utama (cantus firmus) yang dilatari motif melodi strings section dan perkusinya (glockenspiel?) sangat kuat menggambarkan suasana pembuka sajian musikal yang optimis. Kita pun dibuat seperti menyaksikan derap iring-iringan gajah beserta ribuan prajurit perkasa yang berangkat ke medan perang! Kekuatan komposisi sajian pembuka ini pun diselesaikan dengan penebalan artikulatif yang apik, melalui choir (paduan suara) dalam melagukan teks: jalinan melodi mengikat rasaku yang terlahir dari rahim puisi. Dari sajian pembukaan sini, barulah kita beranjak memasuki pokok sajian sastrakestra.
Sastrakestra adalah kesatuan sajian sinametik, yang terdiri dari lima bentuk musikalisasi puisi, serta satu bentuk musikalisasi esai berbentuk monolog. Seluruhnya menjadi keutuhan karena dibentuk dalam satu ruang dan waktu yang tidak terpisah.
Sejak bentuk yang pertama, yakni musikalisasi puisi “Di Kandungan” hingga yang terakhir pada bentuk musikalisasi puisi “Kekasih”, semuanya ditempatkan pada bangunan musikal yang sebangun. Bahwa ada dinamika musikal yang disusun kontras atau terdapat jeda di dalamnya, hal itu adalah konsekuensi struktur bangunan estetiknya, untuk menunjukkan peralihan antara keenam bentuk pembangunnya. Mari kita ulas bagaimana bengunan estetik yang dimaksud.
Pada bentuk pertama, puisi “Di Kandungmu” dibacakan sendiri oleh penyairnya, Mika August. Musikalisasi digarap cukup proporsional dan relevan dengan suasana makna puisi yang spiritual dan nostalgis, tentang kesadaran religius sang anak terhadap tulusnya kasih dari ibundanya. Di sini, kalimat tanya (antesedan) melodi yang dibunyikan berulang oleh dawai piano akustik yang jernih bagai air segar pegunungan, mampu membahasakan tulusnya kasih ibu yang menyejukkan. Meskipun, motif dasar naluri keibuan kerap tidak jelas rasionalitasnya bagi penerimaan atau balas budi bagi sang anak. Inilah yang saya maksud kalimat tanya melodi pada piano yang relevan dengan makna puisi. Ketika melodi dasar piano itu diorkestrasikan oleh intrumen lainnya, flute, brass dan string, maka makin hiduplah suasana musikal yang dibangun sejak awal komposisi. Sayangnya, hidupnya suasana musikal yang dibangun dari puisi tadi terganggu oleh sajian akhirnya. Yaitu bentuk sinematik yang tidak digarap maksimal. Di situ kita masih jelas melihat, artikulasi visual pada mimik dan gestur Mika yang tak presisi dengan audionya. Ini sangat mengganggu pencerapan inderawi estetik kita. Pun pada teknik shot kamera yang minim merealisasikan bunyi nada piano di tangan Yusda, pianisnya. Bahkan, bunyi tiupan lembut melodi flute dan gesekan bow dari bunyi strings sama sekali tidak diaktualisasikan oleh mata kamera.