PEMILIHAN Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan 2020 seolah mempertarungkan dua gelar; “Haji” Denny versus “Paman” Birin.
Sahbirin Noor sebagai petahana, seperti diketahui telah begitu lekat bagai ketan dengan gelar “Paman”. Dalam omongan-omongan, mulai tingkat elite hingga warung kopi, untuk menyebut sang gubernur cukup dengan kata “Paman” tanpa mesti menyebutkan namanya. Ini membuktikan betapa sudah sedemikian lengket dan populernya sebutan itu
Nama “Paman Birin” seakan telah menjadi sebuah brand. Padahal umumnya panggilan paman lebih identik kepada “Paman Sayur”, “Paman Bakso”, “Paman Pentol”, dan paman-paman lainnya yang merujuk kepada seseorang pedagang atau profesi tertentu.
Ada gelar yang dilekatkan pada seseorang, namun gelar itu belum dapat dikatakan benar-benar menempel selama ketika menyebut gelar itu masih harus diiringi dengan menyebut namanya. Sahbirin Noor, sekalipun ia lengkapnya disapa “Paman Birin”, tapi orang sudah ngeh andaipun hanya disebut “Paman”.
Kubu penantang, Denny Indrayana, tampaknya sadar dan paham betul dengan popularitas gelar itu. Karenanya coba disematkan juga gelar di depan namanya. Awalnya, seperti kita tahu, gelar yang cantumkan berderet: “Prof.Dr. H.”, dan mungkin masih ada yang bisa ditambahkan lagi di belakang namanya. Tapi kemudian, gelar itu menjadi tidak ringkas, tidak praktis. Terasa sulit di lidah bila diucapkan, terlalu panjang; Prof.Dr. H. Denny Indrayana.
Setelah utak-atik, kukira, akhirnya diambillah gelar haji saja, jadilah Haji Denny. Gelar haji ini kalau mau kita tarik jauh ke belakang hingga ke zaman kolonialisme, akan panjang ceritanya. Secara ringkas bisa disimpulkan, dipilihnya gelar haji di depan nama Denny (Indrayana) ini agar bisa lebih cepat akrab di telinga masyarakat Banjar. Seakrab kita menyebut Soto “Haji Amat”, misalnya.
Apakah gelar haji ini cukup ampuh dan bisa menjadi identik dengan Denny (Indrayana)? Entahlah. Saya sebenarnya lebih tidak heran seandainya gelar yang dipilih adalah “Amang” sehingga menjadi “Amang Denny”. Terdengar lebih Banjar, dan barangkali juga bisa mendistorsi panggilan “Paman”. Tapi ya sudah, panggil saja “Haji Denny”.
Sebutan atau gelar haji dalam masyarakat Banjar umumnya memiliki posisi tertentu. Ia tidak semata gelar yang bisa diberikan begitu saja. Yang pasti seseorang itu mesti telah berhaji pergi ke Tanah Suci. Namun, tidak selalu juga yang setelah berhaji akan dipanggil dengan gelar haji. Ada satu tingkatkan lagi yang secara tidak resmi menjadi konsensus bersama masyarakat di lingkungan seseorang itu sehingga kemudian dipanggil “Haji” atau “Pa Haji” dalam keseharian. Dan itu biasanya terkait dengan ketokohan.
Di Kalsel, salah satu yang akrab dan tersohor dengan panggilan haji adalah (alm) “Haji Leman” atau Haji Sulaiman HB—semoga beliau dirahmati Allah SWT. Semua orang tahu, ketika berbicara yang berkaitan dengan beliau, tidak lagi mesti menyebut lengkap dengan nama “Haji Leman”, tapi cukup dengan menyebut “Pa Haji” saja.
Denny tentu memang telah berhaji, pergi ke Tanah Suci. Tetapi apakah ketika kita mengobrolkan kompetisi antara Sahbirin Noor dan Denny Indrayana di warung kopi, misalnya, kita bisa menyebutnya dengan “Paman” dan “Haji” saja tanpa mengikutan nama Denny sehingga menjadi “Haji Denny”? Rasanya tidak. Sahbirin Noor sudah senyawa dengan gelar paman; “Paman BIrin”, sementara Denny mungkin masih perlu waktu apakah gelar haji itu pas atau kompatibel dengan namanya. Jadi, ini tidak segampang meletakkan peci putih di kepala.
Memang, elektabilitas sudah pasti tidak semata ditentukan seberapa populer seseorang, termasuk dengan penyematan suatu gelar. Hanya saja, identitas gelar menjadi penting untuk memintas kepada sosok seseorang.
Sebagai penantang, Denny boleh dibilang memiliki semua kapasitas yang mumpuni untuk menjadi orang nomor satu di Kalsel—terlepas soal dana. Nama Denny juga telah populer, tidak saja di tingkat nasional, tapi juga berkelas internasional. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden SBY. Karenanya, di masyarakat perkotaan umumnya, mungkin Denny tidak perlu terlalu berpeluh untuk mempromosikan dirinya. Tantangan sebenarnya ada di masyarakat pedesaan dan pelosok, seberapa mampu ia meyakinkan bahwa sang “Haji” telah datang untuk menggantikan paman.
Di sudut lain, petahana barangkali bisa agak santai saja menghadapi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel yang berlangsung pada 23 September 2020. Paman Birin sepanjang hampir lima tahun ini, tampaknya sudah lebih dari cukup mengampanyekan dirinya. Selaku seorang paman, di mana pun berada, ia selalu dikerumuni “kemenakan-kemenakan” layaknya anak-anak kecil zaman dulu berteriak ketika melihat pesawat terbang.
Paman Birin memang telah menjelma magnet yang begitu kuat, sekuat aroma durian di Bukit Kiram yang beberapa waktu lalu mampu menarik ribuan orang untuk datang. Upaya mengimbangi pamor Paman Birin itu, kiranya tidak bisa tidak Haji Denny harus sering-sering menggelar “ceramah”, terutama di kampung-kampung, agar terus naik daun. Bila tidak, gelar haji itu barangkali hanya sebatas ganti peci.@