JIKA melihat negara-negara Eropa begitu sigap dan sangat antisipatif terhadap kemungkinan penyebaran virus Corona di benua itu, kita bisa memahami kondisi psikologis mereka.  Pada tahun 1346 sampai sekitar 1353 (hampir sepuluh tahun), Eropa dilanda wabah penyakit Pes (atau biasa disebut Black Death) yang memang mematikan dengan cepat.  Disebut Black Death karena gejala yang ditunjukkan penderita salah satunya adalah menghitamnya tangan dan kaki mereka karena kematian jaringan dengan cepat.

Dalam kurun waktu tujuh tahun, Eropa dan sekitarnya mengalami penurunan jumlah penduduk karena kematian hingga 60%, sekitar 200 juta jiwa. Jumlah yang konon baru bisa dipulihkan dua ratus tahun kemudian. Ironisnya, meski kematian massal paling besar melanda Eropa, penyakit ini bukan berasal dari Eropa. Penyebaran penyakit yang belakangan diketahui disebarkan melalui kutu tikus menyebar melalui kapal-kapal dalam jalur perdagangan dunia, salah satu yang paling masyhur, jalur sutra.

Ada sejumlah penelitian mengenai dari mana penyakit itu awalnya berasal. Sebagian mengatakan penyakit ini berasal dari Cina, suatu anggapan yang cukup mapan meski sejarawan Norwegia, Ole Jorgen mengatakan penyakit ini berasal dari daerah selatan Rusia.

Buku Why Nation Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson menyinggung penyakit Black  Death ini sebagai salah satu hal yang secara drastis dan fundamental mengubah sejarah Eropa. Ia adalah salah satu titik balik Eropa selain Revolusi Industri di Inggris. Berkurangnya penduduk hingga 60% memungkinkan terjadinya penataan kembali institusi-insitusi kemasyarakatan, memperbaiki tatanan kehidupan, dan memungkinkan perencanaan akan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pendek kata, wabah ini adalah blessing in disguise. Pandangan yang saya yakin akan mengingatkan Anda pada kebijaksanaan Thanos.

Tapi kematian tetap kematian. Ia menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian besar manusia. Orang-orang akan melakukan apa saja agar bisa menghindarinya, bahkan hal-hal yang tidak akan dilakukan pada kondisi normal. Salah satu bentuk histeria yang dilakukan oleh masyarakat Eropa pada masa merebaknya wabah Black Death adalah membunuhi kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pembawa wabah. Dalam kondisi putus asa, mereka memerlukan sesuatu untuk disalahkan, maka mereka menyalahkan penderita lepra, orang asing, pengemis, orang Yahudi, orang Gipsi.

Yah, sesiapapun kelompok masyarakat terpinggirkan di masa itu.  Mereka menyalahkan dan membunuhi mereka, bahkan secara massal. Mereka masih tidak mengerti tentang siapa pembawa wabah dan bagaimana penyebarannya. Bahwa kutu tikus, dan tikus sebagai inangnya lah yang menjadi penyebab.

Kondisi psikologis massa karena ketakutan pada wabah yang merebak begitu cepat dan berpotensi besar membunuh semacam ini pernah terjadi di masa lalu dan tentu saja sedang terjadi saat ini. Sentimen rasis terhadap Cina atau peranakan Cina  meningkat karena wabah Corona. Di Perancis, Kanada, dan Inggris, orang tak lagi segan mengata-ngatai orang yang secara fisik seperti ras Mongolid (baca: Cina) sebagai penyebar wabah atau yang harus dijauhi karena wabah. Itu tidak adil tentu saja, tapi dapat dimengerti. Hanya saja tak bisa dibiarkan.

Sederhananya poin yang ingin saya sampaikan dalam tulisan yang tidak terlalu berpanjang lebar ini adalah, secara psikologis, ketakutan yang mengantarkan pada histeria tertentu sangat wajar. Bahkan akan tidak lazim jika dalam situasi kegentingan nyawa kita bersikap santai bahkan bersuka cita. Ini naluri mendasar manusia, kengerian akan kematian. Persoalan muncul ketika histeria menyebabkan kita menjadi seseorang yang jahat. Itu seperti kita membiarkan diri kita semakin dalam memasuki kegelapan yang sudah melingkupi kita karena rasa takut. Rasa takut yang membangunkan histeria, tindakan anarkis, atau memakai bahasa psikoanalisis, pelampiasan id tanpa mengindahkan ego dan superego.

Yang mana jika kita bicara tentang orang-orang Eropa, ketakutan itu boleh jadi bersifat traumatis dan agaknya (bisa dikoreksi juga jika saya keliru) murni karena ketakutan pada penyebaran virus.

Di Indonesia, hal yang berbeda terjadi. Pada masa kejadian pes luar bisa di Eropa, Nusantara tak mengalaminya. Agak ironis meski patut disyukuri, karena Nusantara berada di lintasan jalur sutra. Penduduk pulau Jawa justru terserang wabah pes saat penjajahan Belanda berabad-abad kemudian, konon karena impor beras. Belanda sebagai bagian masyarakat Eropa yang sudah teredukasi terkait wabah ini segera memeriksa tikus-tikus. Penyebaran pes dapat ditanggulangi. Dan syukurlah, hal itu tidak menjadi bagian traumatis dalam sejarah negeri ini.

Lalu mengapa di Indonesia sentimen terhadap wabah ini (baca penyebar wabah) sedemikian kuat? Mungkin lebih dramatis daripada Eropa. Bukankah tak lain hal itu berasal dari perasaan takut dan kewaspadaan yang lain, yang akarnya bisa ditelusuri empat tahun terakhir. Bahwa ini masalah kedaulatan? Masalah penjajahan gaya baru? Masalah intervensi ekonomi dan politik, atau masalah muslim Uyghur? Kehadiran Corona bagai menyiram bensin ke dalam api. Menyulut, membakar, dan semoga tidak menghanguskan.

Menurut saya penting untuk memilah-milah perasaan kita.

Saya misalnya setuju kita memboikot ponsel Xiao Mi (semoga saya benar menuliskannya) sebagai bentuk protes kita atas pelanggaran hak beragama muslim Uyghur, tapi memboikot merk ponsel itu hanya karena isu ponsel itu menularkan virus Corona, barangkali kita bisa mendengarkan dulu klarifikasi para ahli dan mencoba bersikap bijak.

Membagi informasi tentang perilaku buruk warga negara Cina terkait apa yang mereka makan atau bagaimana perlakukan mereka pada makanan-makanan mereka dalam kadar tertentu tidak ada salahnya, tapi menggeneralisir penduduk Cina sebagai penduduk sadis agaknya penting untuk tidak dilakukan. Dan yang menurut saya paling parah adalah sikap berbahagia dan menertawakan atas menyebar luasnya wabah itu di Cina. Hal itu di luar imajinasi saya.

Kita bisa belajar dari kebijaksanaan ulama dan pemuka kamu muslimin saat wabah Black Death terjadi. Karena tak ada satu pun yang bisa memahami bagaimana penyebaran wabah terjadi, mereka lantas mengembalikan itu pada diri sendiri. Bahwa barangkali penyakit itu adalah sebuah katarsis dari maraknya dosa yang dilakukan umat manusia baik secara individu maupun kolektif. Jelas kedengaran tidak ilmiah dan bagi sebagian orang terdengar nonsense. Tapi saya termasuk yang percaya pada hal tersebut.

Wallahua’lam.@