KETIKA Ketua Forum Sineas Banua (FSB), Munir Shadikin melalui komunikasi WA meminta saya untuk menjadi pemantik atau narasumber diskusi perihal kritik film, saya mengiyakan dan menyanggupinya. Akhirnya, seperti yang berlaku sore itu (26 Maret 2022), saya dan Dewi Alfianti (penulis, dosen FKIP ULM) pun berdiskusi dengan cukup hangat di Rumah Oettara, Banjarbaru. Bersama para duapuluhan anak muda pecinta film, diskusi pun berjalan semenjak pukul lima sore hingga azan magrib berkumandang.

Melalui tajuk “Gelitik Film, Kritik, dan Literasi Film”, kawan-kawan Forum Sineas Banua telah berhasil menyajikan diskusi yang bergizi. Selama hampir dua jam, kami pun membincangkan apa-bagaimana peran kritik dan pelaku kritik dalam perkembangan film, khususnya di Banua Kalimantan Selatan. Sebagaimana dilontarkan oleh Munir yang memoderatori, pun yang tersirat pada peserta, pertanyaan awal yang muncul dalam diskusi adalah apa pentingnya aktivitas kritik bagi film? Lalu, bagaimana kritik film yang baik dan benar? Sebagai dosen yang mengampu matakuliah Apresiasi dan Kritik Seni di FKIP ULM, saya pun berusaha menjawab pertanyaan awal diskusi itu. Sebatas apa yang saya ketahui, pahami dan alami selama ini. Bahwa kritik seni penting bagi apresiasi sebuah ekosistem seninya.

Berbeda dengan konsep/bentuk seni tradisi sebagai ekspresi, kreasi, sekaligus rekreasi dalam kultur masyarakat tradisional, film adalah salah satu bentuk seni yang berkembang pada masyarakat modern. Maka, seni modern pun memiliki seperangkat struktur ekosistemnya. Secara antropologis, jika seni tradisi (dalam konsep tadi) adalah ekspresi kreatif yang berbasis pandangan hidup komunal tradisi masyarakatnya, maka pada seni modern akan merujuk pada worldview modernitas yang berbasis ilmu pengetahuan modern. Baik bentuk yang tradisional maupun modern, keduanya punya landasan struktur  pengetahuan estetik (nilai seni) masing-masing yang khas. Oleh karenanya, perbedaan atas keduanya pun menjadi tidak relevan untuk dikompetisikan. Misal dalam suatu evaluasi estetik.

Pada ekosistem seni masyarakat modern, perkembangan atau dinamikanya akan selalu mengandaikan adanya tiga elemen penyangga struktur keseniannya. Yaitu pihak seniman (kreator), penikmat/masyarakat seni (apresiator), dan kritikus/ (mediator). Ketika suatu karya seni yang dihasilkan oleh seniman sang kreator—baik secara sengaja atupun tidak—dimaksudkan untuk memperkuat ekosistem seni masyarkatnya, maka sifat estetik metafor-simbolistik pada karya seni akan memerlukan semacam katalisator di dalam komunikasi dengan apresiatornya. Bagaimanapun, seni bukanlah bahasa publik sehari-hari yang denotatif dan habis dalam sekali kunyah. Bagaimana kompleksitas tahapan masyarakat seni (apresiator) dalam menggapai tingkat pemahamannya atas sebuah karya seni, di sinilah peran para kritikus/pengamat seni menemukan fungsinya. Pengetahuan dan pengalamannya atas dunia seni pun akan menjadi “penyambung lidah seniman”. Sebagai katalisator apresiasi seni, para kritikus dapat diandaikan sebagai otoritas yang menguasai bidang-bidang relevan atas objek seninya. Selain bentuk-teknis seni, penguasaan atas sejarah seni dan teori-teori sosial akan mendukung uraian-analisis para kritikus dalam melakukan review atau ulasan seninya. Oleh karenanya, kritik seni menjadi penting karena dapat menyokong tingkat pemahaman dan pemaknaan apresiator atas karya seni yang dinikmatinya. Pun, kritik seni dapat juga digunakan oleh sang seniman sebagai pertimbangan kreatif selanjutnya.

Mengingat beragamnya bentuk/cabang seni, sekaligus nilai ekstrinsik (ekstra-estetik) yang dapat diuraikan pada suatu amatan kritis atas karya seni, maka saya pun menjawab pertanyaan Munir di awal diskusi sore itu. Bahwa kritik seni yang ideal itu tidak ada. Tiada mungkin. Mencari suatu apresiasi dan pemahaman atas karya seni yang ideal, dalam arti lengkap-utuh-sempurna lagi universal adalah suatu utopia. Mimpi belaka. Misal, saya melakukan kritik film Batman terbaru dari perspektif filsafat. Yakni dengan menguraikan kandungan ide-ide pemikiran filosofis di dalam wacana naratif filmnya. Barangkali, perspektif ini dapat berhasil memberikan apresiasi yang mencerahkan kepada penonton. Bahwa ada pengetahuan ideologis tertentu di dalam film Batman, yang tidak dapat dipahami tanpa uraian kritik saya. Meskipun pengetahuan ini demikian berguna, namun karena saya tidak menguasai bidang sinematografi, maka saya tidak dapat menguraikan amatan unsur sinematorgafis filmnya lebih jauh. Misal, tentang bagaimana kualitas penyutradaraan, tatakamera, artistik suara, music scoring, penyuntingan gambar, dan seterusnya.

Jadi begitulah, suatu kritik film (pun bentuk seni lain) yang kontekstual, bagi saya lebih masuk akal ketimbang kritik film yang ideal!

Kemudian satu hal penting yang saya ingat muncul dalam diskusi sore itu adalah, persoalan subjektivitas dan kultur dialogis dalam masyarakat seni kita. Ketika dalam diskusi muncul satu pertanyaan: bagaimana cara kritikus seni mengelola objektivitas dan subjektivitas dirinya saat melakukan kritik, maka saya pun menanggapinya dengan membawa pada asumsi dasar kritik seni. Yaitu pada nilai “kebenaran seni”. Maksudnya, seluruh uraian kritis yang dilakukan oleh para kritikus terhadap karya seni yang dikritiknya, tiada lain adalah usaha untuk menunjukkan suatu nilai (kebenaran estetik) kepada publik. Baik tentang bentuk artistik tertentu, maupun pada kontekstualitasnya (nilai ekstrinsiknya). Misal, ketika malam hari setelah acara diskusi itu saya menonton film berjudul “Suatu Malam Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi” yang diputar di Misbar Banjarbaru, saya pun sempat melakukan kritik singkat kepada Sandi Firly. Penulis naskah sekaligus anggota tim asyikasyik.com, yang memproduksi film.

Melalui perspketif musik, saya mengatakan kepada Sandi bahwa, salah satu scene film itu tidak berhasil secara musikal. Ketika tokoh Tardji (Sutardji Calzoum Bachri) memainkan alat musik harmonika di dalam adegan, saya menunjukkan suatu kebenaran film yang hilang. Bahwa secara musikal, gestur atau gerakan tangan tokoh Tadji yang diperankan oleh Yulian Manan, dalam memegang dan memainkan harmonika itu salah, atau setidaknya kurang meyakinkan. Tentu, ini adalah persoalan penataan gerak adegan dalam sinematografi. Ketika saya menunjukkan amatan kritis ini kepada Sandi, bukankah amatan itu keluar dari subjektivitas saya? Betul. Secara subjektif, komentar itu dilandasi oleh pengetahuan musikal pribadi saya. Dan ketika pengetahuan subjektif itu saya lekatkan pada adegan Tardji memegang harmonika, maka isi amatan saya pun menjadi objektif, dalam arti benar secara fakta scane filmnya.

Mengenai persoalan selera dalam pekerjaan kritik seni yang kerap digugat, sebenarnya hal ini akan menjadi clear ketika terminologi “selera” dibedakan dengan “citarasa”. Jika selera merupakan bentuk sikap estetik yang dilahirkan oleh pengetahuan apriori, maka citarasa lebih disandarkan pada pengetahuan aposteriori. Artinya, selera cenderung pada subjektivitas esetetik, sedangkan citarasa adalah objektivitas artistik. Dengan demikian, memang, seorang kritikus tidak bisa melakukan kritik berdasarkan selera saja, karena hal ini akan melemahkan “kebenaran seni” dalam pernyataan evaluatifnya. Lantas, apakah aktivitas kritik seni harus diawali dengan membunuh selera kritikus terlebih dahulu supaya bernilai objektif? Tidak. Sebagaimana penerimaan nilai subjektivitas dan objektivitas dalam proses terbentuknya pengetahuan, maka beban dan kelemahan subjektivitas dalam kritik seni perlu dilengkapi dengan kekuatan objektivitas. Yakni dengan sekuat-kuatnya mendasari aktivitas kritik seni pada citarasa artistik. Pada pendasaran pengalaman empiris dan pengetahuan keseniannya.

Soal ini, lebih jelas akan saya bawa pada pengalaman menonton empat film pendek di Misbar Banjarbaru. Sebuah tempat pemutaran bioskop terbuka (tanpa atap) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Banjarbaru. Selain film tentang puisi-penyair (Chairil, Tardji, Sapardi, Jokpin) produksi asyikasyik.com yang saya singgung sebelumnya, ada tiga film lain yang masing-masingnya beragam kualitas sinematografinya. Bahkan relatif tidak sebanding artistik filmnya. Dari keempat film ini, selera estetik saya akan menunjuk pada dua film. Yaitu film puisi berjudul “Suatu Malam Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi” karya Asyikasyik.com dan film berjudul “Sapanjanakan” karya Barakatan. Kenapa selera saya di situ? Ya lantaran film pertama bermuatan wacana apresiasi sastra, dan film kedua bermuatan wacana absurditas filsafat eksistensialisme.

Lantas bagaimana dengan dua film lainnya, yakni “Babilangan” karya  Teropong Community dan film “Seraoet Wadjah di Balik Tjermin” karya Team Creative Multimedia? Meskipun “Babilangan” bukanlah film yang menjadi selera estetik saya, namun citarasa artistik saya dapat melakukan penilaian kritis tertentu. Anggap saja saya akan menilai “Babilangan” adalah film yang tatasuaranya paling baik, ketimbang tiga film lainnya. Atau misalnya, ploting adegan film “Seraoet Wadjah di Balik Tjermin” adalah yang paling oke. Permisalan inilah yang saya maksud sebagai persoalan selera dan citarasa dalam kritik seni. Sekaligus pula menggambarkan bahwa kritik seni kontekstual itu lebih memungkinkan, ketimbang mencari-cari kritik ideal-universal yang menurut saya, muskil.@