Sebenarnya, stroke ada dua jenis. Stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik adalah jenis stroke yang terjadi ketika pembuluh darah yang menyuplai ke darah ke area otak terhalang oleh bekuan darah. Stroke jenis ini tampaknya paling lazim kita lihat. Konon stroke ini bertanggung jawab atas 87% dari total stroke. Kalau satunya, stroke hemoragik, jenisnya agak ngeri-ngeri sedap (gitu, ingat Batughana). Stroke ini terjadi saat pembuluh darah di otak mengalami kebocoran atau pecah. Hemoragik ini masih saudara sepersusuan dengan horor. Tulisan aslinya hemorrhagic. Ada dua “r” yang nangkring. Bandingkan hemorr dengan horror, tampak bersaudara ‘kan. Jenis stroke ini mencapai 13% dari total serangan stroke.

Penyakit stroke memang tak pandang bulu. Baik bulu tebal maupun bulu tipis, dia tak peduli. Bulu tebal bisa dibaca dia yang dompetnya tebal, sementara bulu tipis, doi yang dompet saja tak punya isinya apa lagi. Stroke juga tak pandang usia. Baik usia yang kontraknya hampir habis maupun usia yang ingusan bisa dia hantam. Meskipun, tentu saja yang terakhir ini jarang terdengar.

Selain ayah sendiri (lihat tulisan Korelasi Wasi Tuha, Datu Buaya dan Stroke), saya pernah mempunyai paman yang juga lagi-lagi terserang stroke. Padahal paman saya itu termasuk orang yang ibadahnya rajin. Sering ngimamin salat juga. Namun, itulah, serangan stroke bisa mampir tanpa permisi dan ketuk pintu.

Belakangan, dari ibuku, kuketahui bahwa pada stroke paman tersebut ada faktor non-medis. Non-medis? Bagaimana mendefinisikan non-medis ini. Setelah saya lihat KBBI (bukan Keluarga Besar Bangsa Indonesia lho, tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia), ditulisnya yang betul: nonmedis. Arti nonmedis ini tidak berhubungan dengan pengobatan (kedokteran): rumah. Jadi, penyakit stroke si pamanku itu adalah penyakit rumahan bukan kedokteran. Ujung-unjungnya betul juga, sih. Mau tak mau, beliau tinggalnya di rumah saja. Jangankan bangun berdiri, duduk saja harus dibantu. Stroke ini tentu bikin miris yang melihat maupun yang mengalaminya sendiri. Si penderita merasa merana sebab teronggok dalam ketidakberdayaan yang menyakitkan. Bagi yang merawat mungkin bisa jadi ladang amal, dengan memenuhi dua syarat utama: sabar dan sabar. Kalau tak sabar ya resikonya bisa kuwalat.

Lantas dari mana ibuku mendapatkan informasi bahwa stroke tersebut dipengaruhi faktor nonmedis? Dari banyaknya kunjungan kepada orang-orang yang punya peran nonmedis juga. Dalam salah satu kunjungan ibuku pada seorang spiritual healer dan menanya tentang saudaranya yang stroke, sang spiritual healer dirasuki sosok datu. Suara datu yang merasuk itu berbeda dengan suara lazim sang spiritual healer.

“Dia itu kami lilit di kaki. Lihat saja, dia tak bakalan sembuh. Salahnya sendiri, membuang kami. Kami balas. Nanti serumahan kami lilit,” demikian ujar sang datu.

Setelah sang datu pergi, tokoh spiritual healer menjelaskan bahwa datu yang berbicara tadi adalah leluhur dari si paman. Datu ini berbentuk tadung alias ular. Karena itulah, si datu berbicara tentang sesuatu yang berkait dengan lilit-melilit. Setelah menimbang-nimbang informasi ini, ibuku dengan penuh semangat akhirnya menyampaikannya kepada keluarga dari paman yang stroke itu.

“Itu sudah dibuang di hutan, Cil-ai.” Sahutan ini mengunci mulut ibuku. Sahutan yang menohok. Ibuku lantas terkenang pada kejadian di mana paman yang stroke itu saat masih bugarnya dalam beberapa kali pernah bersimuka dengan ular sebesar guling namun pendek sekira satu meter saja. Bahkan ia berwasiat kepada keluarga dan anak-anaknya bila menemui ular semacam itu agar jangan diganggu.

“Syirik percaya pada begituan,” demikian paman yang stroke itu pernah bertutur. Ibuku tidak menyahut bahwa Sirik itu musuh Juwita di dalam Majalah Bobo. Ia hanya diam. Diam itu emas. Di sini kita dapat konklusi menarik: Lebih baik stroke daripada syirik. Syirik punya turunan yakni TBC (bukan tuberculose, tapi Takhayul-Bid’ah-Churafat), namun ini bukan bahasan kita.

Facebook Comments
1
2
Artikel sebelumnyaNASRUDDIN, DAN KETIKA MAJIKANNYA SAKIT KERAS
Artikel berikutnyaMEMPERTANYAKAN TEMA LOMBA CERPEN ASKS XV, DAN KUNCI CERITA
Riza Bahtiar
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.