BERBINCANG tentang Hasan Basry, mantan panglima dan pahlawan perjuangan kemerdekaan asal Kalimantan Selatan, tentu hal biasa. Banyak yang dapat digali dari tokoh ini. Jejaknya sangat banyak dan tidak mungkin dilupakan. Bukan saja terkait perjuangan kemerdekaan, namun juga perannya dalam pendidikan dan berbagai lembaga penting di Kalimantan Selatan.

Bahkan, ketika beliau meninggal, Gubernur pada waktu itu, Ir. H. Muhammad Said, meletakkan kuburnya di perempatan jalan Liang Anggang, agar semua orang yang memasuki kota Banjarmasin, memberikan penghargaan pada beliau, atau yang ingin menuju hulu sungai dan Kotabaru, ingat tentang jasa dan ketokohan beliau.

Berbincang sore ini begitu istimewa, sebab langsung bersama anak tertua beliau, didampingi cucunya, yang berarti cicit dari tokoh besar yang namanya sudah menjadi nama jalan di sepanjang Kayu Tangi. Tidak sengaja, dua orang nenek dan cucu ini, tiba-tiba nyasar di rumah alam, tujuannya sekedar jalan-jalan, menikmati suasana sore.

Foto dari kiri:  Rakhmalina Bakhriati, Noorhalis Majid, Poppy Meliany Basry (Anak Pertama Hasan Basry) , dan Nadia (Sang Cucu)

Duduk memperhatikan cucunya Nadia yang sedang berenang, saya coba untuk menegur sekedar berbasa-basi. “Dari mana Nek?”Menirukan panggilan cucunya pada sang nenek. “Dari Pal lima,” katanya.

“Saya tinggal di Bogor, tapi dulu tinggal di Banjarmasin juga.”

“Dulu tinggal di mana Nek?”, tanya saya lebih lanjut.

“Di Lambung Mangkurat, di rumah Panglima. Papah saya dulu Panglima”

“Lho, siapa nama papahnya?”

“Hasan Basry,” sahut nenek itu pendek.

“Hasan Basry yang pahlawan itu?”

“Iya, Hasan Basry mantan Panglima.”

“Nama nenek siapa?”

“Nama saya Poppy Meliany Basry, saya anak pertama dari Hasan Basry. Adik saya Ikrar Aulia Basry, yang ketiga, Rida Tahiya Basry, yang ke empat, Wadi Madia Basry, yang ke lima, Bari Wasia Basry, sehari-hari dipanggil Celly, dan yang terakhir Niati Sauria Basry. Tinggal dua orang yang masih hidup, saya dan Ikrar, yang lain sudah meninggal dunia,” jawab nenek.

Mendengar bahwa nenek tersebut adalah anak Hasan Basry, saya tidak mungkin mengabaikannya dan hanya berbincang sambil lalu. Saya dekati, dan duduk didekatnya.

Untuk menambah keakraban, saya sampaikan bahwa kakek saya bertetangga–bahkan bersebelahan rumah dengan Hasan Basry ketika masih di Kandangan. Rumah yang merupakan kediaman orang tua dari Hasan Basry, dekat Karkup, di belakang lapangan tenis, di samping kantor Kehutanan. “Iya, betuk, rumah di Kandangan bersebelahan dengan kantor Kehutanan, saya ingat,” kata nenek Poppy.

“Apa yang nenek ingat dari papah Hasan Basry,” tanya saya coba menggali.

“Papah itu orangnya sabar. Sangat sabar. Bahkan ketika “dihabisi” – tidak lagi memiliki jabatan apapun oleh seseorang, dia tetap sabar. Terhadap orang yang memperlakukan papah sedemikian rupa itu, sepertinya sulit untuk dilupakan, namun dia tetap sabar menghadapinya, tidak ada dendam atau berupaya melakukan perlawanan. Papah membiarkan saja semua perlakuan itu dan memilih diam,” kenang Poppy.

Setelah tidak lagi menjadi panglima, kami pindah ke Bogor dan menjadi orang biasa.

Poppy menceritakan bagaimana kehidupan Hasan Basry belakangan dengan penuh kenangan. “Papah hidup sebagai orang biasa dengan aktivitas keseharian layaknya masyarakat kebanyakan. Untung ada mami yang bekerja sangat keras menopang keluarga. Bisa dibayangkan, hidup di Bogor dengan 6 anak, pasti sangat berat, sementara sebagai mantan panglima, tidak banyak yang dapat dilakukan, bahkan boleh dibilang sangat terbatas.”

Facebook Comments