HARI-HARI ini kita umat manusia seperti kembali terdampar di daratan asalinya, ketidakberdayaan diri. Dari satu sudut negeri Tiongkok sana, Wuhan, kita masyarakat dunia secara serentak telah dibikin tiarap oleh wabah yang mengerikan. Corona Covid 19.

Semua material harta jadi semacam tiada guna, saat ratusan-ribuan nyawa melayang di berbagai negara perkasa. Keangkuhan peradaban modern yang kerap kita pamerkan selama ini pun seolah-olah gagap di hadapan pembunuhan senyap ini. Sains, teknologi, dan budaya moralitas, sebagai capaian peradaban kita pun seperti ditelanjangi. Korban terus saja berjatuhan di mana-mana setiap hari. Tatanan hidup sosial porak-poranda. Tragika ini entah sia-sia entah punya makna, bagi peradaban manusia kita.

Ketika gelombang kengerian akibat ketiada-dayaan ini membalut tarikan napas kemanusiaan kita yang semakin pendek, di situlah hadir semacam interupsi kesadaran. Kita jadi sadar, ada sesuatu “yang besar”, tapi kita tak mampu untuk memahami apa-bagaimana menghadapi yang besar itu. Tentu saja ini bukan soal materi klinis virus yang dengan mudah dianalisis oleh sains. Juga bukan soal justifikasi moral religiuus agama yang punya kejelasan dogmatiknya. Yang kita maksud ini adalah persoalan rasa-perasaan sublim yang muncul akibat situasi wabah.

Sebagai satu sisi dari sepasang rasa estetis kita (yang indah-yang sublim) terhadap fenomena inderawi, sublimitas memang jarang kita rawat. Kalaupun ia pernah muncul, biasanya kita tanpa mau repot langsung menyergapnya ke dalam ruang spiritual-teologis. Misal rasa gemetar dan gentar kita ketika dihadapkan pada kekuatan alam.

DAN KALAU HARI-HARI INI KITA MENGALAMI KECAMUK RASA NGERI DALAM MENJALANI SITUASI WABAH, TIADA SALAH JIKA KITA GAMIT TAUTAN RASA-ESTETISNYA. MUNGKIN SAJA USAHA INI PUNYA POTENSI MORAL-TERAPIS.

Begini. Kekacauan tatanan sosial kita dalam menghadapi wabah ini jelas bersumber dari ketiada-dayaan peradaban. Kegagapan kita dalam berbagai sektor hidup sosial itu, kemudian membawa kita pada situasi gangguan psikologis yang bertingkat. Sederhananya, kita akan dibawa pada dua visi: pesimis atau optimis. Tentu saja, visi yang terakhir adalah pilihan yang paling manusiawi. Lantas, kesadaran visi optimis seperti apa yang bisa diambil dari serakan rasa sublim kita hari ini?

Serakan kecamuk sublimitas ini, tentang kebagaimanaan yang tiada batas jawaban atas wabah ini, jelas-jelas memproduk rasa tercekat dan gemetar. Akan tetapi, secara bersamaan, di balik perasaan semacam itu muncul pola-pola sosial tertentu di tengah-tengah kita. Ada gerakan-gerakan, tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku sejenis di mana-mana. Jenis pola ini bernama solidaritas. Bukankah seluruh manusia kontemporer kini sedang bersolidaritas untuk menolak dan melawan wabah? Batas politik, ekonomi, etnisitas, dan sebagainya sudah bersepakat untuk solid. Tidak peduli Donald Trump, Donal Bebek, Israel-Palestina, semuanya solid.

Jadi, emansipasi sosial yang makin tumbuh hari-hari ini tak lain adalah gerak solidaritas, untuk menjauh dari sublimitas yang tak mampu kita kendalikan. Bagaimanapun, perasaan sublim kita akibat wabah ini musti kita bidik pada titik pedagogis, ajar-pembelajaran. Oleh karenanya, sublimitas sebagai sergapan rasa yang besar-agung atas fenomena wabah corona ini dapat direfleksikan secara estetis. Tentu saja pengalaman rasa indah-estetis ini bukan pada tataran konkret-empiris, tapi pada tataran ide-abstraksi.

Dengan meminjam refleksi sastrawan klasik abad 3 M, Cassius Longinus, kita bisa pahami bahwa rasa sublimitas (hypsos) dari dampak wabah ini tak lain adalah gema dari spirit Yang Besar. Bahwa kesadaran apapun yang muncul dari rasa sublim di hadapan wabah sebagai “karya seni” ini, adalah jembatan untuk mencari dan barangkali sedikit memahami, tentang kebagaimanaan Sang Seniman.@

Facebook Comments