BAGAIMANAKAH agama-agama memandang takdir?
Hal itulah yang menjadi bahasan dalam dialog teologi yang digelar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalael di Rumah Alam Sungai Andai, Banjarmasin, Sabtu (10/6/2023).
Dimoderatori Noorhalis Majid, diskusi dihadiri sejumlah tokoh lintas agama. Dialog ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan tentang agama-agama, sehingga bisa saling memahami satu dengan lainnya.
“Awalnya saya mengira semua agama mengenal takdir, tapi ternyata di Katolik tidak mengenal kata itu, entah dalam istilah lain, mari kita gali,” buka Noorhalis.
Romo Yohanes Tjuandi (Jojo), Keuskupan Banjar asin, membenarkan bahwa takdir memang tidak dikenal dalam Katolik. “Bahkan kata tersebut tidak ada dalam al kitab, baik perjanjian lama, maupun perjanjian baru.
“Tuhan tidak menetapkan atau menggariskan takdir manusia. Manusia diberikan kebebasan, apakah ingin berada di jalan Tuhan, atau di jalan lain,” jelasnya.
Yang ada, katanya, manusia mau mengikuti perintah Tuhan atau tidak.
Dicontohkan, dalam lingkup yang lebih luas, termasuk di daerah Kalsel, segala kerusakan lingkungan yang memberi pengaruh pada perubahan iklim dan melahirkan bencana alam, semua itu perbuatan manusia, tidak bisa dikatakan rencana Tuhan. Sebab rencana Tuhan semuanya baik, katanya, tapi manusia memilih jalan yang tidak baik, sehingga bencana alam terjadi.
“Jangan salahkan Tuhan. Salahkan pilihan manusia, sehingga bencana tidak dapat dihindari,” ucapnya.
Samanera Viriviro dari Vihara Dhammasoka mengatakan, takdir dalam perspektif Budha, bisa dimaknai dengan karma. “Karma itu terbagi dalam dua bagian, yaitu ada yang disebut karma baik, dan ada pula disebut karma buruk,” sebutnya.
Dalam ajaran Budha, katanya, kelahirkan itu berulang. Kehidupan sekarang ini, buah dari kehidupan lampau. Buah dari hal baik atau buruk yang sudah dilakukan pada kehidupan sebelumnya, baik itu berupa ucapan, perbuatan atau pun pikiran. Kehidupan sekarang, juga akan memberi pengaruh pada kehidupan selanjutnya.
“Jadi, kalau ingin baik pada kehidupan nanti, maka sekarang harus baik, harus dijaga segala perbuatan, perkataan, tindakan dan pikiran,” ingatnya.
Diceritakan dalam ajaran Budha, seseorang yang bernama Mahadana, seorang yang sangat kaya. Begitu kayanya, hingga diyakini hartanya tidak akan habis hingga sepuluh keturunan. Lalu dia berpendapat, untuk apa menyekolahkan anaknya. Sekolah hanya akan membuat anaknya susah, sulit menyelesaikan tugas dan harus belajar pula. Lebih baik bersenang-senang saja, toh tidak akan habis juga uangnnya. Ternyata, anaknya yang tidak sekolah tersebut memang pandai menghabiskan uang. Kerjanya hanya berfoya-foya. Hingga akhirnya, seluruh hartanya dalam waktu yang tidak lama habis dan jatuh miskin.
“Inilah yang disebut dengan memotong karma. Kalau dia didik anaknya dengan baik, tentu tidak akan terjadi, sebab anaknya akan mampu memelihara harta yang diwariskan orang tuanya.,” ujarnya.
Pdt DR Keloso S Ugak, Dosen STT GKE mengatakan, dalam kitab kejadian disebutkan, bahwa segala yang diciptakan sungguh amat baik, karena itu kalau ada yang tidak baik maka pastilah itu bukan dari Tuhan. Manusia dan segala kehidupan ini adalah gambar Allah.
“Kita tidak bicara soal asal-usul dosa, atau siapa yang bertanggung jawab atas dosa? Penggoda atau yang tergoda? Ular dikiaskan sebagai penggoda, dan Adam atau manusia dikiaskan sebagai pihak yang digoda. Kalau digoda, belum masuk dalam doa, tapi bila sudah tergoda, maka di situlah datangnya dosa. Manusia mudah sekali untuk tergoda, sehingga menyebabkan ia berdosa,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, bahwa dalam Al Kitab tidak ditemukan kata takdir, yang ada itu diterjemahkan dengan ditetapkan, menetapkan, dikehendaki, menghendaki, sehingga tidak pernah ada kata takdir.
“Pihak Tuhan merencanakan, dan rencana tersebut akan menjadi efektif bergantung pada sikap dan tindakan manusia. Kalau manusia tidak melakukan apapun, maka rencana Tuhan juga tidak akan terjadi. Rencana Tuhan yang baik itu, akan menjadi baik dengan tindakan manusia yang baik pula. Bebas bagi manusia untuk melakukan apapun,” paparnya.

Ilham Masykuri Hamdie, Ketua FKUB Kalimantan Selatan, mengaku mendapat banyak pemahaman dari apa yang sudah disampaikan Romo, Samanera, dan Pendeta tadi. “Walau dengan makna yang berbeda-beda, tentu ada persamaan dan perbedaannya. Dan saya kira, Islam banyak sekali berbicara soal takdir. Pertanyaan mendasar, apakah hidup ini terbatas atau bebas?” ucapnya.
Ia lebih dulu menerangkan teodisi, atau pandangan filosofis terkait kejahatan di muka bumi ini. Kenapa kejahatan di muka bumi ada, apakah Tuhan tidak mampu menangkal terjadinya tindak kejahatan? Apakah segala yang tidak baik itu kehendak Tuhan atau perbuatan manusia? Dan semua ini bermula dari persepsi tentang takdir.
Di sinilah kemudian, katanya, muncul pembaharuan Islam yang digagas oleh Cak Nur, Harun Nasution, Gus Dur, Djohan Effendy. Bahwa pandangan tentang takdir lah yang menyebabkan masyarakat Islam tidak maju, sebabnya karena paham tentang takdir lebih mengarah pada jabariah, semua sudah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak punya kekuasaan dan kemampuan untuk mengubahnya.
“Pembaharuan Islam bertujuan untuk mendorong agar masyarakat Islam bisa lebih maju dalam berpikir,” ucapnya.
Bagaimana caranya? Dikatakan, Djohan Effendi lalu mengembalikan pengertian takdir sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan dalam Al Qur’an. Bahwa takdir itu seperti dua sisi mata uang, satu sisi ada rencana Tuhan dan sisi lainnya ada upaya manusia. Bagaimana menyeimbangkan di antara keduanya itu, sehingga masyarakat Islam tidak mengalami ketertinggalan.
“Itulah yang kemudian disebut dengan pembaharuan pemikiran Islam.,” ujarnya.
Bagaimana mendudukkan takdir, yang di dalamnya ada takdir baik dan takdir buruk, dengan eksistensi manusia, bagaimana melihat keduanya secara seimbang. “Bahkan dalam Islam, takdir itu bagian dari rukun iman, percaya pada qada dan qadar yaitu segala yang ditentukan Tuhan,” katanya
Takdir, lanjutnya, sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan. Dalam takdir terbagi dua, yaitu takwim, berhubungan dengan hukum kausalitas atau sunatullah. Alam raya ini terikat dengan hukum kausalitas, dia harus tunduk pada takdir Tuhan. Bahwa matahari harus berputar pada porosnya, dan segala gerak alam raya ini berjalan sesuai ketentuan Tuhan, itulah yang dinamakan takdir. Yang kedua, disebut dengan tasri, yaitu hukum hidayah, kalau Allah menginginkannya, maka akan terjadi.
“Sedangkan takdir pada manusia, membentuk apa yang disebut dengan nasib. Manusia bebas menentukan nasib. Tidak seperti alam raya tadi yang tidak diberikan kebebasan” jabarnya.
Tokoh lain, Dr Mirhan mengatakan, ada persamaan dan ada pula perbedaan dari yang telah dipaparkan. dan ia anggap bukan masalah.
“Mari kita saling hormat menghormati, dan hidup dalam damai,” imbaunya.
Dijelaskan, bahwa segala hal dalam hidup ini, ada yang bersifat mualak, yaitu yang bisa berubah, dan ada yang bersifat mubram, tidak bisa diubah.
“Seperti halnya paham jabariah, sudah ditentukan dan qadariah, sesuatu yang harus diusahakan,” ucapnya.
Sementara Muhammad Effendy mengatakan, bahwa Tuhan memberikan panduan agar tidak salah. Dan setelah ada panduan, manusia diberikan kebebasan mengikuti atau tidak mengikuti panduan tersebut.
“Semuanya ada konsekuensinya. Seandainya tidak ada panduan, maka mungkin saja pendapat jabariah benar. Sebab sudah ada paduan maka paham qadariahlah yang semestinya berlaku. Kebebasan diberikan seluas-luasnya pada manusia. Saya setuju, kecendrungan manusia salah dalam menafsirkan takdir dan ini yang harus diluruskan agar berpikir lebih maju,” katanya.
Sedangkan Bayani Dahlah mengutip filsafat, soal takdir itu terbagi dalam dua pendapat, pendapat pertama disebut teosentris, yaitu segala sesuatu di alam dan kehidupan ini berpusat pada Tuhan. Ada pula berpedapat antroposentris, yaitu segala sesuatunya berpusat pada manusia.
“Orang Barat cendrung berpendapat antroposentris, sehingga masyarakatnya lebih maju. Sedangkan kita dan masyarakast timur pada umumnya, berpikir teosentris, menyebabkan berpikirnya lebih lambat dan tertinggal,” katanya.
Berbeda, Hj Ratna Rosana mengatakan, takdir itu dapat berubah dengan doa. Akan tetapi, takdir yang kita anggap buruk, belum tentu di mata Tuhan buruk. Pun takdir yang kita anggap baik, belum tentu di mata Tuhan baik. “Semua ini adalah rahasia yang sulit dipahami,” ujarnya.
Winardi Setiyono menyebutkan, semua agama mengajarkan kebaikan dan manusia bebas melakukan apa saja, hanya saja dia harus tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan sesuai agamanya masing-masing.
“Kalau tidak patuh pada aturan, mungkin kita akan kembali pada zaman batu. Aturan-aturan tersebut berupa kitab suci yang ada pada setiap agama dan harus dipatuhi oleh umatnya,” katanya.@