SEJAK diselenggarakan pertama kali pada tahun 2004 sebagai respon atas tragedi bom Bali, Ubud Writers & Readers Festival telah menjadi salah satu perhelatan internasional terbesar se-Asia Tenggara. Selama lima hari, pada tanggal 24-28 Oktober 2018, akan ada lebih dari 180 pembicara yang terdiri dari penulis, seniman, pegiat, cendekiawan, dan budayawan dari 30 negara. Mereka akan mengisi lebih dari 200 program mulai dari panel diskusi, lokakarya, acara spesial, pemutaran film, peluncuran buku, pameran seni, dan masih banyak lagi.

Saya sedang tidak dikontrak oleh panitia pelaksana untuk memuji-muji acara ini lho, ya! Kita sampaikan apa adanya yang ada di depan mata. Dan tentu saja, event yang kontinyu tiap tahunnya ini bukan perihal baru.

Di Kalimantan Selatan, ada sejumlah penulis yang telah berkesempatan andil dalam pelaksanaan. Pada 2011, Sandi Firly (yang sekarang kebetulan mengelola asyikasyik.com bersama-sama saya dan sejumlah kawan) terpilih sebagai penulis, mewakili Kalsel atas karya novelnya berjudul Rumah Debu (terbit kembali oleh Qanita dengan judul Hanya Sebutir Debu, 2014). Setelah itu, Kadek Purnami dan ceesnya mendatangi Banjarbaru menggelar kegiatan pembacaan puisi sebagai Sattelite Event dari UWRF dengan menghadirkan Inez Baranay, penulis perempuan from Australia.

Kemudian Ali Syamsudin Arsy Owner Kindai Seni Kreatif Gang Kurihing di Banjarbaru yang juga mendatangi perhelatan ini dua tahun setelahnya. Tahun kemarin, seingat saya ada satu fotografer dari Banjarbaru dan seorang perempuan pegiat literasi sebagai menghadiri UWRF 2017. Setelahnya, Pratiwi Juliani asal Rantau, Kabupaten Tapin, mengambil peranan atas karyanya sebagai penulis Emerging UWRF2018.

UWRF telah mempersiapkan beragam program. Selain Main Program berupa panel diskusi, juga memiliki kesenian yang menghadirkan para penyair, musisi, penari, sutradara, dan seniman dari Indonesia dan negara-negara lainnya. Beberapa program kesenian ini merupakan acara tak berbayar yang bisa diakses oleh publik dan dinikmati siapa saja.