Udara subuh di pesisir Pantai Batu Lima menusuk-nusuk kulit. Membuat setiap bulu tangan meremang. Kabut-kabut tebal membuat pandangan mata begitu pendek. Lamat-lamat sudara adzan subuh berkumandang. Saat seperti ini, aku baru mulai bangun dari tidur. Memaksakan kedua kelopak mata ini terbuka. Terkuap-kuap, mengucek-ngucek mata, terkesiap, tersipit-sipit tak menentu. Salah satu cara membuka simpul iblis di kedua mata adalah mandi subuh. Memasang baju koko lalu berkopiah haji, bersiap salat berjamaah di musala.
Ah, mimpiku begitu buruk malam itu. Aku melihat seonggok mayat perempuan dengan mata terbelalak dan lidah yang menjulur di pekarangan sawah. Celakanya, pekarangan itu aku ingat ada di kampungku.
Mentari mulai menyingkap tabir dan memantulkan cahaya di laut. Usai melaksanakan segala wiridan, aku diajak Ustadz Zakir menyisiri bibir pantai dari timur ke barat. Ustadz Zakir bilang, sengaja ia tinggal di pesisir pantai agar bisa mengikuti jalan yang ditempuh ulama dulu.
Pilihanya menjadi salah satu jalan bagi ulama sufi yang bertafakur. Karena alasan itu pula, ia berniat menghabiskan sisa umurnya untuk suluk, bermukim di pinggir pantai. Tampaknya, Ustadz Zakir memang sudah tak dipusingkan lagi dengan urusan dunia. Menarik diri lebih tepanya. Dia tak ingin tahu lagi apa-apa yang terjadi di luar sana. Atau dia memang sudah mengetahui namun tak ingin memberitahukannya kepadaku. Kukira, semua prasangka itu benar adanya. Ustadz Zakir memang tak ingin lebih daripada apa-apa yang telah diberikan Sang Pencipta kepada dirinya. Sesuatu yang amazing. Secuil anugerah yang membuat seorang manusia ektase, rindu kepada penciptanya. Kerinduan hebat kepada sang khalik. Mungkin saja. Mungkin saja aku salah.
Di malam lain, aku melihat dirinya bertafakur dan bermunajat di kamar. Sungguh, dia seolah berkata-kata sendiri seperti berbicara dengan Tuhan, kukira. Layaknya berdoa. Kadang meneteskan air mata. Tapi tidak mengangkat kedua tangan. Bahkan sampai empat puluh malam ia tak keluar kamar selain keperluan hajat yang manusiawi. Di malam-malam terakhir, seoalah cahaya yang begitu terang menimpa kamarnya. Aku melihatnya. Mengintip dari lobang kunci pintu kamar yang apabila dibuka berbunyi suara jeritan kuda jantan terjepit.
Cahaya itu, Ful, cahaya itu berlimpah dan menyilaukan mataku. Aku tak bisa melihat apa-apa selain cahaya. Perlahan cahaya itu samar temaram sampai kuingat bentuk cahaya itu persis lingkaran matahari yang kita lihat dengan mata telanjang di waktu siang. Besoknya, seperti biasa, Ustadz Zakir mengajakku berjalan di pesisir pantai. Dan mulai meracau tentang ketuhanan.
“Lihat, Val! Lihatlah bias cahaya matahari yang terbit. Cahayanya berbicara kepada makhluk bahwa dia adalah keelokan Tuhan,” mengarahkan jari telunjuknya ke sebagian pelangi. “Birunya langit diiringi musik-musik alam dari gemuruh buih gelombang. Semua tak lain adalah keelokan Tuhan. Ayo, kita duduk di sana. Di bawah pohon kelapa,” Ustadz Zakir menarik tanganku ke satu lokasi favorit kami, kursi dari kayu mengelilingi pohon kelapa berbentuk segilima. Seperti Pentagon jika kau lihat dari pucuk pohonnya.
Tahun demi tahun tampak sekali perubahan-perubahan dari kepribadian Ustadz Zakir. Kalimat-kalimat yang keluar di mulutnya Tuhan melulu. Tak ada yang lain. Selalu dihubung-hubungkan dengan penguasa alam semesta. Hingga di satu masa ia memotong waktu tidurnya. Memotong jatah makannya. Hanya sekadar perlu. Waktunya kini lebih sering dihabiskan di kamar dengan berdzikir dan membaca Quran. Bahkan, sesekali meracau tak keruan. Namun cepat-cepat kubuang semua prasangka burukku terhadapnya. Aku ingat pesan darinya sebelum sampai detik ini: Setiap orang yang mengajarkanmu ilmu adalah guru, meski hanya sebiji huruf. Jangan sampai kau berprasangka buruk kepada siapapun, terutama gurumu sendiri.
Satu ketika aku memandangi buih lautan yang tampak seperti kumpulan anak-anak TK bermain kejar-kejaran. Lebih dari itu, buih lautan lebih mirip festival tahunan Muharram yang diselenggarakan di tengah kota. Anak kecil berkejaran berbelok-kelok di bibir pasir yang putih kecoklatan ditimpa ultraviolet. Di sudut lain, tali-temali para nelayan tertambat di perahunya. Lebih mirip ular-ular berwarna emas yang menunggu sang pawang mengalihkanya ke sarang. Sang pawang itu adalah sebagian orang tua di desa kami. Yang kesehariannya membangun istana rumahtangga dengan menangkap ikan di laut. Hal yang biasa. Tapi tak semuanya demikian.
Sebagiannya lagi menjadi petani. Menghitung-hitung masa tanam dengan rasi-rasi urat tangan mereka. Bisa pula menghitung masa panen dari awan-awan yang mulai durja. Kusangka, pekerjaan merekalah yang berhasil meningkatkan prestasi-prestasi angka-angka di meja-meja kerja para pegawai berseragam. Petani inilah yang membuat para tetua dan penduduk kota bisa mencicipi hasil buah dari tetesan-tetesan keringat mereka, di antara tulang belikat yang mengilat ditimpat matahari. Dari belikat gelap mereka juga sebuah benih menjadi sesuatu yang bisa-bisa membuat kita kualat jika menghinakannya. Bahkan orang-orang tetua di kampung kami percaya jika bersumpah-serapah terhadap apa-apa makanan pokok kita, bisa jadi dijauhi dari rejeki.
Pekerjaan seeperti itu yang kutemui dalam keseharian almarhum Ahmad Basir, ayahku yang dimaksudkan Ustadz Zakir itu. Penduduk Desa Kuala Tambangan bukan penduduk yang betah tinggal lama di kampung. Kebanyakan anak-anaknya dipindahkan ke kota setelah beranjak dewasa untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Itupun jika sudah menjual beberapa lahan sawah atau berhasil memperoleh perhatian pengusaha tambak dengan jumlah ikan-ikan yang ditawarkan. Kehidupan di perkotaan selalu digadang-gadangkan masyarakat kampung kami sebagai tolak ukur kesejahteraan. Apabila jika satu keluarga sudah mampu hidup dan memunyai rumah di kota, maka sudah sukseslah ia dalam usahanya.
Sebagian para keluarga yang beralih profesi, mendapatkan pekerjaan yang lebih mampu menjebulkan asap dapur, mampu menopang penghidupan lebih layak daripada menangkap ikan, mereka terburu-buru pindah meninggalkan rumah-rumah kayu tak berpenghuni di kampung kami. Sebagian disewakan, meski banyak yang tak terperhatikan. Sebagian lagi hanya menjadi bangkai kayu reot yang lapuk menunggu runtuh. Angka statistika kependudukan di kampung kami selalu berkurang. Meski angka kelahiran selalu bertambah, tetap saja tak mempengaruhi populasi.
Seingatku, ada enam buah penginapan yang dibangun dengan atap berbentuk segi enam di sekitar wilayah Pantai Batu Lima. Penginapan-penginapan itulah yang seringkali dipakai orang kota berwisata. Terlebih lagi ketika penyelenggaraan upacara Badudus. Mereka datang berduyun-duyun. Tak terlalu banyak padahal, tetapi tampak dari mereka itu adalah orang-orang berpakaian kebesaran. Betul-betul kebesaran karena bentuknya seperti jubah kerajaan. Ada pula bapak-bapak berkopiah hitam memakai jas hitam. Di sekelilingnya orang-orang berjas rapi dan juga berpakaian dinas, mungkin pegawai negri sipil. Kata Ustadz Zakir, dia adalah kepala daerah. Lima tahun sekali jalan akses ke kampung kami seperti sedang diperbaiki. Sebab kenyataannya alat-alat berat para pengaspal itu kulihat sekadar singgah semata. Mungkin melihat-lihat situasi saja. Saat poster wajah-wajah dan baliho-baliho besar berpeci terpampang di pinggir-pinggir jalan.
Hanya ada empat orang guru di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Iman. Dalam pelajaran umum seperti berhitung, berbahasa Indonesia, sejarah, atau tentang alam semesta, Bu Rafkah adalah ahlinya. Kami satu kelas selalu sigap jika Bu Rafkah memberikan materi-materi tentang sastra bahasa, tentang kerajaan tertua, dan seputar era reformasi Negara Burung Garuda, bahkan tentang bintang-bintang dan pluto sebagai tata surya.
Sejujurnya, Ia tak pernah marah. Suaranya begitu lembut terdengar di bagian yang juga terlembut bagi gendang telinga. Padahal suasana kelas terlampau gaduh dari pasar Senin. Tapi sebentar saja, wajahnya yang dibalut jilbab merah muda sering membuat kami takluk. Tertunduk. Pasrah. Kami sekelas bagaikan prajurit perang kerajaan Sulaiman yang tertegun beku terhadap kebijakan Ratu Sheba. Sama sekali tak ada keberanian berlagak pongah apalagi menentang petuah yang tersiar dari bibir kecilnya. Aku merasa sekali perbedaan itu, apalagi perlakuan Bu Rafkah kepadaku. Seringkali berlebihan dari murid yang lain. Sangat tak biasa. Ada rahasia yang disembunyikannya.
Berbeda dengan Guru Ramlan yang tampak tua. Seorang sepuh. Beriwabawa dan sungguh menggetarkan jiwa. Dalam pelajaran rukun islam dan iman, Guru Ramlan pakarnya. Jarang sekali ada murid yang gaduh saat beliau mengajar. Jenggot putihnya memberikan aura yang membungkam mulut-mulut kami. Dialah yang sering menjelaskan perihal Asma Ul Husna beserta arti dan makna. Melihatnya, aku menemukan sebuah jalan lain menuju keyakinan yang kelak ketika dewasa, aku menyadari suatu kesalahan.
Ustadz Zakir adalah guru termuda di sekolahku. Meski tinggal serumah dengannya, aku tak pernah berangkat bersama saat masuk sekolah. Ia selalu menyuruhku berangkat lebih dulu karena wiridannya selepas dhuha terlalu lama. Jika sudah rampung membaca Al Kahfi dan salawat burdah, barulah ia masuk kelas mengajarkan mata pelajaran akhlak.
“Wahai sekalian muridku, apakah kalian bisa menangkap angin?” Ustadz Zakir memulai keahliannya mendongeng. Ustad Zakir memang seorang pencerita ulung. Aku, Ali, serta dua belas murid lainnya selalu bersemangat saat Ustadz Zakir memasuki kelas tepat pukul 11.00. Pada saat inilah, suasana kelas akan berhamburan dengan tawa-tawa bocah kelas lima. Tersebab Ustadz Zakir selalu membuka pelajaran dengan cerita Abu Nawas, seorang sufi jenaka dari Arab Persia.
Seluruh murid sudah tersihir dengan gerak-gerik mata, tangan di atas meja, dan tatapan bola mata bengong dengan mulut ternganga. Ali yang duduk di sebelahku, tak ingin mengedipkan mata melihat Ustadz Zakir yang beraksi seperti para aktor di panggung teater. Ali selalu merasa Abu Nawas itu seperti dirinya, hanya karena nama lengkap Abu Nawas ada padanya: Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakam.
Terkisahlah raja Harun Al Rasyid yang meminta Abu Nawas menangkap angin. Ali paling sering menggerutu meremehkan cerita Ustadz Zakir. Padahal, ia tak sadar usai cerita itu dia yang paling luas tawanya, paling nyaring suaranya, sampai-sampai membuncah air mata.
Saat Ustadz Zakir bercerita, telunjuk tangan kanannya mengarah ke kepala. Matanya melirik-lirik ke atas. Semua murid di kelas mengikuti. Menengadah ke atas kepala seperti hendak melihat rambut poninya masing-masing. Melihat aksi Ustadz Zakir mendongeng, para murid terpelongo-longo dan menggelengkan kepala, keheranan.
“Abu Nawas menyerahkan botol kepada raja. Raja ragu, karena ia tak melihat apa-apa,” Ustadz Zakir merentangkan kedua tanganya setengah layaknya berdoa dengan mimik wajah masam. Lalu Ustadz menyambung cerita dengan suara lantang seakan-akan ialah Abu Nawas itu.
“Dengan lantang Abu Nawas berkata: Angin memang tak bisa dilihat. Namun jika paduka ingin mengetahuinya, maka bukalah tutup botol itu! ‘Setelah tutup botol dibuka, wajah Raja memble. Ia seperti ingin muntah,” wajah para murid kebingungan. Kecuali aku yang hampir bosan mendengarnya ribuan kali menjelang tidur.
“Raja mencium bau busuk. Bau kentut yang amat menyengat. Lalu dengan wajah membara raja bertanya: Bau apa ini, wahai Abu Nawas? ‘Dengan rasa bersalah, Abu Nawas meminta ampun dan menjawab: Hamba takut angin yang hamba buang keluar dan kabur kemana-mana. Maka dari itu, hamba memenjarakannya dengan memasukannya ke dalam botol dan menyumbatnya,” tutup Ustadz Zakir.
Tak keruan saja suara tawa para murid menggaduh di sudut-sudut kelas. Terlebih Ali, matanya yang bulat kini menyempit sambil memegang perut. “Tapi ceritanya belum selesai. Raja tak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas begitu logis. Lalu Abu Nawas mengancam raja!” Wajah Ustadz mendadak serius. Para murid menahan tawa mereka meski terdengar hembusan-hembusan angin saat tangan mereka menutup mulut. Ustadz Zakir berakting lagi.
“Hamba pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini. Hamba minta ganti rugi. Hamba meminta hadiah berupa uang untuk belanja dalam satu bulan, ‘lalu Abu Nawas berhenti karena Raja tak mau mengabulkan permintaan Abu Nawas.
“Raja kok, pelit, sih!” celetuk salah seorang murid yang tak tahu sejarah Raja Harun Al Rasyid. Ustadz Zakir memberi isyarat dengan telunjuk yang ditempelkan ke mulut. Sssst…!!!! Tunggu sebentar, mungkin begitu maksudnya. Ustadz Zakir memberikan klimaks cerita itu.
“Kalau raja tak berkenan, hamba ceritakan kepada rakyat bahwa baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba! Ha-ha-ha-ha-ha…!!!!” Ustadz Zakir tertawa menirukan tawa Abu Nawas di hadapan raja.
Meledaklah semua angin-angin yang ada di mulut para murid. Terlebih Ali, yang tertawa tertunduk-tunduk di bawah meja. Lalu Ustadz Zakir duduk di mejanya, di sebelah kiri papan tulis. Membiarkan para murid yang larut dalam canda. Hingga semua kelelahan dan kelas kembali tenang.
Di saat seperti ini, biasanya dia berdoa lagi di dalam hati, “Ya Tuhan, sebagaimana kau gembirakan kami dunia, gembirakanlah kami kelak di akhirat.”
“Guru!” Ali mengangkat tangan. “Ceritakan lagi tentang Aladin dan lampu wasiatnya yang ada dalam cerita Abu Nawas barusan, Guru!”
“Wah, kalau cerita terus, kapan belajarnya. Nanti. Di kesempatan lain. Kita mulai pelajarannya.”
“Yaaaaaaaah!!!” koor mereka mengalun indah tanpa dikomando, seperti paduan suara. Merdu sekali. Begitulah Ustadz Zakir sebelum memulai pelajaran kepada kami, Ful. Cerita-cerita itu yang kami rindukan setelah kepergiannya. Atau bisa juga karena aku yang meninggalkannya.
Memandang Ustadz Zakir aku teringat almarhum Ayah. Mungkin seumuran, dua puluh tahun lebih tua saat aku berumur enam tahun. Tak tinggi tak juga terlalu pendek. Memunyai tahi lalat kecil di bawah dagu sebelah kanan. Wajahnya bersih. Wajah itu menggambarkan cahaya kedalaman ilmu yang ia miliki. Ya, itu kuketahui semenjak tinggal dan dirawat di rumahnya.
**
Aku pernah berangan-angan kelak aku dewasa, ingin rasanya melihat dunia luar. Menyelami samudera pergaulan tanpa batas. Keluar dari kampung tua ini. Menetap di tanah para ulama untuk mendulang ilmunya. Atau jika mungkin, aku ingin sekali ke negri-negri asing dan menetap beberapa waktu ke sana. Bahkan jika memang mungkin, aku ingin tahu sendiri siapa dan dari keluaga mana aku berasal. Itulah tekadku pada waktu itu, Ful. Hingga pada bagian ini, aku sadar hanyalah seorang yatim piatu yang tak pernah tahu asal usul marganya dan terbuang di gubuk seorang abrar. Sekian tahun Ustadz Zakir menutu-nutupi semua perihal tentang orangtuaku. Aku jenuh.
Enam tahun lebih kulewati hidup bersama Ustad Zakir, selama itu pula aku dicekoki dengan pelajaran Akhlak Tasawuf yang bahasannya itu-itu saja. Semua tentang hati, tentang sombong, tentang sabar, dan semua perilaku prasangka terhadap Tuhan dan manusia. Bahkan dalam hal pergaulan ia sangat menjagaku. Ia yang memilah-milah lingkungan pergaulanku. Sampai aku diperingatkan agar tak akrab dengan teman perempuan sebayaku. Hidupku bersamanya tak lepas dari kedisiplinan. Terkadang titik jenuh yang telah lama bercokol dalam diriku sudah seperti bom waktu yang segera meledak, berontak. Namun bibirku kelu untuk bertanya atau menyampaikan keinginanku pergi dari kampung ini. Menjauh dari rumah ini, rumah yang telah memberikanku segala bekal dalam perjalanan hidup menuju pendewasaan diri.
Kau tahu, rumah yang kutinggali bersama Ustadz Zakir tidaklah besar. Beratap sirap, satu ruang tamu berdinding kayu dihiasi cat tua yang telah pudar. Jika dilihat dari pintu depan yang sudah kreotan, hamparan dinding penuh dengan poster ulama di sisi kanan dan kiri. Memanjang ke dalam dan berhenti di satu dinding penghalat, yakni dinding kamar Ustadz. Dalam kamar tersebut terpampang tujuh tingkat rak kitab-kitab dan buku-buku agama yang terbagi atas tiga sudut. Timur, Utara, dan Barat. Kecuali dari sisi selatan karena itu adalah pintu masuk kamar. Pun demikian beberapa kitab-kitab juga banyak menumpuk di meja duduk.
Aku sempat heran, apakah guruku ini sehari-harinya memakan isi dari kita-kitab itu? Beberapa tulisan arab judul dari sekalian kitab itu berwarna keemaasan, dicetak di Kota Beirut, Lebanon, dari penerbit Dar El Fikri. Kitab-kitab yang menjadi mata pelajaran saat kita menuntut ilmu di madrasah, Ful.
Aku terbelalak saat pertama kali melihatnya. Sempat tak percaya ia menamatkan semua kitab tersebut. Belum lagi aku bertanya ia sudah menjelaskannya. Ia bercerita menamatkan dan berijazah semua kitab-kitab itu dari guru-guru pesantrennya di Martapura. Sanadnya pun sampai kepada para pengarang. Kecuali buku-buku terjemahan yang ia baca sendiri di rumah.
Ustad Zakirlah yang serta merta mengajarkan segala ilmu hati. Dia menyibukanku dengan berbagai bidang ilmu sehabis salat lima waktu. Dia juga memilih thariqot sebagai garis perjuangan. Baginya, aku tak sekadar menjadi murid yang cepat paham dengan materi pelajaran, tetapi juga menjadi anak yang cepat tumbuh dari murid-muridnya yang lain, teman sebayaku, Ali dan Syafi’i.
**
Hari cerah nan dingin. Aku berhadapan dengan cermin tua yang tak lagi bening. Aku menyisir rambutku yang tebal. Titik kecil di kedua pipiku begitu tampak saat aku tersenyum. Ya, lubang yang teramat kecil. Kulitku tak hitam, tak juga seperti orang asing. Alis tebal mataku tampak seimbang menaungi kedua bola mata yang seperti kelereng berwarna cokelat. Aku menatap tajam. Mengangkat satu alis kiri, lantas menampilkan gigi-gigiku yang rapi. Ustadz Zakir biasanya tersenyum melihatku melakukan ini: Terlalu lama saat bercermin.
“Jangan terlalu lama bercermin, Val! Bisa lupa diri,” tegurnya menahan tawa.
“Saya, ingin mengenal diri saya sendiri, wahai guru. Seperti penjelasan guru kemarin, siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
“Bukan begitu caranya, Val!”
“Tapi Guru, aku juga melihat diriku sendiri di dalam hati orang lain. Seperti dalam hati kawan-kawan di kelas,” jawabku.
“Kau, hanya mengkhayal!”
“Aku tak bohong!”
“Aku tak mengatakan kau berbohong. Lupakan saja perihal penglihatanmu itu. Ingat hari ini pembagian rapor, kan? Setelah dhuha, temui aku di pinggir pantai, di bawah pohon kita.”
Ustadz Zakir berdiri lalu beranjak keluar. Di tempat itu, di bawah pohon kelapa, Ustadz sering kali mengajakku untuk tafakur akan kebesaran Tuhan. Ustadz Zakir kemudian turun dengan baju gamis putih. Derap langkah sandalnya masih kudengar. Derap itu mengiringi detak jantungku dan terus menjauh, perlahan pelan dan hilang. Aku mendengar suara di dalam hati.
Aku tak akan ragukan firasatmu. Seperti nama yang diberikan Ayahmu. Aku ingin kau tumbuh menjadi seorang yang dan cerdas. Keingintahuanmu yang kuat akan ilmu-ilmu akan membuat kau menjelajahi jalan baru dan pergi kemana saja yang justru belum pernah kau datangi, tapi tak diucapkan Ustadz Zakir. Perkataan dalam hatinya kudengar saat aku tinggalkan di hadapan cermin. Sepeti bisikan, namun terlalu jelas.
Matahari pagi menyambut hari istimewa saat aku selesai mengenyam bangku pendidikanku di MI selama enam tahun. Entah apakah nanti aku akan mengingat kembali sekolahan itu. Sebagai angkatan pertama saat berdiri di tahun 1994. Yang muridnya hanya empat belas orang dalam satu kelas, dan Ustadz Zakirlah sebagai pendirinya.
Dulunya, Guru Ramlan pernah diminta menjadi pimpinan di sekolah itu, tapi ia menolak. Kata Guru Ramlan, tak pantas menjadi pimpinan sekolah jika pendirinya masih hidup. Ustadz Zakir tak hanya menjadi pendiri, pemimpin, tetapi juga pengajar di sekolah yang akan aku tinggalkan ini. Ustadz Zakir juga membuka pengajian di rumah. Ya, di rumah kami. Beberapa orang kampung cukup banyak yang datang. Belasan orang. Sebagian murid yang datang adalah murid-muridnya di kelas. Multi peran yang sungguh sangat sempurna, bukan?
BERSAMBUNG