BEBERAPA waktu sebelum ritual ‘September Seraam’, Gatot udah nantang KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) untuk menggelar nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI. “Kalau tidak berani, pulang kampung saja!” tegas Gatot.
Namun demikian, Gatot meyakini bahwa KSAD dan Panglima TNI bukanlah penakut. Bagi Gatot, ukuran keberanian adalah mengikuti apa yang sudah dikerjakannya tahun kemarin. Dia menginstruksikan jajarannya menggelar nobar film tersebut di atas. Kalo pake bahasa minuman penambah stamina, bahasa Gatot begini, “Gua laki, berani bilang PKI ada!” Cuman sayangnya, dia sekarang sudah dapat jabatan tertinggi di dunia ini: pensiun. Karena itu, Gatot tak lagi dapat kasih instruksi yang sama ke jajaran tempatnya pernah mengabdi. Kalau pun kasih instruksi, ya paling dibilang, “Eh, siapa elo?”
Entah, ada hubungan apa Gatot dengan film indoktrinasi Orde Baru ini, namun, semangatnya yang meluap-luap untuk mengajak nobar memang patut diacungi jempol. Bukankah nobar itu ajang untuk kumpul-kumpul dan silaturahmi, betul? Namun, ihwal Gatot menuntut film ini sebagai film ‘boks opis-nya Orde Baru’ yang diputar, memang mengundang perhatian.
Habib Rizieq yang umrah tak pulang-pulang, juga mengarahkan agar tetap nonton film G30S/PKI dalam acara Doa Bersama di Monas beberapa waktu lalu. Film itu diputar panitia, namun para hadirin ngacir pulang, menyisakan segelintir orang pemirsa militan sufi alias suka film.
Lain hal dengan Buya Syafii Maarif, mantan Ketum PP Muhammadiyah. “Isu kebangkitan PKI itu mimpi di siang bolong!” tegasnya. “Masyarakat sudah capek.” Senada dan seirama dengan Buya Syafii, Marsekal Hadi Tjahjanto, menyatakan bahwa PKI sudah bubar, dibubarkan oleh TAP MPR. Perlu dibetulkan sebenarnya TAP MPRS/XXV/1966. Dia menegaskan hal ini saat memberi kuliah umum di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Kalau memakai bahasa minuman penambah stamina lagi, bahasa Hadi Tjahjanto begini, “Gua laki, berani bilang PKI gak ada!”.
Film PG (saya singkat saja, nulisnya kepanjangan, lelah jari ini), tampaknya akan selalu menjadi subjek kontroversi. Buktinya ya, adu laki antara Gatot versus Hadi Tjahjanto di atas. Memakai analisis strukturalis, Gatot yang berasal dari TNI AD kontras dengan Hadi yang berasal dari TNI AU. Kok bisa sih?
Para Marsekal atau Jenderal TNI AU memandang bahwa film PG adalah film yang sarat dengan propaganda daripada Soeharto. Di film PG, matra TNI AU dilecehkan oleh TNI AD. Hal ini jelas dipandang oleh yang pertama sebagai propaganda yang salah kaprah. Perlu diingat bahwa pada 1998 setelah Soeharto terjungkal dari kekuasaan, para purnawirawan TNI AU (PPAU) kemudian menyurati Menteri Penerangan masa itu, yakni Yunus Yosfiah. Para marsekal atau jenderal TNI AU ini tak terima TNI AU seolah-olah terlibat G30S yang menjadi narasi film PG. Karena itu, per 1 Oktober 1998, film PG tak diputar lagi. Gatot mungkin lupa ini, atau pura-pura lupa?
Film PG yang dibuat sejak 1984, saban tahun diputar di merata bioskop seluruh Indonesia. Pemutaran ini hal yang jamak. Ia menjadi ritual terpenting dalam masa Orde Baru. Bisa dibilang lebih penting dari yang penting. Seandainya Orde Baru bisa pakai bahasa agama, maka bunyinya adalah “Nonton film PG fardhu ‘ain bagi muslim”. Yang tidak nonton berdosa. Apakah dosanya ini dosa kecil, dosa besar, atau dosa nanggung, janganlah anda tanya saya.
Mengapa film ini teramat penting bagi Orde Baru? Jelaslah. Film ini menggambarkan sangat nyata, lebih nyata dari yang paling nyata, tentang kekejaman PKI. Didukung sound effect yang mumpuni, penggarapan detail-detailnya pun sangat diperhatikan. Tentang sound effect film PG, ndilalah, satu waktu dulu saat ada acara Pasar Malam, ketika masuk stand Rumah Hantu, telinga saya menangkap sound effect yang ikonik ini. Tapi, karena hantu-hantu yang ada di rumah hantu sudah jinak bahkan mati karena boneka doang, jadinya rasa kengeriannya hambar.
Orde Baru, dalam bahasa analitis, adalah rezim yang dibangun dari aliansi birokrasi, militer dan partai politik yang mendaku bukan partai. Dia tegak dari pembantaian atas salah satu elemen anak bangsa, yaitu simpatisan, anggota, kader, dan anggota inti PKI. Yang musykil dan hingga kini masih belum benderang, tidak sedikit korban adalah orang-orang yang tak bersalah, entah karena ikut-ikutan, difitnah, bahkan salah tuduh sebagai tak beragama seperti nasib orang-orang adat yang berada di pedalaman. Sodara pasti tak pernah dengar kisah orang Dayak Kenyah di pedalaman Kaltim saat gegar ’65 dibunuhi karena dianggap tak beragama lantaran tak mau memilih saat dipaksa menyebut diri Islam atau Kristen. Padahal mereka sebenarnya merupakan pemeluk agama lokal atawa leluhur.
Drama unik antara Gatot yang memperingatkan dari film PG bahwa PKI itu ada dan sebaliknya Hadi Tjahjanto yang menandaskan bahwa PKI tidak ada sejatinya merupakan pelajaran sejarah. Keduanya menggambarkan versi tentang politik. Loh, sejarah kok ngomong politik? Ya iyalah. Gatot jangan-jangan mewakili satu perspektif politik yang memandang militerisme sebagai cara utama menaklukkan musuh. Trus Hadi Tjahyanto apa? Tampaknya dia lebih moderat, artinya, meski berada di posisi sebagai pimpinan militer, namun, percaya pada kekuatan kepemimpinan sipil.
Sebentar, film PG kok ngomong dikotomi sipil-militer? Bisa-bisa aja. Kalau mau sebutan lain, bisa saja, profesionalisme sipil-militer. Film PG ini, namanya film, selalu multi-tafsir. Kalo Gatot teriak anda harus nonton film itu, trus anda mau nonton dan memaknai lain, Gatot mau ngomong apa. Dari sini, sepertinya barisan pro-film PG musti bikin buku panduan yang berjudul Trik Jitu Memahami Film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal ini agar jangan sampai generasi milenial salah paham bahkan gagal paham atas film tersebut. Buku itu bolehlah di-endorse sama Gatot dan Amien. Tiap tahun, buku itu bisa naik cetak terus.
Jangan lupa, film PG yang panjangnya empat jam itu, lebih panjang dari film Indihe satu jam, di ujungnya menggambarkan betapa heroik dan gagahnya Jenderal Soeharto. Untung ada Pak Harto, Isih penak jamanku tho. Film itu juga menggambarkan Sukarno yang ringkih, sakit-sakitan. Proklamator yang suaranya menggelegar itu tertelan oleh cepatnya krisis politik. Sukarno yang ringkih berhadapan dengan gagahnya Soeharto menyatakan bahwa masa depan Orde Baru akan gilang-gemilang.
Arkian, bila sodara nonton film PG, jangan lupa tonton pula Senyap dan Jagal. Dua film ini, tak setenar film PG, tapi, keduanya bikin otak lebih hidup. Narasinya kontras dengan film PG. Eh lu, nyuruh-nyuruh nonton emang lo udah nonton. Afwan akhi, bloom…@