DRAMA Ratna Sarumpaet tampaknya masih akan panjang, dengan plot berliku, mengejutkan, dan ending yang mungkin tidak terduga atau malah menggantung? Mungkin juga basi?

Sejauh ini episode memasuki plot agak menanjak, Ratna  resmi ditahan Jumat (5/10) terkait kasus hoax penganiayaan. Dia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (4/10), saat hendak terbang ke Chile untuk menghadiri konferensi internasional penulis drama perempuan, The 11th Women Playwright International Conference 2018.

Di negara yang salah satu penulisnya menjadi kesayangan saya—bukan penyair flamboyan Pablo Neruda, melainkan Luis Sepulveda penulis novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, dia mendapat kehormatan sebagai Senior Advisors. Sedianya Ratna berada di Chile berkumpul bersama para penulis drama perempuan dari banyak negara seperti Lynn Hayes (USA), Jyoti Mhapsekar (India), Margareta Skantze (Swedia) dan lainnya hingga 12 Oktober 2018. Tapi apa daya, untung  tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Ratna ditangkap.

Belakangan, polisi juga menggeledah rumahnya. Ratna dicurigai menggunakan dana bantuan kapal tenggelam Danau Toba untuk biaya operasi plastiknya. Nah, makin ribet aja kan urusannya…

Operasi plastik. Inilah gara-garanya. Dari sinilah semuanya bermula.

Sebagai nenek berusia 70 tahun, melakukan operasi kecantikan untuk persiapan menghadiri festival internasional, kiranya wajar saja. Bagaimanapun, sebagai perempuan Ratna juga ingin dilihat tampil cantik di antara wajah-wajah asing. Rupannya proses sedot lemak itu membuat wajahnya bengkak-bengkak—dan memang wajahnya tampak seperti habis dipukuli habis-habisan. Pulang ke rumah, karena malu bilang kalau dia melakukan operasi plastik, kepada anaknya dikatakan kalau dia dianiaya.

Seperti kita ketahui, kebohongan yang bermula dari lingkungan keluarga itu meluas, menjalar, masuk ke ranah politik, membawa nama tokoh-tokoh, hingga capres-cawapres, digojlok media sosial, dan akhirnya—bagai sebuah cerita yang tak diharapkan, justru antiklimaks.  Ratna meminta maaf. Selesai? Harapan semula mungkin begitu, tetapi ternyata belum. Episode berlanjut, dan tampaknya semakin seru.

Hawa buruk yang memenuhi udara politik kita membuat kasus ini memiliki efek karambol;  kebohongan dianiaya itu dianggap sebagai tembakan politik kepada kubu Capres Jokowi. Ibarat permainan catur, Ratna adalah kuda yang terlalu gegabah menerobos ke dalam pertahanan lawan, terkurung,  tak bisa berbalik mundur, lantas dengan mudah dipatahkan.

Alhasil, setelah kebohongan itu terungkap, sekarang justru tembakan politik peluru plastik diarahkan ke kubu Capres Prabowo.

Tunggu dulu. Di kubu Capres Prabowo—yang meski pasti kecewa, tak mau menyerah begitu saja. Ini adalah politik, permainan politik, Ratna lantas dicurigai sebagai seorang penyusup (bahasa kerennya spionase) yang sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak pertahanan musuh dari dalam. Jika ia adalah kuda catur, maka serangan ke dalam pertahanan lawan itu adalah tindakan bunuh diri yang disengaja untuk keuntungan yang lebih besar.

Dalam angin panas politik, Ratna sama sekali bukanlah target. Dia hanya menjadi  peluru, pion. Pendukung Capres Jokowi cenderung tidak menghakimi Ratna dan bahkan dengan legowo memaafkannya. Sebaliknya mereka justru menggunakannya balik untuk ditembakkan ke kubu Capres Prabowo yang telah menyebarkan hoax Ratna.

Dalam politik, semua memang mungkin. Tidak terduga. Dan sulit dipercaya. “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya,” sebut Charles de Gaulle, pimpinan militer dan negarawan Perancis. Barangkali begitulah yang terjadi sekarang dalam perpolitikan kita saat ini.

Lantas, apa pelajaran moral dari drama Ratna Sarumpaet sejauh ini?

Jangan ngibul.

Mengapa?

Pertama, Ratna telah mengibuli dirinya sendiri dengan melakukan operasi plastik, dia ingin mengibuli matanya dan mata orang-orang terhadap wajahnya. Kedua, dia mengibuli anaknya, keluarganya, dengan mengatakan wajahnya bengkak karena dianiaya—yang kemudian diakuinya karena berhalusinasi, berkhayal. Ketiga, dia mengibuli orang-orang yang memercayainya.

Dan apa lacur, gara-gara kibul ini, dia jatuh ke jurang sedemikian dalam. Hari-hari ini kita melihat Ratna seperti macan betina tua yang lemah dan lumpuh, tak lagi kita lihat kegarangannya. Dia kehilangan kepercayaan diri—dan untuk ini kukira terjadi sejak dia operasi plastik. Andai dia percaya diri, dia pasti akan berterus terang kepada anaknya, tidak akan ada kibul, kebohongan yang kemudian menjadi hoax. Ngibul lantaran malu sudah nenek-nenek operasi plastik—walaupun sebenarnya tidak ada yang salah dengan keinginan tampil cantik itu.

Kesimpulannya, efek samping operasi plastik tidak saja menyebabkan wajah bengkak-bengkak, tapi juga bisa menyebabkan berhalusinasi, berkhayal, dan ngibul. Kecuali, dengan catatan; semua ini hanyalah tembakan politik peluru plastik.@